Dalam ensiklopedi Islam
disebutkan bahwa Imam an-Nawawi nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Zakariya
Yahya bin Syaraf bin Marri al-Khazami. Imam an-Nawawi lahir di Nawa, Damaskus
pada bulan Muharram 631 H atau bertepatan dengan bulan Oktober 1233 M dan wafat
pada tanggal 24 Rajab 676 H atau bertepatan dengan tanggal 22 Desember 1277.
Dia adalah seorang syekh Islam yang banyak menulis buku, ahli hadis, fikih dan
bahasa.[1])
Dia adalah ulama besar madzhab Syafi’i yang terkenal dalam abad VII H di Syiria
dan sekitarnya. [2])
Imam Nawawi –karena kecerdasan
dan kebaikan akhlaknya- sejak kecil diramalkan oleh ulama, akan menjadi seorang
yang mempunyai ilmu luas dan menjadi penegak agama. Ketika sedang duduk-duduk
dengan ayahnya, ia dinasehati supaya rajin menghafal al-Qur’an dan (suatu
disiplin) ilmu. Maka mulailah dia menghafal al-Qur’an sambil mendekati ulama’
untuk meneladani akhlak dan kebiasaan mereka, kebiasaan bermain dan bersenda
gurau ditinggalkannya. Ia, tekun membaca dan menghafal al-Qur’an. Imam Nawawi
kecil meskipun dipaksa teman-temannya untuk bermain, tetap tidak bermain
bersama mereka. Bahkan karena selalu dipaksa, beliau menangis sedih dan tak
mengikuti kehendak mereka. Dalam kondisi seperti itu, beliau malah membaca
al-Qur’an tak sedikitpun merasa tertarik dengan bujuk rayu teman-teman
sebayanya. [3])
Pada
usia 19 tahun ia belajar di sekolah “ar-Rawahiya” di Damaskus. Ia sangat tekun
dalam mencari ilmu selama 20 tahun, sampai ia menguasai beberapa disiplin ilmu
agama, seperti hadis dan ilmu hadis, fikih dan ushul fikih serta bahasa.
Guru-gurunya antara lain Rida bin Burhan, Az-Zaid Khalid, Abdul Azis bin
Muhammad al-Ansari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imaduddin Abdul Karim
al-Haraslami, Zainuddin Khalaf bin Yusuf, Taqiyuddin Syamsuddin bin Amr. Khusus
pelajaran hadis diperolehnya dari ulama hadis seperti Abu Ishaq Ibrahim bin Isa
al-Muradi; usul fikih dari al-Qadi at-Taflis; dan fikih dari al-Kamal Ishaq
al-Mari dan Syamsuddin Abdurrahman al-Ma’mari. Kitab-kitab hadis, seperti al-Kutub as-Sittah, al-Musnad dan al-Muwatta’ segera dikuasainya. Menurut Ibnu Autar, salah seorang muridnya, ia
meluangkan waktu untuk membaca setiap harinya sebanyak waktu untuk membaca
setiap harinya sebanyak 12 pelajaran untuk berbagai disiplin ilmu. [4])
Dengan
ketekunan yang gemilang, maka dalam waktu yang relatif singkat, beliau telah
mampu menghafal hadis dan berbagai disiplin ilmu, menguasai fiqih berikut
dasar-dasarnya, sehingga beliau diakui sebagai pakar aliran Imam Syafi’ –semoga
Allah mengasihinya- serta beberapa aliran lain. Selanjutnya, beliau pun menjadi
pemimpin lembaga pendidikan yang terkenal dengan nama Dar al-Hadits Al-Asyrafiyyah Al-Ula. [5])
Ia adalah penuntun yang berhasil bagi para pemula
dalam belajar agama. Dalam kehidupan sehari-hari, ia memiliki kebiasaan hidup
sederhana, seperti makan hanya sekali sehari, yaitu setelah salat Isya’. Begitu
juga minum. Dalam ibadah ia memperbanyak puasa, zikir dan wirid. Dalam masalah
dunia, ia berlaku zuhud, warak, kanaah dan rida, tetap menjaga diri hal-hal
duniawi.
Perhatiannya terhadap kondisi
sosial sangat besar ditegakkannya amar makruf dan nahi munkar. Ia membimbing
para pemimpin dan orang-orang yang zalim dan mungkar kepada agama. Ia melarang
masyarakat Syam (kini Suriah) memakan buah-buahan yang dinilainya Syubhat yang
oleh para ulama diperselisihkan hukumnya.
Murid-muridnya antara lain adalah
al-Khatib sadar Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin Ahmad bin Ja’wan, Syihabuddin
al-Arbadi, Alamuddin bin Atar, Ibnu Abi al-Fath, al-Mizzi dan Ibnu Atar.
Sejak berusia 25 tahun hingga
wafatnya (656–676 H/1257– 1277 M), Imam Nawawi menulis sejumlah kitab antara
lain syarah kitab Hadis susunan al-Bagawi dan syarah hadis karya ad-Daruqutni, ar-Raudah, al-Majmu’ (syarah al-Muhazzab),
at-Tibyan fi adab Hamlal al-Qur’an,
Tahrir at-Tanbih, al-Umdah fi Tashih an-Niyyah, Tahzib al-Asma’ wa al-Lugah,
Syarah Sahih Muslim, Khulasah fi al-Hadis, al-Isyarah ila al-Muhammat,
al-Irsyad, Ulum al-Hadis, at-Taqrib wa at-Taisir lima’rifah sunan an-Nasyir
an-Nazir, al-Munhaj fi Syarah Sahih Muslim, al-Arba’in, Riyad as-Salihin,
al-Fatawa, al-Idah fi al-Munasih dan
al-Azkar. [6])
Kata orang, kalau dihitung
karangannya dibanding umurnya maka terdapat setiap hari beliau mengarang 4
helai, yaitu 8 halaman penuh. Beliau mendapat kedudukan tinggi dalam mazhab
Syafi’i yaitu menjadi “mujtahid madzhab”. [7])
[1][1][1]). Dewan Redaksi Ensiklopedi
Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. I,
Ichtiar Baru van Hove, Jakarta, 1993, hlm. 22.
[2]). K.H. Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i,
Cet. V, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 19983, hlm. 174.
[3]) Drs. Tarmana Ahmad Qosim, Menjaga Kemuliaan Al-Qur’an (Adab dan tata
Caranya), Terj. Imam Abu Zakaria Yahya bin Syarifuddin al-Nawawi, , Cet. I,
al-Bayan, Bandung, hlm. 17 – 18.