Kegoncangan jiwa terjadi apabila fungsi-fungsi jiwa tidak terintegrasi dengan baik sehingga respon-respon yang diberikan mental untuk menghadapi suatu perubahan (permasalahan) tidak tepat dan pemenuhan-pemenuhan dorongan tidak terjadi. Dalam hal ini sebenarnya kemampuan jiwa untuk menghadapi kegoncangan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisah dari keserasian fungsi-fungsi jiwa. Semakin serasi fungsi jiwa semakin mampu jiwa untuk menghadapi segala sesuatu yang terjadi dan terhindar dari kegoncangan jiwa yang ringan.
Adapun bentuk-bentuk ketidakserasian jiwa (pikiran, perasaan, dan dorongan) yang merupakan bentuk gejala kegoncangan jiwa ringan adalah sebagai berikut:
1) Pada Pikiran
Gangguan pada pikiran antara lain:
Kemampuan berpikir berkurang (bisa disebabkan oleh perasaan atau dorongan negatif yang menguasai pikiran), mudah lupa, sulit berkonsentrasi (sukar memusatkan perhatian), apatis, dan tidak mampu melanjutkan rencana yang telah dipersiapkan (dibuat) sebelumnya.[1]
Gangguan-gangguan pada pikiran ini salah satunya disebabkan kondisi psikis sendiri. Kelambanan atau keterlambatan berpikir bisa disebabkan oleh adanya rem-rem psikis yang diakibatkan oleh perasaan-perasaan negatif seperti rendah diri, kecemasan, malu, dan yang lainnya. Suasana hati bisa menghambat dan menghalang-halangi kemampuan pikiran yang normal sehingga menjadi tidak optimal.[2] Perasan malu, tersipu-sipu, atau tersinggung karena hal-hal yang menyakitkan hati juga bisa menyebabkan terputusnya secara tiba-tiba kemampuan berbicara.[3] Sehingga kemampuan menyampaikan isi pikiran berkurang. Gangguan pikiran juga bisa disebabkan terlalu kuatnya dorongan untuk memenuhi kebutuhan, sehingga pikiran menjadi terdesak dan terjadi kepanikan pada pikiran, gangguan-gangguan pikiran ini bisa berbahaya apabila tidak segera dikendalikan. Karena bisa mengganggu proses penyesuaian secara keseluruhan, karena berpikir mutlak penting bagi penyesuaian terhadap tuntutan dunia sekitar.[4]
2) Pada Perasaan
Gangguan perasaan misalnya dengan adanya perasaan-perasaan negatif yang merusak dalam intensitas yang tinggi seperti takut, cemas, rasa diri negatif (rendah diri).
a) Takut
Merupakan perasaan terancam oleh sesuatu yang obyeknya jelas (tahu sumber yang menyebabkan ketakutan, seperti ular, gelap, atau lainnya)[5] perasaan takut bisanya disertai dengan emosi (perubahan-perubahan dalam aspek jasmaniah) dan bisa refleks memunculkan dorongan untuk menjauhi atau menghindari hal-hal yang menyebabkan takut tersebut. Perasaan takut biasanya diawali dengan pikiran-pikiran negatif terhadap hal yang menyebabkannya.
b) Cemas (anxiety)
Merupakan perasaan terancam terhadap sesuatu yang tidak jelas obyeknya. Kecemasan mengganggu fungsi dari kinerja individunya sehingga perlu dihilangkan segera dengan cara penyesuaian terhadap diri sendiri sesegera mungkin dengan diorientasikan pada tugas.[6]
c) Perasaan diri rendah (rendah diri)
Merupakan perasaan yang timbul akibat kurangnya konsep diri (gambaran diri) positif. Sehingga yang dipikirkan hanyalah kekurangan dan kelemahan diri sendiri yang dalam taraf tertentu menyebabkan timbulnya perasaan tidak berharga, tanpa disertai penerimaan terhadap diri sendiri.
Perasaan-perasaan lain yang merugikan seperti sedih yang tak beralasan, permusuhan, sombong, iri hati, marah dan yang lainnya. Perasaan-perasaan ini muncul karena adanya gambaran yang tidak wajar terhadap kemampuan dan kondisi sendiri, disertai perasaan negatif atau dorongan-dorongan diluar batas kemampuan.
3) Pada dorongan
Gangguan pada dorongan biasanya dinamakan “konflik batin” yaitu terjadinya pertentangan-pertentangan pada jiwa antara dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik atau psikisnya, keseimbangan dan keserasian dapat diciptakan kembali apabila ego mampu mengkompromikan keduanya sehingga jiwa menjadi tenang kembali.[7]
------------------------
[1] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental: Pokok-pokok Keimanan, op.cit, hlm. 9
[2] Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, op.cit, hlm. 95
[3] Berbicara merupakan manifestasi pikiran bentuk dalam ucapan
[4] Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, op.cit, hlm. 94
[5] MF. Maramis, op.cit., hlm. 108
[6] Ibid., hlm. 108
[7] M. Utsman Najati, Al Qur'an dan Ilmu Jiwa, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm. 246.