Pembinaan Rohani
Dengan adanya pembinaan rohani, maka anak dapat mengetahui kewajibannya kepada Allah dan rasul-Nya, orang tuanya dan masyarakat. Pembinaan rohani ini meliputi :a. Pendidikan Iman
Iman secara etimologi berarti kepercayaan, sedang secara definitif adalah suatu kepercayaan yang menegaskan bahwa hanya Tuhanlah yang menciptakan, memberi hukuman-hukuman, mengatur dan mendidik alam semesta ini (Tauhid Rububiyah), sebagai konsekuensinya maka hanya Tuhan itulah yang satu-satunya yang wajib disembah, dimohon petunjuk dan pertolongan-Nya serta yang harus ditakuti (Tauhid Uluhiyah).[1]
Dari pengertian iman di atas, maka yang dimaksud pendidikan iman ialah mengikat anak dengan dasar-dasar iman, membiasakannya sejak mulai paham melaksanakan rukun Islam, dan mengajarinya sejak mumayyis dasar-dasar syariat Islam yang agung.
Yang dimaksud dengan dasar-dasar iman ialah setiap hakikat keimanan dan persoalan gaib yang secara mantap datang melalui berita yang benar dan yang dimaksud dengan dasar-dasar iman ialah setiap hakikat keimanan dan persoalannya gaib yang secara mantap datang melalui berita yang benar dan yang dimaksud rukun Islam adalah setiap ibadah yang berhubungan dengan sistem Rabbani dan ajaran-ajaran Islam.
Dengan demikian tugas dan kewajiban pendidik ialah menumbuhbesarkan seorang anak sejak pertumbuhannya atas dasar konsep pendidikan iman dan atas dasar-dasar ajaran Islam. Sehingga mereka terikat oleh akidah dan ibadah Islam dan berkomunikasi dengan-Nya lewat sistem dan peraturan Islam.[2]
Berkaitan dengan ini, Abdullah Nasikhulwan menyatakan :
“Sesungguhnya pendidikan imanlah yang akan dapat mengendalikan perilaku menyimpang, meluruskan kepincangan yang rusak dan memperbaiki jiwa manusia tanpa iman, perbaikan tidak mungkin terwujud begitu juga ketenangan dan moralpun tidak akan tegak”.[3]
b. Pendidikan Ibadah
Secara umum ibadah berarti bakti manusia kepada Allah SWT karena didorong dan dibangkitkan oleh akidah tauhid.[4]
Materi pendidikan ibadah secara menyeluruh telah dikemas oleh para ulama di dalam ilmu fiqih atau fiqih Islam. Pendidikan ini tidak hanya membicarakan tentang hukum dan tata cara sholat belaka, melainkan meliputi pembahasan tentang zakat, puasa, haji, tata ekonomi Islam (muamalat), hukum waris (faroidh), tata pernikahan (munakahat), tata hukum pidana (jinayat/hudud), tata peperangan (jihad), makanan sampai dengan tata negara (khilafah). Hal ini dimaksudkan agar mereka tumbuh menjadi insan-insan yang benar-benar takwa, yakni insan-insan yang taat melaksanakan segala perintah agama dan taat pula dalam menjauhi segala larangan-Nya. Dengan kata lain tujuan pendidikan adalah agar hidup anak sejalan dengan tuntunan syariat Islam.[5]
c. Pendidikan Akhlak
Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam pengertian Islam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama sebab yang baik adalah yang dianggap baik oleh agama dan yang buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh ajaran agama. Hampir sepakat para filosof pendidikan Islam bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.[6]
Athiyah Al-Abrasyi juga menyatakan bahwa :
“Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik anak dan jiwa mereka menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruh ikhlas dan jujur, maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti pendidikan jiwa”.[7]
Kiranya tidak diragukan lagi bahwa keutamaan akhlak dan tingkah laku merupakan salah satu buah iman yang meresap dalam kehidupan keberagamaan anak. Maka seorang anak bila sejak dini tumbuh dan berkembang dengan dasar iman kepada Allah, niscaya anak akan mempunyai kemampuan untuk menerima setiap keutamaan dan kemudian ia akan terbiasa dengan akhlak yang
mulia karena ia menyadari bahwa iman akan membentengi dirinya dari berbuat dosa dan kebiasaan jelek.[8]
Maka dalam rangka mendidik akhlak kepada anak-anak selain harus memberikan keteladanan yang tepat juga harus ditunjukkan bagaimana harus bersikap, bagaimana harus menghormati dan seterusnya. Dengan adanya pendidikan akhlak diharapkan anak-anaknya mempunyai akhlakul karimah yang baik.[9]
d. Pendidikan Kemandirian
Kemandirian adalah bentuk sikap terhadap obyek di mana individu memiliki independensi yang tidak berpengaruh terhadap orang lain.[10]
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Bathia sebagaimana yang dikutip oleh Chabib Toha bahwa :
“Perilaku mandiri merupakan perilaku yang aktivitasnya diarahkan pada diri sendiri tidak mengharapkan dari orang lain”.
Dalam melaksanakan pemecahan masalah yang dihadapi perilaku mandiri akan membuat seseorang memiliki identitas diri yang lebih jelas, mempunyai otonomi yang lebih besar sehingga orang tersebut menunjukkan adanya perkembangan pribadi yang terintegrasi dan lebih terkontrol dorongan-dorongannya. Orang yang berperilaku mandiri akan mempunyai kemampuan untuk menemukan sendiri apa yang harus dilakukan, menentukan dalam memilih kemungkinan-kemungkinan dari hasil perbuatannya dan akan memecahkan sendiri masalah-masalah yang dihadapi tanpa harus mengharapkan bantuan orang lain.[11]
Karena itu agar anak mempunyai perilaku mandiri, hendaknya sejak usia dini orang tua harus menumbuhkan sikap mandiri pada anak-anaknya sampai yang setelah dewasa mereka nanti mampu bersikap dan berbuat sesuai dengan keinginan dan kemampuan yang dimilikinya tanpa adanya pengaruh dari orang lain.
Perilaku mandiri dapat tumbuh dan berkembang pada diri anak melalui pembiasaan dan ajaran masing-masing orang tua yang memiliki peran yang lebih dominan dalam membentuk sikap mandiri pada anak. Perilaku mandiri yang tumbuh dan berkembang pada diri anak dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam yang berupa kematangan dan intelegensi anak juga berpengaruh terhadap kemandirian anak. Namun faktor dari dalam yang sangat menentukan kemandirian anak adalah kekuatan iman dan ketakwaan terhadap Allah SWT. Anak yang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap agama cenderung memiliki sikap mandiri yang kuat.[12]
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 139 :
وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمْ الاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ (الامران: 139)
Artinya : “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”.[13]
Dari ayat tersebut dapat dijelaskan bahwa orang yang benar-benar beriman kepada Allah tidak ada tempat khawatir, sedih, putus asa dan orang akan bangkit percaya dirinya dan mampu menghadapi semua masalah yang dijumpainya.
Adapun faktor dari luar yang sangat mempengaruhi kemandirian anak adalah faktor keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal anak dalam bersosialisasi sebelum mengenal lingkungan yang lain. Faktor keluarga yang mempengaruhi kemandirian anak meliputi aktivitas pendidikan dalam keluarga, kecenderungan cara mendidik anak, cara memberikan penilaian kepada anak bahkan sampai pada cara hidup orang tua sangat berpengaruh terhadap kemandirian anak.[14]
Karena itu orang tua harus menanamkan sikap mandiri kepada anak sejak usia dini agar anak mampu bersikap dan berbuat mandiri sesuai keinginan dan kemampuan yang dimilikinya sehingga mampu memberikan sesuatu yang terbaik kepada orang lain dan tidak terus-menerus meminta kepada orang tua sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
ابوهريرة رضي الله عيه قال النبى صلى الله عليه وسلم: واليوالعليا خيرمن اليدالسفلى (رواه البخارى)[15]
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : ‘Tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang di bawah’” (H. R. Bukhari)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang memberi (orang yang sadaqah itu lebih baik dari orang yang meminta.
Pembinaan Akal
Pembinaan akal tidak kalah pentingnya dari pembinaan lain. Pendidikan agama merupakan pembentuk dasar pendidikan jasmani sebagai persiapan pendidikan moral untuk membentuk akhlak, sedangkan pendidikan akal untuk penyadaran dan pembudayaan. Yang dimaksud dengan pendidikan akal adalah membentuk pemikiran anak dengan sesuatu yang bermanfaat seperti ilmu pasti, ilmu alam, teknologi modern dan peradaban sehingga anak bisa menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan, pendidikan akal merupakan satu kesatuan dari pendidikan yang telah disebutkan. Terdapat saling keterkaitan antara aspek-aspek pendidikan itu untuk membentuk akal menjadi pribadi yang utuh yang dapat mengemban kewajiban dan tanggung jawab sebagai manusia dan khalifah Allah di muka bumi.[16]Untuk dapat melaksanakan tanggung jawab tersebut Islam telah memberikan petunjuk diantaranya memberikan beberapa kelebihan pada orang-orang yang berilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al Mujadilah : 11 yaitu :
يايّها الذين امنوا اذا قيل لكم تفسّحوا في المجلس فافسحوا يفسح الله لكم واذا قيل الشزوا فافثزوا يَرْفَعِ الله الَّذِيْنَ امَنُوْامِنْكُمْ والذين اوتُوالْعِلْمَ دَرَجتِ....
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : berlapang-lapanglah dlam majlis, maka lapangknalah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan berupa derajat…”(QS. Al-Mujadilah : 11).[17]
Dari ayat di atas nyata betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu kewajiban para pendidik terutama para orang tua untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk mencari ilmu, lebih khusus lagi pada akhir masa kanak-kanak.[18]
Dari uraian di atas jelas bahwa pembinaan akal melalui pendidikan ini sepadan dengan pembinaan intelektual anak, yaitu usaha untuk menjadikan anak untuk mencintai ilmu sehingga anak akan termotivasi untuk mempelajari sesuatu untuk memperoleh kebenaran.
Pembinaan Jasmani
Pendidikan jasmani adalah salah satu aspek pendidikan yang penting, yang tidak dapat lepas dari pendidikan yang lain bahkan dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan salah satu alat utama bagi pendidikan rohani. Pendidikan jasmani di sini maksudnya adalah pendidikan yang erat kaitannya dengan pertumbuhan dan kesehatan.Agar jasmani menjadi sehat dan kuat maka dianjurkan untuk melakukan olah raga. Berikut ini beberapa nilai manfaat yang didapat anak setelah berolah raga yaitu :[19]
a. Nilai pertumbuhan fisik
Dengan olah raga seluruh anggota tubuh akan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah berolah raga.
b. Nilai pendidikan
Secara tidak langsung ketika anak berolah raga akan memulai mengenal bentuk dari benda-benda berupa alat olah raga. Anak juga akan mengenal warna, bilangan, mengenal apa itu aturan permainan, belajar untuk sportif, mengakui kekalahan dirinya ketika berlangsung pertandingan dan lain sebagainya.
c. Nilai kemasyarakatan
Dalam permainan olah raga ini khususnya olah raga berego, anak akan mempunyai belajar berorganisasi bagaimana bergaul dengan kelompoknya, memupun persaudaraan dan belajar untuk tolong-menolong bersama kawan satu kelompok.
d. Nilai akhlak
Di sini anak akan mengenal pula apa arti kesalahan dan sesuatu yang benar. Dalam permainan keluarga, anak akan mengerti kesalahannya dan bagaimana hukuman dari kesalahannya itu ketika dia melakukan langsung karena dilatih berbuat jujur tidak saling menjegal, menipu, berbuat adil, egois, dan lain-lain.
e. Nilai pengendalian diri
Dari permainan olah raga ini anak akan mengetahui pula ukuran kemampuannya di dalam sebuah cabang olah raga tersebut, jenis olah raga apa yang dia yakini akan kemampuannya dan kemahirannya.
Dengan demikian jelaslah betapa besar manfaat pembinaan jasmani anak agar menjadi generasi muslim yang sehat dan kuat dan itu akan terealisir jika orang tua menyadari akan manfaat olah raga tersebut.
[1] Nasrudin Razak, Dienul Islam, Al Ma'arif, Bandung, 1989, hlm. 39.
[2] Abdullah Nasikhulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Terjemahan Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, Judul Asli, Tarbiyatul-A’aafi’l Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996, hlm. 134.
[3] Asnelly Ilyas, Mendambakan Anak Saleh, Al Bayan, Bandung, 1998, hlm. 75.
[4] Nasrudin Razak, Op. Cit, hlm. 44.
[5] M. Nippan, Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2000, hlm. 102.
[6] Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, Al Husna Zikra, Jakarta, 1986, hlm. 373.
[7] Athiyah Al-Abrasyi, At-Tarbiyah Al Islamiyah, Terjemahan Bustani A Gani dan Djohar Bahruj, Judul Terdasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1987, hlm. 1.
[8] Asnelly Ilyas, Op. Cit, hlm. 73.
[9]M. Nippan
[10] Chabib Toha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 121.
[11] Ibid, hlm. 121-122.
[12] Ibid, hlm. 124.
[13] Al-Qur'an Surat Ali Imron, Departemen Agama RI, Op. Cit, hlm. 98.
[14] Chabib Toha, Op. Cit, hlm. 125.
[15] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Juz 5, Darul Fikri, t. th., hlm. 233.
[16] Asnelly Ilyas, Op. Cit, hlm. 80.
[17] Al-Qur'an, Surat Al-Mujadalah ayat 11, Yayasan Penyelenggara penerjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dn Terjemahnya, Depag. RI, hlm. 911.
[18] Asnelly Ilyas, Op. Cit, hlm. 81.
[19] Mohammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 231.