Ajaran Islam merupakan ajaran yang paling sempurna dan sebagai ajaran ysng berfungsi untuk menyempurnakan ajaran-ajaran yang telah diturunkan oleh Allah SWT kepada umatnya sebelum ajaran Islam. Sehingga apabila kita melihat sumber-sumber hukum yang dipergunakan itu lebih lengkap dan lebih banyak baik yang berupa wahyu Allah, sunnah Rasulullah ataupun hasil ijtihad manusia yang dalam hal ini adalah hasil ijtihad para ulama yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam ajaran Islam. Sebagaimana dengan sesuatu hal yang lain, dalam hal ini tidak semua ulama berpendapat sama tentang dalil-dalil hukum syar’i, ada dalil-dalil syar’i yang sudah merupakan kesepakatan para ulama dan juga masih ada dalil-dalil syar’i yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Adapun dalil-dalil syar’i yang sudah disepakati para ulama yaitu :
Al-Qur’an adalah kumpulan firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an Al-Qur’an bukanlah dinamakan Al-Qur’an, dan seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca terjemahan Al-Qur’an, maka shalatnya tidak sah.
Al-Qur’an ditulis di atas lembaran mushaf, dimulai dari surah Al-Fatihah dan berakhir dengan surah An-Naas yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi terpelihara dari perubahan dan penggantian.
Al-Qur’an
a. PengertianAl-Qur’an adalah kumpulan firman Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu terjemahan Al-Qur’an Al-Qur’an bukanlah dinamakan Al-Qur’an, dan seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca terjemahan Al-Qur’an, maka shalatnya tidak sah.
Al-Qur’an ditulis di atas lembaran mushaf, dimulai dari surah Al-Fatihah dan berakhir dengan surah An-Naas yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi terpelihara dari perubahan dan penggantian.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an terjemah Departemen Agama. Menurut turunnya, wahyu (Al-Qur’an) dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
- Wahyu (surah) yang turun di Mekkah disebut Makiyah. Pada umumnya berisi soal-soal kepercayaan, misalnya ketuhanan, hubungan manusisa dengan Tuhan (hablumminallah).
- Wahyu (surah) yang turun di Madinah disebut Madaniyah. Pada umumnya berisi soal-soal mengatur perhubungan sesama manusia yang berisi hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlak, dan lain-lain, hubungan manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air, dan sebagainya disebut hablumminannaas.[1]
Isi pokok Al-Qur’an
Pokok-pokok isi Al-Qur’an ada lima yaitu :- Tauhid (mengesakan Allah)
- Ibadah
- Janji dan ancaman
- Jalan-jalan untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat
- Riwayat dan cerita.[2]
Dasar hukum
Al-Qur’an merupakan kitab yang terakhir diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw dan dijadikan pedoman hidup bagi seluruh umat Islam di dunia. Jadi apabila terdapat suatu kejadian,maka untuk pertama kali harus mencari hukumnya dalam Al-Qur’an, apabila telah ditentukan dalam Al-Qur’an maka hukum itu harus dilaksanakan sesuai dengan hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an. Akan tetapi apabila tidak menemukan penyelesaiannya dalam Al-Qur’an, maka kita mjencari pada sumber hukum Islam yang tingkatannya di bawah Al-Qur’an yakni AS-Sunnah dan seterusnya. Firman Allah Swt :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-Nya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59).[3]
Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya artinya ialah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, sedang perintah mengikuti ulil amri di antara muslimin artinya ialah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil amri umat Islam dalam soal pembentukan hukum Islam. Dan perintah mengembalikan kejadian-kejadian yang dipertentangkan diantara umat Islam, kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, artinya ialah perintah mengikuti qiyas ketika tidak terdapat nash atau ijma’, karena pengertian taat dan mengembalikan dalam masalah ini adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, karena qiyas itu ialah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat nash bagi hukumnya, karena adanya kesamaan ilat hukum antara dua kejadian tersebut.[4] Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “Berkata kepada kami Abdullah menyampaikan kepada saya ayahku berkata kepada kami ‘Afan, berkata kepada kami Syu’bah, memberikan berita kepadaku Abu ‘Aun berkata saya mendengar Haris bin Umar dan Ibnu Akhi Al-Mughirah Ibnu Syu’bah dia berkata dari sahabat Mu’ad dari ahli jasmi dari Mu’ad bahwasanya Nabi SAW berkata kepada Mu’ad bin Jabal ketika diutus ke Yaman, maka Nabi bertanya : bagaimana engkau memberikan keputusan ketika di hadapkan kepadamu suatu kejadian ? Mu’ad menjawab : saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah SWT (kitabullah), Nabi bertanya lagi : jika tidak kamu dapati dalam kitabullah ? Mu’ad menjawab : maka dengan sunnah Rasulullah, Nabi bertanya : jika tidak kamu dapati dalam sunah-Nya ? Mu’ad menjawab aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan mempersulit ijtyihadku. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’ad seraya bersabda : segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang Rasulullah merasa puas dengan itu. (HR. Ahmad).[5]
Sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah baik itu berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan.[8] Dalam hal ini sunnah dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
1) Sunnah qauliyah
Yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat dan disampaikan kepada orang lain.
2) Sunnah fi’liyah
Yaitu perbuatan yang dilaksanakan oleh Nabi dilihat oleh para sahabat kemudian disampaikan pada orang lain dengan ucapan.
3) Sunnah taqririyah
Yaitu perbuatan seseorang sahabat atau ucapan yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapan.[9]
1) Ta’kid yaitu menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an.
2) Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an.
3) Menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah secara jelas yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.[10]
Bukti kehujjahan sunnah :
1) Nash Al-Qur’an :
Artinya: “Taatilah Allah dan Rasulnya”(Q.S. Ali Imron : 32).[11]
2) Ijma’ para sahabat semasa beliau masih hidup dan setelah wafatnya tentang keharusan untuk mengikuti sunnah.
يايهاالذين امنوااطيعواالله واطيعوالرسول واولىالأمرمنكم فإن تنازعتم فى شيئ فرد وه الىالله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الاخر ذلك خير واحسن تأويلا (النساء : 59)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-Nya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59).[3]
Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya artinya ialah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, sedang perintah mengikuti ulil amri di antara muslimin artinya ialah mengikuti hukum-hukum yang telah disepakati oleh para mujtahidin, karena mereka itulah ulil amri umat Islam dalam soal pembentukan hukum Islam. Dan perintah mengembalikan kejadian-kejadian yang dipertentangkan diantara umat Islam, kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, artinya ialah perintah mengikuti qiyas ketika tidak terdapat nash atau ijma’, karena pengertian taat dan mengembalikan dalam masalah ini adalah mengembalikan masalah yang dipertentangkan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, karena qiyas itu ialah mengadakan penyesuaian antara kejadian yang tidak terdapat nash bagi hukumnya, karena adanya kesamaan ilat hukum antara dua kejadian tersebut.[4] Sabda Rasulullah SAW :
حدثنا عبدالله حدثنى ابى ثنا عفان ثنا شعبة اخبرنى ابوعون قال: سمعت الحارث بن عمرابن اخى المغيرة ابن شعبة يحدث عن ناس من اصحاب معاذ من اهل جهصمى عن معاذ انّ النبى ص.م. قال لمعاذبن جبل حين بعثه الى اليمن فذكركيف تقضى ان عرض لك قضاء قال: اقضى بكتاب الله قال: فإن لم يكن فى كتاب الله قال فبسنّة رسول الله ص.م. فإن لم يكن فى سنة رسول الله قال: اجتهد رأيى فضرب صدري فقال الحمد لله الّذى وفق رسول رسول الله لما يرضى رسوله.
Artinya : “Berkata kepada kami Abdullah menyampaikan kepada saya ayahku berkata kepada kami ‘Afan, berkata kepada kami Syu’bah, memberikan berita kepadaku Abu ‘Aun berkata saya mendengar Haris bin Umar dan Ibnu Akhi Al-Mughirah Ibnu Syu’bah dia berkata dari sahabat Mu’ad dari ahli jasmi dari Mu’ad bahwasanya Nabi SAW berkata kepada Mu’ad bin Jabal ketika diutus ke Yaman, maka Nabi bertanya : bagaimana engkau memberikan keputusan ketika di hadapkan kepadamu suatu kejadian ? Mu’ad menjawab : saya akan memberikan keputusan dengan hukum Allah SWT (kitabullah), Nabi bertanya lagi : jika tidak kamu dapati dalam kitabullah ? Mu’ad menjawab : maka dengan sunnah Rasulullah, Nabi bertanya : jika tidak kamu dapati dalam sunah-Nya ? Mu’ad menjawab aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku tidak akan mempersulit ijtyihadku. Maka Rasulullah menepuk dada Mu’ad seraya bersabda : segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah terhadap sesuatu yang Rasulullah merasa puas dengan itu. (HR. Ahmad).[5]
Otentitas Al-Qur’an
Umat Islam telah sepakat bahwa kumpulan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang disebut Al-Qur’an dan yang termuat dalam mushaf adalah otentik dan semua wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw. Dari Allah melalui malaikat jibril telah termuat dalam Al-Qur’an. Keotentikan Al-Qur’an ini dapat dibuktikan dari hati kehati para sahabat dalam membukukan dan penggadaannya.Fungsi dan tujuan turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampikan kepada manusia demi kemaslahatan dan keuntungan bagi mereka, khususnya kaum mukminin yang beriman akan kebenarannya. Kemaslahatan itu dapat berbentuk mendatangkan manfaat dan keuntungan, maupun dalam bentuk melepaskan manusia dari kemadaratan atau kecelakaan yang akan menipunya. Bila ditelusuri dari ayat-ayat yang menjelaskan fungsi turunnya Al-Qur’an, maka dapat dilihat dalam beberapa bentuk diantaranya :- Sebagai petunjuk bagi umat manusia.
- Sebagai pembeda antara yang haq dan yang bathil.
- Sebagai rahmat yakni keberuntungan yang diberikan oleh Allah SWT.
- Sebagai mauidhah yaitu pengajaran yang akan mengajar dan membimbing umat dalam kehidupannya untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Sebagai busyra yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada Allah dan sesamanya.
- Sebagai tibyan yaitu penjelasan atau menjelaskan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah SWT.
- Sebagai nur yakni cahaya yang menerangi kehidupan manusia dalam menempuh jalan menuju keselamatan.
- Sebagai tafsil yaitu merinci sehingga dapat dilaksanakan sesuai yang dikehendaki Allah Swt.
- Sebagai obat bagi rohani yang sakit.[6]
As-Sunnah
Pengertian
Hadits (Sunnah) menurut arti bahasa ialah jalan, peraturan, sikap dalam bertindak dan bentuk kehidupan.[7]Sunnah adalah hal-hal yang datang dari Rasulullah baik itu berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan.[8] Dalam hal ini sunnah dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu :
1) Sunnah qauliyah
Yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat dan disampaikan kepada orang lain.
2) Sunnah fi’liyah
Yaitu perbuatan yang dilaksanakan oleh Nabi dilihat oleh para sahabat kemudian disampaikan pada orang lain dengan ucapan.
3) Sunnah taqririyah
Yaitu perbuatan seseorang sahabat atau ucapan yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapan.[9]
Fungsi sunnah
Al-Qur’an disebut juga sebagai sumber yang asli bagi hukum Islam, maka sunnah disebut sebagai bayan, dan kedudukannya sebagai bayan dalam hubungan dengan Al-Qur’an ia menjelaskan fungsinya yaitu :1) Ta’kid yaitu menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an.
2) Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an.
3) Menetapkan sesuatu hukum dalam sunnah secara jelas yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an.[10]
Kehujjahan sunnah
Umat Islam telah sepakat bahwa apa yang keluar dari Rasulullah baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan maka kebenarannya itu sekaligus merupakan hujjah atas umat Islam, sumber dari pada pembentukan hukum Islam.Bukti kehujjahan sunnah :
1) Nash Al-Qur’an :
... اطيعوالله والرسول ... (ال عمران : 32)
Artinya: “Taatilah Allah dan Rasulnya”(Q.S. Ali Imron : 32).[11]
2) Ijma’ para sahabat semasa beliau masih hidup dan setelah wafatnya tentang keharusan untuk mengikuti sunnah.
Ijma’
a. PengertianPengertian kesepakatan mujtahidin diantara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Nabi atas hukum Syar’i mengenai suatu kejadian atau kasus tertentu.
b. Kehujjahan ijma’
1) Bahwa dalam Al-Qur’an Allah telah memerintahkan untuk mentaati ulil ‘amri di antara umat Islam sebagaimana mentaati Allah dan Rasulnya.
2) Bahwasannya suatu hukum yang telah disepakati oleh mujtahidin umat Islam, pada hakekatnya adalah hukum Islam yang diperankan oleh mujtahidnya.
3) Ijma’ hukum syar’i dapat disandarkan pada tempat bersandarnya syar’i karena mujtahid mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.
Qiyas
a. PengertianQiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu atas lainnya dan mempersamakannya sedangkan menurut istilah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
b. Kehujjahan qiyas
Menurut jumhur ulama bahawa qiyas merupakan hujjah syariyyah terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia .
c. Rukun qiyas
Rukun qiyas ada 4 (empat) macam yaitu:
- Ashl
- Far’u
- Hukum ashal
- Illat.[12]
[1] A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, Pustka Setia, Bandung, 1997, hlm. 57.
[2]A. Hanafie, Ushul Fiqh, Widjaya, Jakarta, 1998, hlm. 102-103.
[3]Al-Qur’an, Surat An-Nisa’ ayat 59, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Depag RI, 1989, hlm. 128.
[4]Abdul Wahab Khallaf, Ushul Fiqh (Kaidah-kaidah Hukum Islam), Terj. Noer Iskandar Al-Barsany dan Moh. Talhah Mansoer, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 49.
[5]Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 5, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, t.th, hlm. 242.
[6]Amir Syarifudin, Op.cit, hlm. 53-56.
[7] A. Syafi’i Karim, Op.cit, hlm. 59.
[8]Abdul Wahhab Khallaf, Op.cit, hlm. 47.
[9]Amir Syarifudin, Op.cit, hlm. 76.
[10]Ibid. hlm. 85.
[11]Al-Qur’an, Surat Ali Imron ayat 32, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur’an, Depag RI, 1989, hlm 80.
[12]A. Hanafie, Op.cit, hlm. 128-129.