Studi Analisis Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Kewajiban Memberi Nafkah Kepada Kerabat

BAB I
PENDAHULUAN

1st. Latar Belakang Masalah

Maha suci Allah yang telah menciptakan semua makhluk-Nya saling berpasang-pasang baik yang ada di atas bumi dan ada yang di atas langit. Demikian juga halnya dengan manusia yang diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan satu dengan yang lainnya saling membutuhkan untuk hidup berpasangan dengan ksih sayang dalam satu ikatan pernikahan kemudian menjadi keluarga yang berkembang menjadi banyak sehingga lahirlah yang dinamakan sistem kekeluargaan. Dalam al-Qur’an disebutkan :
ومن كل شيئ خلقنا زوجين لعلكم تذكرون (الذ ريات : 49)
Artinya : “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesarannya Allah” ( Q. S. al-Dzariyat : 49)[1]

Pasangan-pasangan manusia akan menjadi banyak dan akhirnya menurunkan pasangan-pasangan yang lain dan berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan ikatan-ikatan darah yang kuat sehingga membentuk garis vertikal dan horisontal yang sedemikian rupa dalam keluarga besar terjalinlah ikatan kekerabatan. Dan ikatan ini selanjutnya akan menimbulkan status dan peranan sehingga akan menimbulkan hak dan kewajiban yang berupa nafkah, waris perkawinan dan lain sebagainya.
Bertitik tolak dari itu, hidup di dunia ini banyak variasinya ada yang miskin dan ada yang kaya, ada konglomerat, ada yang melarat, ada pejabat, pegawai, buruh serta lain sebagianya. Dan selanjutnya apabila dikaitkan dalam ruang lingkup kekeluargaan tadi maka permasalahan akan menjadi lain yaitu akan timbul suatu fenomena dengan adanya kewajiban memberi nafkah  bila mana terjadi kesenjangan sosial, baik seorang bapak kepada anaknya ataupun anak terhadap orang tuanya serta kerabat yang satu dengan yang lain dan sebagainya.[2]
Nafkah berarti memberi sebagian barta yang telah dirizkikan oleh Allah SWT, kepada orang-orang yang disyari’atkan oleh agama untuk memberikannya. Adapun yang utama untuk mendapatkan nafkah adalah orang tua, sanak kerabat, anak yatim, dan lain-lain. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah :
يسئلو نك ماذا ينفقون قل ما انفقتم من خير فللوالدين والقربين واليتمى والمسكين وابن السبيل وما تفعلوا من خير فإن الله به عليم (البقرة : 215)
Artinya :  “Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan jawablah, apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada bapak, ibu, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah SWT maha mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah : 215).[3]
Lebih lanjut Allah SWT menyerukan kepada manusia untuk beribadah kepadanya dan tidak menyekutukan dengan sesuatu, berbuat baik kepada orang tua, dan kerabat dan memberi kelaurga yang  dekat, dalam haknya, adapun mereka yang dibebani untuk memberikan nafkah kepada kerabat, adalah mereka yang mampu dan mempunyai harta lebih dari keperluannya.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah :
ويسئلون نك ماذ ينفقون . قل العفو كذ لك يبين الله لكم الا يت لعكم يتفكرون (البقرة)
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan, katanya, “yang lebih dari keperluan”, Demikianlah Allah telah menerangkan ayat dan kepadamu supaya kamu berpikir.” (Q.S. al-Baqarah ; 219).[4]
Adapun Hujjahnya menurut Sunah adalah ;
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عندى دنار قال  تصدق به على نفسك قال عندى أخر قال تصدق به على زوجتك قال عندى أخر قال تصدق به على ولدك قال عندى أخر قال تصدق به على خادمك قال عندى أخر قال أنت أبصر
                                                                                                                                    [5]
 ِ                   Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Bersedekahlah”, maka berkata seorang laki-laki : “Wahai Rasulullah, saya punya satu dinar”, Rasul menjawab: “Sedekahkanlah pada dirimu”, ia mengatakan : “Saya punya yang lain”, Rasul menjawab : “Sedekahkanlan kepada isterimu” : Ia mengatakan : “Saya punya yang lain”, Rasul menjawab,: “Sedekahkanlah kepada anakmu”, : ia mengatakan : “Saya punya yang lain”, Rasul menjawab : “Sedekahkanlah kepada Pembantumu”, ia mengatakan : “Saya punya yang lain” , Rasul menjawab : “ Kamu lebih tahu”. (HR. An-Nasai’)  
Selanjutnya bagaimana hukum memberikan nafkah kepada kerabat. Di sini pada ulama berselisih pendapat berdasarkan pemohon dan dari sudut pandang yang berbeda. Diantaranya Imam Malik hanya mewajibkan memberi nafkah kepada bapak dan anak. Dan ini merupakan pendapat yang paling sempit dalam masalah nafkah.[6]
Sedangkan Imam Syafi’i memperluas sedikit dengan mewajibkan pemberian nafkah kepada kakek dan cucu. Dan lebih lanjut Hanabilah yang Ibn Hazm mewajibkan nafakah kepada kerabat.[7]
Selanjutnya penulis tertarik ingin lebih jauh menggali pendapat Ibn Hazm yang merupakan ulama pilihan, ahli hadist, ahli Ushul Fiqh dan kuat pertentangannya dan sangat kontradiktif dengan pendapat ulama lainnya, yang jelas hujjahnya menjadi mujadid (pembaharu) hukum Islam pada abad ke-5 Hijriyah, tentang nafkah kepada kerabat dan akan dibahas dalam bentuk skripsi yang berjudul : “Studi Analisis Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Kewajiban Memberi Nafkah Kepada Kerabat”.[8]

2nd.             Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik dengan beberapa masalah yang kiranya perlu dikaji dan diteliti diantaranya :
1.      Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Ibn Hazm tentang kewajiban memberi nafkah kepada kerabat ?
2.      Bagaimanakah metode istinbath yang digunakan Ibn Hazm tentang kewajiban memberi nafkah kepada kerabat ?
3rd. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis diantaranya :
1.      Untuk mengetahui lebih lanjut pengertian nafkah itu sendiri dan dasar hukumnya serta sebab-sebab yang menjadikan kewajiban memberi nafkah.
2.      Untuk mengetahui kejelasan siapa saja kerabat yang berhak mendapat nafkah itu.
3.      Untuk memahami latar belakang Ibn Hazm mengenai kewajiban memberi nafkah kepada kerabat dan mengetahui metode istinbathnya.
4.      Untuk memahami gambaran tentang analisis pendapat Ibn Hazm dan antara istinbathnya mengenai hukum kewajiban memberikan nafkah kepada kerabat.
4th.  Telaah Pustaka
Bertitik tolak dari permasalaha di atas, sepengetahuan penulis, permasalahan tentang kewajiban memberi nafkah kerabat menurut pandangan Ibn Hazm belum ada yang membahasnya secara spesifik. Hanya saja menemukan beberapa tulisan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Dalam kitab “al-Mukhalla” karangan Ibn Hazm sendiri telah menyebutkan bahwa, apabila ada kerabat yang tidak mampu atau miskin dan kemudian ada kerabat lain yang mempu atau kaya, maka kerabat yang mampu tersebut wajib memberi nafkah kepada kerabat yang tidak mampu atau miskin. Hal inilah yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama.[9]
Seperti dijelaskan dalam kitab “Subul al-Salam” karangan Ibn Hajar al-Asqalani, dan kitab “Fiqih Sunnah” karangan Sayid Sabiq juga menerangkan bahwa, nafkah itu hanya untuk menyukupi kebutuhan isteri, anak, dan kedua orang tuanya yang berupa makan, tempat tinggal, serta yang lainya.[10]
Dalam kitab “al-Jami fi Fiqh an-Nisa” karangan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, menjelaskan bahwa kewajiban memberi nafkah itu hanya kepada orang tua saja. Berdasarkan firman Allah Surat al-Baqarah ayat: 8 Artinya, “Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu (bapak ibu)”.[11]
Dalam kitab “al-Fiqh ‘ala Mazahibi al-Khamsah” yang dijelaskan oleh Muhammad Jawad Muhgniyah bahwa kerabat yang berada dalam satu tingkat harus didahulukan dari kerabat yang lebih jauh, sekalipun yang lebih dekat itu bukan orang yang berhak atas waris dan yang lebih jauh berhak atas waris itu.[12]
Dalam kitab “Kifayatul Akhyar”, Karangan Taqiyudin Abi Bakar menerangkan tentang kewajiban seorang anak memberi nafkah kepada orang tuanya dengan syarat, apabila seorang anak telah mempunyai kelonggaran rizki yakni mempunyai makanan yang cukup untuk dimakan, sedangkan orang tidak mempunyai harta sedikitpun, akan tetapi apabila orang tuanya mempunyai harta maka anak tidak wajib memberi nafkah meskipun orang tua dalam keadaan sakit.[13]
Dalam kitab “al-Ihkam fi al-Ushul al-Ahkam” karangan Ibn Hazm yang menjelaskan tentang masalah ushuliyah, yang digunakan menganalisis metode istinbath hukumnya mengenai permasalahan kewajiban memberi nafkah kepada kerabat.[14]
Perbedaan pendapat kalangan para ulama mengenai kewajiban memberi nafkah di mana Imam Malik berpendapat bahwa kewajiban memberi nafkah kepada kerabat sebatas hanya kakek dan cucu sedangkan Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa nafkah itu diberikan hanya kepada anak turunan, akan tetapi berbeda dengan pendapat dengan Ibn Hazm bahwa nafkah juga wajib diberikan kepada kerabat yang tidak mampu atau miskin.
Maka dalam skripsi ini akan dibahas mengenai, “Studi Analisis Terhadap Pendapat Ibn Hazm Tentang Kewajiban Memberi Nafkah Kepada Kerabat”
E. Metode Penelitian
Metode penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan beberapa metode. Hal ini dimaksudkan agar dalam penulisan ini sistematis dan dapat mencapai tujuan yang sesuai dengan judul skripsi :
1)      Metode Pengumpulan data
 Untuk memperoleh data, penulis menggunakan metode Library Research yaitu kegiatan penelitian yang kegiatan penelitian yang dilakukan dengan penghimpunan data dari beberapa literatur, baik perpustakaan maupun di tempat-tempat lain. Dalam hal ini penulis melakukan penulisan untuk memperoleh data-data yang diperlukan berdasarkan kitab-kitab, buku-buku dan lainnya yang ada relevansinya dengan permasalahan tersebut untuk kemudian menelaahnya, sehingga akan dipelopori teori, hukum, dalil prinsip-prinsip, pandapat gagasan yang telah dikemukakan para teoritis dan para ahli terdahulu yang dapat diteliti disamping itu dengan metode ini dimaksudkan untuk bisa mengungkap buah pikiran secara sistematis. Oleh karena penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan kajian pustaka.[15]

2)      Sumber Pengumpulan Data
 Oleh karena itu penulisan skripsi ini adalah penelitian pustaka maka ada yang diambil dari berbagai tertulis yang diantaranya :
One)                    Sumber data primer yaitu : sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.[16] Sumber data primer ini adalah kitab “al-Mukhalla” karangan Ibn Hazm. Dan juga kitab, “al-Fiqh a’la Mazahib al-Khamsah”, karangan Muhammad Jawad Mughniyah.
Two)                   Sumber data sekunder yaitu : sumber yang diperoleh, dibuat dan merupakan ada dari sumber yang pertama. Sifat sumber ini tidak langsung.[17] Adapun sumber dalam skripsi ini adalah : “Subul al-Salam” karangan al-Qurtuby dan kitab-kitab hadist seperti : “Sunan Hasan”, “Shahih Bukhari”, “Harlat al-Quthar” dan sebagainya. Buku-buku yang membahas nafkah termasuk di dalamnya kompilasi hukum Islam dan undang-undang perkawinan No.1 Th. 1997 serta buku-buku lain yang menunjang dan mempunyai ikatan dengan pembahasan ini.
3)      Analisis Data
Metode pembahasan yang akan digunakan dalam studi analisis kewajiban memberi nafkah kepada kerabat menggunakan metode sebagai berikut :
One)                     Metode Deduktif
Yaitu pola berfikir yang bertolak dari hal-hal yang bersifat khusus. Dengan pola fikir deduktif kita berangkat dari suatu pengetahuan umum dan bertilik tolak dari pengetahuan yang umum itu kita hendak menilai suatu yang khusus-khusus. Dan metode ini penulis gunakan dalam bab II.[18]
Two)                   Metode Induktif
Yaitu pola fikir yang berangakat dari pengetahuan-pengetahuan khusus fakta-fakta dan selanjutnya merangkaikan fakta khusus itu menjadi pemecahan yang bersifat umum. [19] Metode ini penulis gunakan dalam bab III.
Three)                Metode Diskriptif
Yaitu membuat pencanderaan secara sistematis, faktual dan aktual.[20]
Four)                   Metode Content Analisis (analisis isi)
Adalah metode ini akan melakukan analisis data dan pengolahan secara ilmiah tentang isi dari sebuah pesan dari suatu komunikasi.[21] Metode ini penulis gunakan pada bab IV.
5th.  Sistematika Penulisan Skripsi
Skripsi ini terdiri dari lima bab susunan sebagai berikut :
Baba satu yang berisi tentang  Pendahuluan, bab ini merupakan bab pedahuluan yang akan membahas tentang garis besar penulisan skripsi ini yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Telaah Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab dua adalah tentang Tinjuan Umum Tentang Nafkah. Bab ini merupakan landasan teori, maka pembahasan bab ini akan terpusat pada tinjuan umum tentang pengertian nafkah, dasar hukum nafkah, sebab-sebab memperoleh nafkah dan pendapat para ulama tentang  kerabat.
Bab tiga merupakan data yang berisikan Perserpsi Ibn Hazm terdapat nafkah kerabat. Bab ini berisi tentang biografi Ibn Hazm, persepsi Ibn Hazm tentang kewajiban memberi nafkah kepada kerabat dan metode istinbath hukum tentang perserpsi Ibn Hazm.
Bab empat merupakan Analisis terhadap persepsi Ibn Hazm tentang kewajiban memberi nafkah kepada kerabat. Bab ini merupakan bab intisari. Dalam bab ini penulis mengetengahkan permasalahan initi sebagai bahan laporan yaitu analisis persepsi Ibn Hazm tentang nafkah kerabat dan analisis metode istinbath hukumnya.
Bab lima adalah Penutup, Bab ini merupakan bab terakhir sekaligus bab Penutup. Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan, Saran-saran dan Penutup.




[1]Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjamahnya, Semarang : Toha Putra, 1998, hlm. 861
[2]Ibn Hazm, al-Mukhalla, Juz, Bairut Libanon: Daar al-Kitab al-Ilmiyah, hlm. 109
[3] Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 26

[4]Ibid. hlm. 26
[5]Jalaludin as-Suyuti, Sunan an-Nasa’i, Juz V, Beirut Libanon: Daar al-Jaili, t. th., hlm. 62
[6]Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al-Ma’ad Fihadyl al-Ibad, Mesir; Mustofa Babil Halabiy, 1970, hlm. 201
[7]Ibn Hazm, op. cit., hlm. 342
[8]Sayid Sabiq, Fiqhus Sunah, Juz 7, Semarang: Toha Putra, t. th., hlm. 403
[9]Ibn Hazm, op. cit., hlm. 100
[10]Ibn Hajar al-Asqalani, Subul al-Salam, Juz III, Semarang: CV. Toha Putra, t. th., hlm. 218
 [11]Syaikh Kamil Muhammad, al-Jami fi Fiqh an-Anisa, Beirut Libanon , Daar Kutub al-Ilmiyah, 1996, hlm. 451

[12]Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Khamsaj, Beirut Libanon:  Daar al-Jawad, t. th., 430 
[13]Taqiyudin Abi Bakar, Kifayat al-Akhyar, Semarang : CV. Toha Putra, t. th., hlm. 253
[14]Ibn Hazm, al-Ahkam fi al-Ahkam, Jilid I, Beirut Libanon, Daar al-Kitab al-Ilmiyah, t. th., hlm. 70

[15]Hadari Hawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University, 1993, Cet ke-IV hlm. 31
[16]Chalid Narbuko, Metodologi, Penelitian , Jakarta: Bumi Aksara, Cet III, 2001, hlm. 43 
[17]Ibid.
[18]Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, t. th., hlm. 42
[19]Ibid.  
[20]Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, hlm. 19
[21]Noeng Muhadjir, Motode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996, hlm. 49