A. Latar Belakang Masalah
Ada beberapa pokok masalah yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini. Masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pandangan tentang kecerdasan
Sudah tidak dapat disangkal lagi bahwa kecerdasan merupakan suatu hal yang mutlak dimiliki dan diperlukan manusia untuk tetap bisa survive dalam hidup di dunia. Sebagai wujud dari kecerdasan itu adalah kemampuan manusia untuk menyelesaikan problem dengan benar dan dalam waktu yang relatif singkat ( Suharsono, 2000: 34). Walaupun kontribusi kecerdasan cukup besar dalam hidup manusia, tapi dari waktu ke waktu pandangan akan kecerdasan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan setidaknya secara garis besar ada tiga pandangan mengenai hal ini.
Pandangan yang pertama merupakan cara pandang yang sempit dan telah berkembang sejak akhir abad ke 19, yaitu ketika penelitian seputar kecerdasan sedang marak di kalangan pakar Psikologi. Pandangan ini bisa kita simak lewat definisi yang diberikan oleh Alfred Binet sebagai penemu Test Model Binet dan LM. Terman yang telah beberapa kali mengadakan revisi terhadap test tersebut. Binet mengatakan “Comprehension, invention, direction, and critism – intelligence is contained in these four words” (Crow and Crow, 1989: 175). Sedangkan Terman berpendapat bahwa kecerdasan adalah “the ability to think in terms of abstract ideas” (Crow and Crow, 1989: 175).
Yang menjadikan kecerdasan menjadi lebih sempit dalam pandangan ini adalah penelitian yang dilakukan Binet yang menghasilkan Test Model Binet yang dapat membedakan antara orang yang normal dengan yang tidak. Test yang kemudian direvisi oleh Terman dan dapat menunjukkan IQ (Intelligence Quotient) lewat perbandingan tetap antara Mental Age (MA) dengan Cronological Age (CA) ini ternyata hanya menunjukkan sedikit dari kecerdasan yang dapat dimiliki manusia karena test tersebut hanya mengajukan pertanyaan di seputar lingusitik dan matematik sehingga dua kemampuan ini saja yang dapat diukur. Dan ironisnya orang-orang sudah terlanjur mengidentikkan IQ dengan kecerdasan, dan kemampuan inilah yang banyak dikembangkan di sekolah-sekolah kita.
Pandangan yang kedua memandang kecerdasan lebih luas lagi karena kecerdasan menurut pandangan ini dapat dikembangkan tidak hanya dua jenis saja. Pandangan ini dipelopori oleh Howard Gardner yang mengadakan penelitian lewat Project Spectrum. Dalam penelitian ini Gardner mendapatkan bahwa otak manusia memungkinkan untuk memiliki sampai delapan jenis kecerdasan yang dinamakan Multiple Intelligence, yaitu sebagai berikut.
a. Kecerdasan lingustik, yaitu kemampuan dalam hal membaca, menulis dan berkomunikasi dengan kata-kata;
b. Kecerdasan logika dan matematika, yaitu kemampuan untuk menalar dan berhitung;
c. Kecerdasan musikal;
d. Kecerdasan spasial dan visual;
e. Kecerdasan kinestik atau kecerdasan fisik, kecerdasan ini dapat kita temui pada para atlet semacam Michael Jordan;
f. Kecerdasan interpersonal, yaitu kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain;
g. Kecerdasan intrapersonal, atau kecerdasan instrospektif, yaitu kemampuan untuk memiliki wawasan, mengetahui jati diri; jenis kecerdasan ini memungkinkan manusia untuk mengeluarkan informasi-informasi yang disimpan dalam pikiran bawah sadar;
h. Kecerdasan naturalis, yaitu kemampuan untuk bekerja sama dan menyelaraskan diri dengan alam (Vas dan Dydren, 1999: 121-123).
Selanjutnya pandangan yang terakhir berpendapat bahwa ternyata emosi manusia pun bisa menjadi cerdas. Memang pendapat ini sedikit banyak memiliki kemiripan dengan Multiple Intelligence terutama pada kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal karena dua kemampuan inilah yang menjadi titik tekan pandangan ini. Namun yang membedakannya adalah pandangan ini lebih mengeksplorasi wilayah emosi manusia, sedangkan kesemua Multiple Intelligence hanya berkutat pada kognitif atau rasio manusia.
Pandangan ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman karena melihat fakta di tengah-tengah kehidupan manusia yang mempercayai bahwa IQ adalah satu-satunya penuntun manusia menuju kesuksesan hidup. Namun realitas yang ada menunjukkan bahwa tidak sedikit orang yang ber-IQ tinggi seringkali bertindak bodoh yang berakibat membawanya pada kegagalan atau bahkan kehancuran dan menjauhkan dirinya sendiri dari kesuksesan yang seharusnya berada dalam genggamannya hanya dikarenakan dia tidak berhasil mengatur dan memanfaatkan emosinya. Di lain pihak kita juga mendapati orang-orang dengan IQ yang tidak begitu tinggi, mendapatkan kesuksesan.
Dari sinilah kemudian ditarik kesimpualan bahwa manusia memerlukan suatu jenis kecerdasan yang baru, dan kecerdasan ini bernama Emotional Intelligence, selanjutnya disingkat EI, atau kecerdasan Kecerdasan Emosional.
2. Pandangan pendidikan Islam tentang potensi manusia
Sebagai obyek dan sekaligus juga sebagai subyek pendidikan, khususnya pendidikan Islam, manusia dipandang sebagai makhluk yang unik dan istimewa yang menyimpan berjuta potensi dan misteri. Pandangan yang demikian itu tentu tidak lepas dari pandangan Islam sendiri akan manusia. Hal ini dikarenakan pendidikan Islam sebagai salah satu dari sekian banyak aspek Islam, juga menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber nilai yang tertinggi.
Manusia di mata Islam memang unik sekaligus istimewa, dan letak keunikan dan keistimewaannya itu paling tidak bisa dilihat pada dua hal berikut ini.
a. Yang pertama adalah karena manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna dan mulia. Informasi ini bisa kita temui dalam QS. 95: Al-Tin: 5.
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. 95: Al-Tin: 5). *
Kesempurnaan dan kemuliaan tersebut salah satunya dapat kita simak dalam QS. 38: 71-72.
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Menurut Quraish Shihab (1999: 233) ayat ini memberikan informasi bahwa penciptaan manusia itu melibatkan dua unsur sekaligus, sehingga manusia itu terdiri dari kedua unsur ini. Unsur yang pertama adalah materi yaitu fisik manusia yang dalam ayat di atas disimbolkan dengan gumpalan tanah. Dan secara biologis, fisik manusia itu tidak ubahnya seperti hewan, karena dia tetap membutuhkan udara untuk bernapas, makanan dan minuman untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
bereproduksi untuk mengembangkan keturunan, serta susunan organ tubuh yang tidak dapat diubah lagi (Sarlito Wirawan Sarwono, 1982: 27).
Selain itu, menurut teori Darwin, lepas dari pro dan kontra, manusia mempunyai hubungan kekerabatan yang cukup dekat dengan bangsa kera (William M. Haviland, 1999: 74). Namun lewat penelitian ilmiah juga didapatkan temuan-temuan tentang perbedaan antara kedua spesies ini, sehingga tetap mengarah pada suatu kesimpulan bahwa bagaimanapun juga manusia adalah makhluk yang paling sempurna.
Perbedaan-perbedaan itu adalah sebagai berikut :
1) Perbedaan dalam kapasitas tengkorak, dimana kera hanya mempunyai kapasitas antara 400 cc – 500 cc, sedangkan kapasitas rata-rata tengkorak manusia adalah 1.350 cc yang memungkinkannya untuk memiliki bagian-bagian otak yang kopleks (Maurice Bucaille, 1998: 128).
2) Perbedaan yang menyangkut foramen magnum belakang tengkorak, dimana pada kera terletak pada bagian belakang tulang belakang kepala, dan pada manusia terletak pada bagian yang lebih ke depan, sehingga kepala manusia lebih seimbang (Bucaille, 1998: 129).
3) Perbedaan bentuk telapak tangan. Tangan manusia mempunyai ibu jari yang tumbuh sempurna yang memungkinkan ibu jari dapat berhadap-hadapan dengan jari-jari yang lainnya, sedangkan ibu jari kera tidak dapat tumbuh dengan sempurna (Haviland, 1999: 71).
4) Perbedaan pada bentuk tulang panggul, dimana tulang panggul manusia membuatnya dapat berjalan dengan tegak, sedangkan tulang panggul pada kera tidak memungkinkannya bisa berjalan tegak (Bucaille, 1998: 130).
Unsur kedua yang ada pada diri manusia adalah immateri yaitu berupa ruh yang dihembuskan kepadanya. Ruh inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk yang lainnya karena ruh, seperti yang dikatakan Musa Asy’ari (1992: 77), merupakan “daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan”.
Di dalam ruh inilah tersimpan potensi-potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Potensi-potensi ini akan membawa diri manusia menjadi suatu pribadi yang dekat dengan rab-nya sekaligus memungkinkannya untuk menjadi makhluk yang paling rendah derajatnya. Potensi-potensi ini pula yang menjadi bekal bagi manusia untuk menjadi wakil Allah di muka bumi, yaitu sebagai khalifah Allah.
Salah satu potensi yang dibekalkan pada manusia itu adalah aql, dan pada dasarnya akal mempunyai dua instrumen yang merupakan suatu kesatuan yaitu berupa pikiran dan qalb (Asy’ari,1992: 104). Kedua instrumen ini dalam memahami kebenaran bekerja secara sinergis. Sehingga apabila salah satu dari keduanya ditinggalkan, maka akan terjadi suatu ketimpangan. Karena jika pikiran dikembangkan dengan melepaskan ikatannya dari qalb, maka akan mengakibatkan manusia hanya memperoleh pengetahuan yang bersifat lahiriyah saja dan dia dapat dikuasai hawa nafsunya (Asy’ari,1992: 106) karena berpikir adalah kegiatan yang sepenuhnya bebas, otonom dan bahkan berada di luar etik (Asy’ari, 1992: 107).
Dan sebaliknya jika qalbu bekerja lepas dari pikiran , maka manusia hanya akan mempunyai kesadaran yang baik tapi dalam penguasaan teknik dan ketika memecahkan suatu masalah seringkali terjadi kemacetan, karena dia tidak menguasai dimensi fisik yang bersifat materiil (Asy’ari, 1992: 106).
b. Keunikan kedua yang dimiliki manusia adalah nafs. Nafs yang dimaksud di sini adalah keakuan atau pribadi, yaitu totalitas diri manusia (Asy’ari: 1992: 79) sebagai sebuah eksistensi. Letak keunikannya di sini adalah eksistensi manusia yang berwatak ganda, karena mengakumulasikan dua aktifitas sekaligus dalam perbuatannya, yaitu aktifitas malaki dan aktifitas hewani (Sayid Qutb, 1993: 202).
Karena menyimpan dua macam aktifitas itulah maka memungkinkan manusia untuk menjadi dua pribadi yang berbeda. Di satu sisi mereka bisa menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhannya dan di sisi lain mereka juga mungkin menjadi makhluk serendah binatang, atau bahkan mungkin lebih buruk lagi.
Yang dapat membedakan apakah manusia menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan atau sebaliknya sebenarnya tergantung pada penggunaan instrumen qalb yang ada dalam aql manusia sendiri. Seperti yang telah dijelaskan di atas, jika manusia hanya menggunakan pikiran saja maka dia dapat terjerumus dalam hawa nafsunya dan hal ini dapat menempatkan derajatnya serendah derajat hewan atau bahkan lebih buruk lagi. Hal ini sebenarnya telah diperingatkan oleh Allah dalam QS. 7: Al-A’raaf: 179.
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. 7: Al-A’raaf: 179)
Jadi sekali lagi, instrumen-instrumen dalam akal sebagai potensi yang dibekalkan kepada manusia harus dijalankan secara sinergis sehingga tujuan hidup manusia untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai.
Tujuan hidup seperti inilah yang sebenarnya menjadi tujuan pendidikan Islam. Sehingga tidaklah berlebihan jika pendidikan Islam mempunyai karakteristik berupa pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian (Azra,1999: 10). Dan tentunya sudah menjadi kewajiban bagi pendidikan Islam untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut secara seimbang untuk melahirkan seorang insan-insan muslim yang berkepribadian utuh.
B. Penegasan dan Pembatasan Istilah
1. Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)
Menurut Daniel Goleman (1996: 36) Emotional Intelligence adalah:
“Abilities such as being able to motivate oneself and persist in the face of frustrations; to control impulse and delay gratification; to regulate one’s moods and keep distress from swamping the ability to think; to empathize and to hope” (Goleman, 1995: 45)
Artinya: “Kecerdasan Emosional adalah kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan bersikap wajar; mengatur suasana hati dan menjaga agar tetap berpikir jernih; berempati dan optimis”.
2. Perspektif
Kata perspektif merupakan kata serapan yang berasal dari Bahasa Inggris, perspective yang oleh AS. Hornby (1987: 626) diartikan view yang berarti pandangan dan look trough atau cara pandang.
3. Pendidikan Islam
Menurut Ahmad D. Marimba (1980: 23) “pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”.
Dengan demikian dalam skripsi ini penulis akan mengkaji tentang konsep Kecerdasan Emosional (Emotional Intellgence) yang dikembangkan oleh para Psikolog Barat dan juga pandangan Islam tentang “Kecerdasan Emosional” dan kemudian bagaimana mengimplementasikan kedua teori itu ke dalam praktik Pendidikan Islam.
C. Permasalahan
Berpijak pada uraian di atas, maka ada beberapa permasalahan yang penulis anggap dapat dijadikan bahan kajian, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence)?
2. Bagaimanakah pandangan pendidikan Islam tentang “Kecerdasan Emosional”?
3. Bagaimanakah dua pemikiran di atas dapat diimplikasikan dalam praktik pendidikan Islam?
D. Tujuan Penulisan Skripsi
Berpijak pada beberapa hal di atas, maka yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Mengkaji apa sebenarnya Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence).
2. Mengkaji bagaimana pandangan pendidikan Islam tentang “Keceerdasan Emosional”.
3. Menelaah dan mengkaji bagaimana dua pemikiran di atas dapat diimplikasikan dalam praktik pendidikan Islam
E. Metode Penulisan Skripsi
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode pengumpulan data berupa kajian kepustakaan. Dimana untuk mengumpulkan data-data yang menunjang penelitian ini penulis mengkaji dan menelaah sumber-sumber yang berasal seperti dari buku-buku, laporan penelitian, makalah, artikel dan lain sebagainya.
2. Metode Analisis Data
Sedangkan untuk menganalisa data-data yang telah terkumpul, penulis menggunakan metode critical thinking yang menurut Brigid Ballard dan John Clanchy (1993: 47) “The critical thinking, therefore, involves: systematic analysis based on a questioning attitude to material being analysed and the methods being used and governed by overall purpose of reaching a judgment.”
Artinya: “Oleh karena itu, critical thinking meliputi : analisis sistematis yang didasarkan pada sebuah sikap bertanya, sikap tentang materi yang diteliti dan metode-metode yang digunakan dan menentukan secara keseluruhan tujuan dan pencapaian sebuah kesimpulan”.
Lebih lanjut Ballard dan Clanchy (1993: 60) menyebutkan bahwa dalam critical thinking terdapat beberapa tahapan, yaitu:
a. Analysis, yang mencakup:
1) mereduksi suatu persoalan yang kompleks menjadi unsur-unsur yang sederhana;
2) memeriksa hubungan antar unsur tersebut.
b. Critical analysis, yang mencakup:
1) mempertanyakan maksud unsur-unsur tersebut;
2) mengevaluasi keterangan-keterangan yang yang menunjukkan unsur-unsur itu;
3) membuat kesimpulan-kesimpulan tentang nilai dan hal yang penting yang terkandung.
c. Argument, yaitu menyampaikan kesimpulan-kesimpulan tersebut dalam argumen yang meyakinkan dan rasional.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika di sini dimaksudkan sebagai gambaran yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi, sehingga dapat memudahkan dalam memahami atau mencerna masalah-masalah yang akan dibahas. Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
Pada bab I, yaitu Pendahuluan, akan memuat tentang latar belakang masalah, penegasan dan pembatasan istilah, permasalahan, tujuan penulisan skripsi, metode dan sistematika penulisan skripsi.
Sedangkan dalam bab II akan diuraikan konsep EI yang meliputi pengertian, pentingnya, dan bagaimana pengembangannya.
Dalam bab III akan dibahas tentang “Kecerdasan Emosional” menurut pandangan Islam yang meliputi konsepsi qalb dalam Islam, yaitu berupa pengertian qalb, kemudian bagaimana dia di dalam Al-Qur’an dan bagaimana dengan fungsinya. Di sini juga akan dibahas tentang pentingnya qalb di dalam pendidikan, dan pengembangan atau manajemennya menurut Islam.
Selanjutnya Bab IV membahas tentang implementasi dua pemikiran di atas dalam praktik pendidikan Islam, dan Bab V sebagai Penutup berisi kesimpulan dan saran-saran.
* Seluruh kutipan ayat dalam skripsi ini diambil dari Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 1985