HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA PADA PENDIDIKAN SOSIAL

A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang berharga, berkepribadian dan bertanggung jawab. Dan atas tanggung jawabnya, manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan baik menerima atau menolak agama Allah; tidak dibenarkan adanya diskiriminasi antara sesama manusia dan diberi keleluasaan memperkembangkan hidupnya dalam rangka mempertinggi martabat umat manusia.[1]
Islam mempunyai pandangan sama rata kepada pengikutnya. Ajarannya tidak membedakan asal usul apakah ia dari golongan elite, ningrat, jutawan, pangkat, teknokrat, ataupun rakyat jelata; mereka diperlakukan sama. Sebab ditinjau dari segi manusiawi, mereka sama-sama manusia; yang membedakan manusia dengan manusia lain hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:





Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (hidup rukun damai). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. al-Hujarat: 13).[2]

Islam menerangkan bahwa Allah SWT telah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia untuk memilih tindakannya. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab manusia itu sendiri, sesuai dengan petunjuk al-Qur'an dalam memanfaatkan kebebasan tersebut. Allah SWT memberikan kebebasan itu yang disebut sebagai hak asasi manusia. Manusia bebas berbuat apa saja, tetapi harus senantiasa dibarengi dengan tanggung jawab.[3]
Hak asasi manusia diberikan oleh Allah SWT kepada semua manusia ciptaan-Nya dengan tujuan agar manusia dapat memanfaatkan hak-haknya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat melaksanakan tanggung jawab yang telah dibebankan Allah SWT kepadanya yaitu menjadi khalifatullah fil Ardli sekaligus sebagai hamba Allah SWT yang bertanggung jawab.
Diskursus mengenai HAM sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam kehidupan manusia HAM sudah sejak lama dipermasalahkan karena penegakan keadilan, dimanapun dan kapanpun, selalu menjadi harapan setiap orang. Banyak sejarah umat manusia yang menceritakan kehancuran suatu bangsa atau negara yang disebabkan karena kurangnya keadilan para penguasa dalam memerintah.
HAM dari masa ke masa selalu berkembang seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia dan kemajuan jaman. Kalau dulu, hak asasi manusia dilihat hanya sebatas hak-hak sipil dan politik, maka sekarang hak asasi manusia mencakup pula hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Permasalahan mengenai HAM dewasa ini sering muncul di permukaan. Banyak orang yang semakin memahami dan menyadari hak-hak asasinya. Di antara sebabnya adalah semakin lajunya proses pembangunan yang menjadi tuntutan anggota masyarakat dan karena hubungan antara bangsa yang semakin intens. Untuk itu pelaksanaan HAM di segala bidang harus benar-benar diterapkan untuk menghindari konflik sosial dalam masyarakat. Itulah sebabnya mengapa HAM bernilai relevan dan tetap up to date (sesuai dengan perkembangan jaman) hingga sekarang.
Pelanggaran HAM sering terjadi dimana-mana, baik di negara berkembang, maupun di negara maju HAM sering diselewengkan seperti di AS dan negara-negara Barat lainnya. Karena itu, akan kurang tepat jika tuduhan dari negara-negara maju misalnya bahwa negara-negara berkembang tertentu sering melakukan pelanggaran HAM. Tuduhan ini menimbulkan kesan bahwa negara-negara maju atau Barat tidak pernah melakukan pelanggaran HAM, padahal dalam prakteknya di negara-negara majulah terdapat kasus kehidupan yang rasialis, ketidakadilan, dan lain-lain yang jelas melanggar HAM.
Hal ini bisa jadi disebabkan pemahaman HAM yang berbeda antara masyarakat Barat dengan masyarakat Timur yang mempunyai kultur dan kebiasaan berbeda. Karena itu ada dua pendekatan untuk memahami HAM yaitu pendekatan Barat dan pendekatan Islam.[4]
Dunia Barat selalu menisbahkan konsep mengenai HAM kepada Piagam Magna Carta di Inggris pada tahun 1215 yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar sebuah perjanjian antara raja dan baron (bangsawan) Inggris.[5] Sebelumnya piagam tersebut tidak berisi prinsip-prinsip trial by juri (peradilan oleh juri), Habeas Corpis (surat perintah penahan)  dan pengawasan parlemen atas hak pajak.[6] Setelah abad ke-17 barulah dapat diketahui bahwa piagam Magna Carta mengandung prinsip-prinsip tersebut. Dapat dimaklumi bila setelah abad tersebut, konsep mengenai HAM banyak tertuang dalam undang-undang atau konstitusi yang berasal dari gagasan-gagasan para filosof dan pemikir hukum, seperti adanya Bill of Rights pada tahun 1688, Declaration of Independence pada tahun 1788 dan French Declaration pada   tahun  1789.
Puncak dari perkembangan konsep ini adalah dengan adanya deklarasi hak-hak asasi manusia sedunia oleh PBB yang dikenal dengan the Universal Declaration of Human Right (pernyataan HAM sedunia) pada tahun 1948.
The Universal Declaration of Human Right ini dibentuk karena banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di beberapa negara sebagai akibat adanya perang dunia I dan perang dunia II yang membawa banyak kesengsaraan dan penderitaan pada rakyat.
Menurut Alwi Shihab, DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang dibentuk oleh PBB ini banyak diwarnai oleh perspektif barat sekuler yang bersifat antroposentris, yakni lebih menekankan peranan manusia dan kebebasan serta haknya, ketimbang perspektif agama yang teosentris, yang menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM.[7]
Dalam DUHAM, konsep HAM tidak secara langsung disandarkan pada pemberian Allah SWT yang mutlak, tetapi merupakan konsep yang disusun oleh manusia dan disetujui oleh manusia lain. Dengan demikian, seolah-olah HAM merupakan hak manusia yang dengan sendirinya sudah dimiliki manusia tersebut dan bukan merupakan anugerah Allah SWT.
Selain itu, menurut Alwi Shihab, deklarasi PBB juga bersifat individualistik dan kurang menekankan pentingnya solidaritas dan kebutuhan orang banyak.[8] UDHR ini juga lebih menekankan hak daripada kewajiban, padahal hubungan antara keduanya sangat erat sebagai contoh adalah kebebasan mengemukakan pendapat merupakan hak fundamental tiap manusia, tetapi kebebasan tersebut harus didampingi oleh tanggung jawab dan kewajiban untuk menuturkan yang benar.
Berbeda dengan konsep HAM Barat, dalam Islam, hak asasi manusia dipandang sebagai anugerah Allah SWT  yang diberikan kepada tiap manusia tanpa terkecuali dan tidak dapat dihilangkan atau diganti. Hal ini bukan merupakan pemberian dari seorang raja atau lembaga legislatif yang bisa dicabut kembali apabila dipandang perlu. Dengan demikian konsep HAM dalam Islam bersifat teosentris artinya menekankan peranan Tuhan dalam menentukan HAM.
Karena HAM adalah hak yang diberikan oleh Allah, maka tak satupun lembaga atau negara di dunia yang berhak merubah hak-hak yang telah dianugerahkan Allah tersebut tanpa ada alasan yang jelas.
Hak-hak tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam, setiap manusia atau pemerintah yang mengaku sebagai muslim harus menerima, mengakui dan memberlakukan hak-hak asasi manusia tersebut.
Konsep HAM dalam Islam lebih bersifat sosialis dan lebih menekankan kewajiban dan tanggung jawab daripada hak. Artinya, walaupun HAM bersifat fundamental dan dijunjung tinggi, ia tetap mengutamakan hak-hak orang banyak dan pengorbanan hak pribadi demi kebutuhan masyarakat.
Sebenarnya, konsep tentang HAM sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Ini terbukti dengan terbentuknya Piagam Madinah yang menjelaskan pokok-pokok hubungan antara individu satu dengan individu lain dan masyarakat satu dengan masyarakat lain.
Pada masa awal-awal di Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw adalah menyatukan masyarakat dan sekitarnya, yang terdiri dari beberapa suku dan agama. Langkah strategis ini melahirkan Piagam Madinah yang meletakkan dasar-dasar kehidupan berbangsa dan bernegara dengan masyarakat majemuk. Dalam piagam tersebut diatur hubungan antara sesama komunitas Islam dan antara komunitas Islam dengan komunitas lainnya, seperti:
1.      Saling membantu dalam penanganan Wilayah Madinah
2.      Membela warga yang teraniaya
3.      Menghormati kebebasan beragama dan beribadah


4.      Menjaga hubungan bertetangga dengan baik
5.      Mangadakan musyawarah apabila terjadi sesuatu di antara mereka.[9]
Dengan demikian, dalam Islam kebebasan manusia tidak diberikan dengan sebebas-bebasnya. Ada batasan-batasan tertentu yang mengatur antara hak pribadi dan hak masyarakat dan kebebasannya. Selama apa yang manusia lakukan tidak melanggar aturan syara’ maka hal itu bisa diterima, namun apabila kebebasannya telah melanggar aturan syara’ maka ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh manusia.
Sebagai contoh adalah kebebasan beragama. Islam menghormati adanya kebebasan beragama, yang dalam al-Qur’an dinyatakan dengan la ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam menganut suatu agama). Akan tetapi, Islam mengutuk seorang muslim yang pindah agama, karena agama adalah masalah prinsip yang tidak bisa dibuat permainan.
Perbedaan konsep HAM antara Barat dan Islam ini dapat menyebabkan timbulnya perbedaan persepsi mengenai HAM. Untuk itu negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) menyusun sebuah deklarasi tentang HAM dalam Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan Hadits. Deklarasi tersebut adalah Cairo Declaration (CD) yang dibentuk pada tahun 1990. Pada  prinsipnya, menurut Alwi Shihab, Deklarasi Islam ini merupakan penyempurnaan dan pemberian nilai-nilai Islam terhadap Deklarasi universal PBB.[10] Karena perbedaan perspektif antara HAM Barat dan Islam sering menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya.
Walaupun beberapa deklarasi tentang HAM telah dibentuk, tetapi pada prakteknya masih banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan baik oleh suatu negara maupun oleh pribadi manusia. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman yang mendalam mengenai HAM, yang mengakibatkan nilai-nilai kemanusiaan kurang di dalam jiwa setiap individu. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan kesadaran mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam pribadi manusia, maka pendidikan sosial sangat diperlukan.
Menurut Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan sosial adalah pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan bersumber pada akidah Islamiyah yang abadi.[11]
Dari pengertian tersebut, pendidikan sosial dapat berarti suatu usaha dalam membentuk atau mengubah tingkah laku seseorang dalam menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial agar dapat bergaul dengan masyarakat di sekitarnya dengan baik dan bertanggung jawab.
Pendidikan sosial ini dilakukan dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran mengenai HAM kepada setiap manusia sekaligus dapat menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dan hubungan dengan manusia lain. Oleh sebab itu, untuk mengatur hubungan di antara manusia, diperlukan pendidikan sosial yang diberikan kepada setiap manusia untuk mengurangi terjadinya konflik sosial yang akhir-akhir ini naik ke permukaan.
Konflik sosial dan pelanggaran HAM dalam masyarakat ini, menurut Tarmidzi Taher, sering terjadi ketika hak, kewajiban dan tanggung jawab asasi manusia berjalan secara tidak seimbang.[12] Oleh karena itu untuk mengurangi adanya konflik sosial dan pelanggaran HAM dalam masyarakat, pendidikan sosial sangat dibutuhkan. Pendidikan kepada masyarakat ini berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat dimana ia berada. Islam mewajibkan kaum muslimin untuk saling hormat menghormati. Setiap individu hendaknya bisa menjaga kemuliaan, perasaan, seruan dan rintihan saudaranya. Haram antara mareka saling mengejek apalagi menjatuhkan prestise saudaranya.[13] Sehubungan dengan itu, pendidikan merupakan jaminan yang nyata terhadap perlindungan HAM, karena dengan pendidikan manusia akan mengetahui eksistensi hidupnya di dunia dan akan menghormati dan menjunjung tinggi eksistensi hidup manusia lain.
Dalam konteks inilah, skripsi ini diajukan dengan judul HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM  DAN IMPLEMENTASINYA PADA PENDIDIKAN SOSIAL.

B.     Definisi Operasional
Formulasi judul “HAM dalam Perspektif Islam dan Implementasinya pada Pendidikan Sosial” masih merupakan pengertian yang abstrak dan luas. Untuk itu ia akan dijabarkan dalam definisi operasional, agar tidak ada kesalahan dalam menginterprestasikan judul tersebut. Di sini penulis akan memberikan penegasan judul dan pembatasannya sebagai berikut:
1.  Hak Asasi Manusia
Secara umum makna Hak Asasi Manusia adalah seperti yang telah dikemukakan oleh Jan Materson dari Komisi HAM PBB yaitu hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpa dengannya manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.[14]
Sedangkan pengertian Hak Asasi Manusia dalam Islam adalah hak-hak yang diberikan Allah kepada setiap manusia (yang sifatnya kodrati) yang tanpa hak tersebut manusia tidak dapat menjalankan kehidupannya sebagai manusia yang bertanggung jawab (khalifatullah fil ardli).
Untuk menghindari meluasnya pembicaraan mengenai hak asasi manusia ini, penulis akan membatasi masalah yang dapat mewakili dari semua hak asasi manusia yaitu hak memperoleh kehidupan, hak memperoleh keadilan, hak memperoleh kebebasan yang meliputi kebebasan beragama, kebebasan berpikir dan berpendapat, kebebasan memperoleh pendidikan dan kebebasan dalam bersosialisasi dan bergaul dalam masyarakat.
3.  Pendidikan Sosial
Yang dimaksud dengan pendidikan sosial di sini adalah seperti yang dikemukakan oleh Dr. Abdullah Nasih Ulwan yaitu pendidikan anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan adab sosial yang baik dan dasar-dasar psikis yang mulia dan bersumber pada akidah Islamiyah yang abadi.[15]
Dari pengertian tersebut, pendidikan sosial dapat diartikan sebagai suatu usaha dalam membentuk atau mengubah sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok dalam menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial agar dapat bergaul dengan masyarakat di sekitarnya dengan baik dan bertanggung jawab.

C.    Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan penulis bahas dapatlah dirumuskan berikut ini:
1.      Bagaimana perspektif Islam tentang Hak Asasi  Manusia?
2.      Bagimana pendidikan sosial dalam perspektif Islam?
3.      Bagaimana implementasi HAM dalam perspektif Islam pada pendidikan sosial?.

D.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1.      untuk mengetahui perspektif Islam tentang HAM
2.      untuk mengetahui perspektif Islam tentang pendidikan sosial
3.      untuk mengetahui implementasi HAM dalam perspektif Islam pada pendidikan sosial.

E.     Metode Penelitian
1.    Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini dihimpun dengan metode library research (riset kepustakaan) yaitu dengan cara menelaah dan mengkaji buku, kitab, majalah dan tulisan kepustakaan lain yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Untuk mendapatkan data-data tersebut, ada beberapa sumber yang akan penulis gunakan, yaitu al-Qur’an (Q.S. Ali Imran: 112, Q.S. Al Hujaraat: 13), Hadits (H.R. Turmudzi tentang hubungan dengan sesama manusia), buku-buku yang membicarakan tentang HAM dan pendidikan sosial ( al-Qur’an dan HAM karangan Prof. Dr. Baharuddin Lopa, HAM dalam Islam karangan Abul A’la al-Maududi) dan literatur-literatur lain yang relevan dengan judul di atas.
2.    Metode Analisis Data
Dalam rangka menjawab permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:
a.       Metode Tafsir Maudlu’i atau Tematik, yaitu merumuskan tema masalah yang akan dibahas, menghimpun, menyusun, menelaah ayat-ayat al-Qur'an dan melengkapinya dengan hadits yang relevan dan menyusun kesimpulan sebagai jawaban al-Qur'an atas masalah yang dibahas.[16]
b.      Metode Deduksi dan Metode Induksi
Metode deduksi adalah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.[17]
Metode induksi adalah suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus, kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.[18]
Dengan menggabungkan kedua pola fikir atau kedua metode analisis data tersebut, penulis berharap dapat melihat suatu data dengan berbagai sudut pandang dan dapat menganalisisnya dari berbagai sudut pandang pula, sehingga analisis yang diperoleh tidak terikat oleh salah satu metode di atas.
d. Metode Komparasi
Metode komparasi adalah suatu metode yang digunakan untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang orang, tentang prosedur, kerja, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide/suatu prosedur kerja. Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus terhadap orang, peristiwa atau terhadap ide-ide.[19]
Dengan metode ini penulis ingin mencoba mengangkat pendapat atau ide-ide dari beberapa tokoh mengenai masalah yang penulis bahas, yang kemudian mencari pendapat yang paling sesuai dan mungkin paling tepat.
Setelah penulis mengumpulkan teori-teori dari berbagai sumber yang relevan, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dengan cara:
a.       memahami beberapa teori atau pendapat para ahli yang ada kaitannya dengan formulasi judul di atas.
b.      menghubungkan dua variabel yaitu antara HAM dalam perspektif Islam dan pendidikan sosial dengan memahami teori-teori yang relevan.
c.       menyimpulkan dari beberapa batasan teori sehingga dapat dipahami dengan mudah.

F.     Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan mencerna masalah yang akan dibahas, penulis menyajikan skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut;
Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang pola umum penelitian yang menyangkut tehnik operasional serta prosedur pelaksanaannya sebagai karya ilmiah yang terdiri dari latar belakang masalah, definisi operasional, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Dalam bab ini akan dibahas pengertian hak asasi manusia, konsep Islam tentang hak asasi manusia, dan hak asasi dalam Islam yang meliputi hak memperoleh kehidupan, hak memperoleh keadilan, hak memperoleh kebebasan yang mencakup kebebasan beragama, kebebasan berfikir dan berpendapat dan kebebasan memperoleh pendidikan, serta hak dalam bersosialisasi dan bergaul dengan masyarakat.
Bab III Pendidikan Sosial dalam Perspektif Islam. Pembahasan masalah yang tercakup dalam bab ini adalah pengertian pendidikan sosial, dasar-dasar pendidikan sosial dalam al-Qur'an dan hadits dantujuan pendidikan sosial.
Bab IV Implementasi HAM dalam Perspektif Islam pada Pendidikan Sosial. Dalam bab ini akan dibahas implementasi HAM pada kehidupan sosial yang meliputi mengembangkan sikap kasih sayang dan rasa persaudaraan, menyebarkan rasa kegotong royongan dan saling menolong, mengembangkan sikap saling menghargai pendapat orang lain. Dan HAM dan keadilan yang meliputi keadilan dalam hukum, keadilan dalam kehidupan beragama dan keadilan dalam pendidikan.
Bab V Penutup, yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup. Dalam bagian ini akan dicantumkan juga daftar pustaka, lampiran-lampiran dan daftar riwayat pendidikan penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Syamsudin, Manusia dalam Pandangan K.H. A. Azhar Basyir, M.A., Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997.
Prof. R.H. A. Soenarjo, S.H., al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemahan al-Qur'an, Departeman Agama RI, Jakarta, 1989.
Prof. Dr. H. Baharudin Lopa, S.H., al-Qur'an dan Hak-hak Asasi Manusia, Dasar Bhkati Primayasa, Yogyakarta, 1996.
Sayid Sabiq, Unsur-unsur Dinamika dalam Islam, Intermasa, Jakarta, 1981.
Munawir Sjadzali, Nurkholis Madjid, dkk., HAM dan Pluralisme Agama, Penerbit Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Surabaya, 1997.
Ensiklopedi Indonesia Jilid 2, PT. Lehtian Baru, Van Hoeve, Jakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1993.
Drs. H. Ibnu Mas’ud, Kamus Pintar Populer, CV. Aneka, Solo, 1991.
Masri Singarimba, Metode Penelitian Suvai, LP3ES, Jakarta, t.th.
Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Membumikan al-Qur'an, Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1994.
Drs. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.



[1]Muhammad Syamsudin, Manusia dalam Pandangan K.H. A. Azhar Basyir, M.A., Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm. 57.
[2]Prof. R.H. A. Soenarjo, S.H., al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemahan al-Qur'an, Departeman Agama RI, Jakarta, 1989, hlm. 847
[3]Prof. Dr. H. Baharudin Lopa, S.H., al-Qur'an dan Hak-hak Asasi Manusia, Dasar Bhkati Primayasa, Yogyakarta, 1996, hlm. 17.
[4]Abul A’la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 15
[5]Baharuddin Lopa, Op. cit., hlm. 2
[6]Abul A’la Al-Maududi, Op. cit., hlm. 16
[7]Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizan, Jakarta, 1999, hlm. 183
[8]Ibid.
[9]Munawir Sjadzali, Nurcholis Madjid, dkk., HAM dan Pluralisme Agama, Penerbit Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Surabaya, 1997, hlm. 79-80.
[10]Dr. Alwi Shihab, Op. cit., hlm. 183
[11]Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, CV. As-Syifa, Semarang, 1981, hlm. 391
[12]Munawir Sjadjali, Nurcholis Madjid, dkk., Op. cit., hlm. 4
[13]Sayid Sabiq, Unsur-Unsur Dinamika dalam Islam, Intermasa, Jakarta, 1981, hlm. 176
[14]Prof. Baharuddin Lopa, Op. cit., hlm.
[15]Dr. Abdullah Nasih Ulwan, Op. cit,  hlm. 391
[16]Dr. M. Quraish Shihab, M.A., Membumikan al-Qur'an, Fungsi dan Pesan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 114-115.
[17]Drs. Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996,        hlm. 58.
[18]Ibid., hlm. 57.
[19]Dr. Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 249