Pendapat Ahmadiyah Tentang Nabi Akhir Zaman (Studi Analisis)

A.     Latar Belakang Masalah
Ahmadiyah adalah nama ajaran dan gerakan yang  ditokohi oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) di Qadian, Punjab, India. Ajaran dan gerakan ini, sebagaimana Ajaran Babiyyah dan Baha’iyyah yang timbul di Persia yang  dicetuskan oleh Ali Muhammad Syrazi (wafat tahun. 1850) dan Mirza Husein Ali (1817-1892), oleh kalangan muslim Sunni ortodoks dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang  sebenarnya.[1]  
Sebenarnya ada dua kelompok Ahmadiyah yang  berbeda penafsiran tentang klaim Mirza Ghulam Ahmad. Cabang Qadian, pendiri mereka adalah seorang nabi, sementara cabang Lahore mengklaim bahwa ia hanyalah seorang pembaharu (Mujaddid).[2]

Dengan demikian terjadi perbedaan yang  mendasar antara Sekte Lahore dan Sekte Qadiani. Bagi Ahmadiyah masalah kenabian ini ada dua versi, yang pertama diistilahkan sebagai Nubuwwah Tasyri’iyyah (kenabian yang  membawa syari’at), dan kedua adalah Nubuwwah Ghair Tasyri’iyyah  (kenabian tanpa membawa syari’at). Selanjutnya dijelaskan bahwa kenabian versi kedua ini (Nubuwwah Ghair Tasyi’iyah atau kenabian tanpa membawa syaria’at), meliputi Nubuwwah Mustaqillah (kenabian mandiri) dan Nubuwwah Ghair Mustaqillah (kenabian yang  tidak mandiri).
Para nabi yang mandiri adalah semua nabi yang datang sebelum Nabi Muhammad Saw, dimana mereka tidak perlu mengikuti syari’at nabi sebelumnya. Sedangkan yang  dimaksud dengan nabi Ghair Mustaqillah (tidak mandiri) yaitu nabi yang mengikuti syari’at nabi sebelumnya, seperti kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang  mengikuti syari’at Nabi Muhammad Saw.
Dengan demikian, menurut Faham Ahmadiyah, hanya nabi-nabi yang  membawa syaria’at saja yang sudah berakhir, sedangkan nabi-nabi yang  tidak membawa syari’at akan tetap berlangsung. Nabi mandiri dalam pandangan Sekte Ahmadiyah Lahore, bisa berarti bahwa nabi jenis ini diberi wewenang oleh Tuhan atas dasar petunjuknya guna menghapus sebagian ajaran nabi sebelumnya yang  dipandang tidak sesuai lagi saat itu, atau dengan menambah ajaran baru sehingga syari’at itu menjadi lebih sempurna. Terjadinya perubahan sedikit demi sedikit dari nabi-nabi yang datang kemudian sehingga syari’atnya menjadi lebih sempurna daripada syari’at yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, maka jenis kenabian seperti itu, mereka istilahkan dengan nabi Mustaqil. Oleh karena itu, kata nabi mempunyai dua arti yaitu arti secara Lughawi dan arti istilah, maka golongan Lahore ini berkesimpulan bahwa nabi yang  tidak membawa syari’at disebut nabi Lughawi atau nabi Majazi, yang  pengertiannya ialah seorang yang  mendapat berita dari langit atau dari Tuhan. Selanjutnya nabi yang membawa syari’at mereka sebut nabi Hakiki.   
Menurut Faham Lahore, Mirza Ghulam Ahmad atau Al-Mahdi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai nab­i hakiki. Berbeda dengan faham kenabian Sekte Qadiani, mereka memandang Al-Mahdi Al-Ma’hud (yang  dijanjikan) sebagai nabi dan rasul yang wajib diyakini dan dipatuhi perintahnya. Sebagaimana nabi dan rasul yang lain, menurut Sekte Qadiani, seorang Qadiani tidak boleh membeda-bedakan antara nabi yang satu dengan yang  lain, sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan yang dipesankan Nabi Muhammad Saw untuk mengikuti Al-Mahdi yang  dijanjikan. Sekalipun demikian, faham kedua aliran tersebut terdapat juga persamaannya yaitu mereka sepakat tentang berakhirnya nabi Tasyri’i atau nabi Mustaqil sesudah Nabi Muhammad Saw.
Adapun Faham Mahdi Ahmadiyah mengenai Khatamul Anbiya’ atau penutup para nabi, Golongan Lahore tampak tidak jauh berbeda dengan Faham Sunni. Artinya mereka benar-benar berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah penutup sekalian para nabi, baik yang baru maupun yang lama sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 40.
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا(40)
Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Qs.33: 40).[3]

Jika kita kaji uraian di atas, Ajaran Ahmadiyah, terutama ajaran yang digulirkan oleh Sekte Qadiani sangat meresahkan kehidupan ummat Islam pada umumnya. Hal itu terbukti dengan adanya hujatan dari sebagian ummat Islam yang ditujukan kepada Ahmadiyah. Namun dalam kenyataanya ajaran ini tetap berkembang meskipun banyak terjadi pasang surut. Kenyataan inilah yang menjadi dasar dan dorongan bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam ajaran Ahmadiyah dalam perspektif Al-Qur’an dan Al-Hadits (pendekatan teologis), dengan harapan dapat menjelaskan apakah Ajaran Ahmadiyah tentang Nabi Akhir Zaman sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits ? Dari sini tentunya diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu yang  berhubungan dengan aqidah.
Bila masalah ini tidak dikaji akan menimbulkan kontroversi yang  berkepanjangan bahkan perpecahan antara golongan sesama ummat Islam. Itulah yang  menjadi latar balakang penulis mengangkat masalah ini dengan judul: Pendapat Ahmadiyah Tentang Nabi Akhir Zaman (Studi Analisis).

B.     Penegasan Judul
Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul di atas dan demi menghindarkan dari bermacam - macam penafsiran terhadap Skripsi yang berjudul “Pendapat Ahmadiyah Tentang Nabi Akhir Zaman (Studi Analisis). Maka penulis sangat perlu  untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang pengertian beberapa kata yang tercantum dalam judul tersebut, sehingga dapat diketahui arti dan makna yang dimaksudkan.
1.             Ahmadiyah  : Jemaat yang digelarkan kepada nama akhir pendirinya Mirza Ghulam Ahmad (lahir di Qadian Punjab India 1835-1908). Ahmadiyah terdiri dari dua sekte, pertama sekte Qadiani dan kedua sekte Lahore. [4]
Pembahasan skripsi ini akan penulis spesifikasikan pada ajaran yang dibawa oleh sekte Qadiani.
2.             Nabi Akhir Zaman:  orang (nabi) terakhir yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyuNya.[5]
Dengan demikian dari penegasan judul tersebut  yang penulis  maksud  dengan judul  skripsi  di atas adalah  penelitian atau penyelidikan  yang mendalam mengenai pendapat Ahmadiyah.
C.     Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang  ingin kita carikan jawabannya.[6] maka yang  menjadi rumusan masalah penulisan ini sebagai berikut:
1.       Apa argumentasi Ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi akhir zaman ?
2.       Bagaimana pengaruh ajaran Ahmadiyah terhadap ummat Islam ?
3.       Bagaimana respon ummat Islam  terhadap ajaran Ahmadiyah pada masa sekarang ?
D.     Tujuan Penulisan
Adapun yang  menjadi tujuan penulisan skripsi:[7]
1.       Untuk mengetahui argumentasi Ahamadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi akhir zaman.
2.       Untuk mengetahui pengaruh ajaran Ahmadiyah terhadap ummat Islam.
3.       Untuk mengetahui respon ummat Islam  terhadap ajaran Ahmadiyah pada masa sekarang.
E.     Manfaat Penulisan.
Sebagai manfaat dari penulisan skripsi ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Bagi kepentingan ilmu pengetahuan yaitu untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan Agama Islam, khususnya dalam mengembangkan bidang aqidah.
2.      Bagi kepentingan Masyarakat yaitu untuk memberikan kejelasan terhadap posisi ajaran Ahmadiyah dengan rujukan Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga bisa terungkap apakah ajaran Ahmadiyah itu sesuai dengan wahyu Ilahi atau tidak dengan adanya kejelasan itu diharapkan masyarakat memiliki pegangan dalam menentukan aqidahnya. 
F.      Tinjauan Pustaka.
Berdasarkan penelitian di Perpustakaan Fakultas Ushuluddin ditemukan adanya satu skripsi yang ada hubungannya dengan judul skripsi ini. Skripsi yang dimaksud berjudul “ Studi Komparasi Faham Mahdi Syi’ah  Dan Ahmadiyah” disusun oleh Ahmad Fauzi (4190265). Dalam temuannya penyusun skripsi menguraikan tentang faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah tampak jelas perbedaannya, baik dilihat dari aspek teologi, cara-cara merealisasikan ide-ide kemahdiannya, maupun dari aspek ajarannya.
Seperti diketahui, ide kemahdian ini bermula dari kekecewaan dan penderitaan kaum Syi'ah yang berkepanjangan. Mereka selalu dalam tekanan politik musuh-musuhnya, sesudah mereka kehilangan kesempatan untuk memperoleh kembali kekuasaan polotik. Oleh karena itu, mereka selalu mendambakan sosok pemimpin yang berwibawa, dihormati oleh lawan atau kawan dan menjadi pengusa tunggal di dunia Islam, itulah Al-Mahdi.
Dalam masalah ini kaum Syi'ah sepakat, bahwa Al-Mahdi itu harus lahir dari keturunan Ali ibn Abi Thalib. Namun mereka berbeada pendapat, apakah ia harus dari keturunan Hasan dan Husain (dari garis Rasulullah) atau tidak? Tampaknya masing-masing golongan telah mengangkat tokoh-tokohnya sendiri sebagai Al-Mahdi, seperti Syi'ah Kaisaniyah dengan Magdisme Isna ‘Asyariyyah, yang keduannya mengaku dari keturunan Husain. Paham kemahdian Isma’iliyyah tampak lebih Realitis daripada paham Syi'ah Isna ‘Asyariyyah yang fantastis, karenanya Al-Mahdi belum pernah muncul, bahkan ia tidak pernah akan muncul untuk selama-lamanya.
Adapun paham kemahdian Ahmadiyah, yang dimotivasi oleh keinginan untuk mengadakan pembaharuan pemikiaran dalam memahami ajaran Islam, bukan untuk merebut kekuasaaan politik. Akan tetapi, kemunculan Al-Mahdi pada aliran ini dipadukan dengan kedatangan kembali ‘Isa Al-Masih dan Krishna yang terjelma pada diri Mirza Gulam Ahmad. Kemunculan Al-Mahdi yang inkarnatif ini, menandakan adanya pengaruh Kehinduan, oleh karena itu, aliran baru tersebut banyak memunculkan aqidah baru yang Inovatif, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan paham kemahdian Syi'ah ataupun lainnya. Oleh karena itu, mereka menolak paham Mahdi yang Person kemahdiannya bukan berasal dari India, tentunya kaum Syi'ah pun menganggap asing dan menolak munculnya Al-Mahdi di luar keturunan ‘Ali ibn Abi Thalib.
Adapun beberapa buku yang telah dipublikasikan yang ada hubungannya dengan penelitian ini diantaranya Howard M. Federspiel dalam bukunya mengatakan bahwa Ahmad Hasan seorang tokoh Persatuan Islam (PERSIS) telah memasukkan kritik terhadap keyakinan-keyakinan spesifik Ahmadiyah. Dalam An-Nubuwwah, misalnya, ia secara khusus menyerang keyakinan Mirza Ghulam Ahmad yang  menganggap dirinya sebagai nabi. Selain itu Ahmad Hasan mengungkapkan keberatannya terhadap Ahmadiyah Qadian mengenai Isa yang digambarkannya secara ringkas dalam sebuah fatwa yang  berjudul “ Nabi Yang  Masih Hidup”.[8]
Selanjutnya Howard M. Federspiel menegaskan bahwa dalam banyak hal, pandangan keagamaan Ahmadiyah Qadian tidak jauh berbeda dari pandangan kaum modernis muslim karena juga menghimbau penyingkiran praktek-praktek dan keyakinan-keyakinan non Islam dari Islam dan menentang banyak praktek muslim tradisionalis. Tetapi mengenai dua masalah spesifik yaitu kematian Isa Al-Masih dan klaim bahwa pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, ada perbedaan mendasar dan penekanan pada perbedaan-perbedaan ini menyebabkan timbulnya banyak sekali permusuhan antara pengikut Ahmadiyah dan pengikut Sunni.[9]
Pada halaman yang sama Howard M. Federspiel lebih lanjut mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad telah mengkalaim dirinya sebagai nabi berdasarkan pada penafsiran Ahmadiyah terhadap surat Al-Ahzab, 33:40, yang menyatakan bahwa Muhammad adalah Khatam para nabi mereka membantah keyakinan kaum Sunni bahwa ayat ini menunjukkan Muhammad Saw adalah nabi terakhir dan mengklaim bahwa ayat itu hanya menunjukkan bahwa Muhammad Saw adalah nabi terakhir yang akan membawa hukum Ilahi kepada umat manusia. Ahmadiyah mengklaim bahwa nabi-nabi lain yang tidak membawa hukum bisa saja muncul, dan Ghulam Ahmad adalah nabi semacam itu. Mereka mengatakan bahwa Ghulam Ahmad tampil hanya untuk memperbaharui agama tetapi syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw masih memadai bagi umat manusia.[10]
Ahmad Hasan menolak pendapat ini dengan mengatakan bahwa ayat yang  disebutkan di atas telah disalah fahami oleh Ahmadiyah Qadian .[11] Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya sebagian besar Umat Islam menolak dengan keras terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad yang  mengatakan bahwa ia sebagai nabi, mengingat argumentasi yang diketengahkan Mirza Ghulam Ahmad dan para pengikutnya sangat bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kesimpulan lain yang dapat penulis ambil bahwa terdapat perbedaan antara skripsi terdahulu sebagaimana telah disebutkan di atas dan buku-buku yang telah dipublikasikan dengan skripsi yang penulis susun. Perbedaannya penelitian terdahulu titik tekannya hanya mengungkapkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan sebagai nabi akhir zaman, tetapi tidak mengungkapkan apa yang menjadi argumentasi Ahmadiyah mengaggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi akhir zaman. Di samping itu tidak diungkapkan pula pengaruh ajaran ahmadiyah dan Respon ummat Islam terhadap ajaran Ahmadiyah pada masa sekarang. Sedangkan skripsi yang penulis susun ini titik berat pembahasannya bukan sekedar apakah Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi akhir zaman, melainkan yang lebih utama untuk diteliti adalah tentang argumentasi Ahmadiyah mengaggap Mirza sebagai nabi akhir zaman. Di samping itu diteliti pula tentang pengaruh ajaran Ahmadiyah terhadap umat Islam dan respon ummat Islam  terhadap ajaran Ahmadiyah pada masa sekarang.
G.    Metode Penulisan
Berdasarkan pada uraian sebelumnya, maka metodologi akan dibahas secara berurutan, yaitu sumber data, pengumpulan data, pengolahan data, dan  analisa data.
1.   Sumber Data terdiri dari: [12]
a. Sumber data primer, yaitu kepustakaan yang diterbitkan Ahmadiyah   berupa buku majalah dan selebaran.
b.Sumber data sekunder, yaitu sejumlah bacaan yang ada relevansinya dengan judul di atas, dengan mengutamakan sumber bacaan yang  di susun oleh pengarang yang memiliki otoritas atau keunggulan tertentu, khususnya dalam aspek kajian judul di atas. Dengan demikian penulis menggunakan Jenis Library Research yaitu suatu riset kepustakaan.[13] 
2.   Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan: studi dokumenter (dokumentasi) yaitu dengan mengumpulkan kepustakan baik primer maupun yang  sekunder.

3.   Pengolahan Data
Dalam mengolah data, penulis mengumpulkan data sebanyak mungkin terutama data primer. Sedang data lainnya yang bersifat menunjang data primer, sepanjang data itu relevan dengan judul penulisan maka keseluruhan data dikumpulkan. Dalam hal ini penulis akan sangat berhati-hati dalam memilah data-data. Dengan kata lain data yang terkumpul diupayakan bersifat Valid dan Reliabel.
4.   Analisis Data
Data-data yang telah diolah, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis data kualitatif, yakni data yang  tidak menggunakan angka-angka statistik ( Kuantitatif ).[14]
Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan dengan menjelaskan atau menggambarkan variabel masa lalu dan sekarang (sedang terjadi).[15] Dengan demikian penulis akan menggambarkan dan menjelaskan Ajaran Ahmadiyah tentang nabi akhir zaman, dengan pola berfikir yang  bertitik tolak dari kesimpulan yang  bersifat umum menuju kepada yang  khusus (metode deduktif) dan sebaliknya berfikir dari yang  bersifat khusus menuju kepada yang umum (metode induktif). Sedangkan sebagai metode analisisnya digunakan metode Content Analysis[16] yaitu menganalisis isi buku-buku atau kepustakaan yang relevan dengan judul di atas.
H.     Sistemmatika Penulisan
Untuk memberikan gambaran sistematika skripsi, maka penulis bagi atas lima bab. Adapun perinciannya sebagai berikut:
Bab Satu berisi; tentang pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah; penegasan judul; rumusan masalah; tujuan penulisan; manfaat penulisan; tinjauan pustaka; metode penulisan; dan sistematika penulisan. Dalam bab ini digambarkan garis besar isi skripsi namun bersifat integral komprehensif.
Bab Dua; Berisi Tinjauan umum tentang konsep nubuwah dalam Islam yang meliputi; Konsep Nubuwah; Nubuwah Nabi Muhammad Saw dan Mu'jizat. Dengan introduksi teori sebagaimana tergambar di atas, maka landasan teori ini diharapkan dapat mendukung dan memperjelas paparan yang  dikemukakan dalam bab ketiga. 
Bab Tiga; Berisi tentang Ahmadiyah dan ajarannya yang  terdiri dari; sejarah berdirinya Ahmadiayah; ajaran Ahmadiyah dan tentang nabi akhir zaman menurut Ahmadiyah. Dari ketiga sub tersebut dimaksudkan untuk mendukung dan memperjelas analisis yang  dikemukakan dalam bab keempat.
Bab Empat; Merupakan analisis pembahasan yang terdiri dari tiga bagian yaitu analisis argumentasi Mirza Ghulam Ahmad menganggap sebagai nabi akhir zaman; pengaruh ajaran Ahmadiyah terhadap ummat Islam; dan implementasi ajaran Ahmadiyah pada masa sekarang. Dengan menganalisis ketiga butir di atas, diharapkan dapat menjawab dengan jelas pokok masalah atau rumusan masalah skripsi ini.

Bab Lima; merupakan penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan penutup. Dalam bab kelima ini, kesimpulan merupakan isi keseluruhan pokok permasalahan, sedangkan saran-saran diberikan sesuai dengan tingkat urgensinya penulisan di atas.


[1] Sir Muhammad Iqbal, Islam And Ahmadism, Replay To Questions Raised By Pandit Jawahar Lal Nehru, Terj. Machnun Husein, Islam dan Ahmadiyah, Jawaban Terhadap Pertanyaan Pandit Jawahar Lal Nehru, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 5
[2] Howard M. Federspiel, Persatuan Islam: Islamic Reform In Twentieth Century Indonesia, Terj. Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar, Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1996, hlm. 128
[3] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama 1986, hlm. 674
[4] Tim Penyusun IAIN Syaruf Hidayatullah, Ensiklopedi Islam,  Djembatan, Jakarta, 1992, hlm. 84
[5] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 770
[6] Jujun S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. VII, Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1993, hlm. 312
[7] Menurut Suharsimi Arikunto, tujuan penulisan (penelitian) dirumuskan dalam kalimat pernyataan, dalam hal ini rumusan kalimat yang  menunjukkan adanya sesuatu hal yang  diperoleh setelah penelitian selesai. Selanjutnya ia menyatakan, sebenarnya bila dilihat dari isinya sesuatu yang ingin dicapai yang merupakan tujuan penulisan, sama dengan jawaban yang dikehendaki dalam problematik penulisan. Lihat dalam Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. XII, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm 51-52
[8] Howard M. Federspiel, Op. Cit, hlm 129. Lihat juga  Ahmad Hasan, Nabi yang Masih Hidup, Soal Jawab, No. 12, hlm. 80-86
[9] Ibid
[10] Ibid., hlm. 129-130. Lihat juga Hamka, (H. Abdul Malik Karim Amrullah), Ajahku, Widjaya, Jakarta, 1958, hlm. 110
[11] Ahmad Hasan, An-Nubuwwah, Persatuan Islam, Bangil, 1941, hlm. 11
[12] Berdasarkan sumbernya, data dapat diklasifikasikan: data primer yaitu data yang  diperoleh langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya. Sedangkan data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh penulis. Lihat Marzuki, Metodologi Riset, Cet. IV, BPFE, UII, Yogyakarta, 1986, hlm. 55-56. Bandingkan dengan Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 132
[13] Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid.I, Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 9 Lihat juga Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Cet. V, Alumni Bandung, 1986, hlm. 28
[14] Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Cet. XIV, PT. Remaja Rodaskarya, Bandung, 2001, hlm. 21
[15] Suharsimi Arikunto, op. cit. hlm. 12
[16] Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik, Rasinalistik, Fenomenologi dan Metafisik; Telaah Studi Teks dan Penelitian Agama, Bayu Indra Grafika, Yogyakarta, 1989, hlm. 76