Dalam
mengkaji fiqh, Hasbi menggunakan pendekatan sosio-kultural-historis, yang kini
populer dengan sebutan pendekatan kontekstual, dengan tetap berpijak pada
dalil-dalil nash. Pendekatan ini sebenarnya bukan barang baru. Dia sudah
digunakan oleh para Khulafa ar-Rasyidin, khususnya ‘Umar ibn al-Khatab, dan
para fuqaha periode keempat dan kelima. Dengan menilik perkembangan sejarah
pertumbuhan dan perkembangan tsyri’, Hasbi berkeyakinan bahwa
penetapn-penetapan hukum yang diberikan oleh fuqaha terdahulu tidak terlepas
dari adanya pengaruh perkembangan sosio-kultural masyarakat setempat, dimana
sang faqih bertempat tinggal.[1]
Selaku
seorang yang berpegang pada hak berijtihad, Hasbi menganjurkan, agar dalam
mengkaji fiqh haruslah menggunakan pendekatan kesejarahan (dirasah tarikhiyah) yakni memperhatikan pengaruh interaksi antara
ide tasyri’ dengan peristiwa. Maksudnya ialah, agar dapat diketahui bagaimana
cara-cara fuqaha terdahulu menggali hukum, peristiwa apa yang mempengaruhi
dirinya dan apa pula maksud yang sesungguhnya dari penetapan hukum yang
difatwakannya itu, baik yang bersifat moral (akhlaqiyah)
maupun yang bersifat hukum (tasyri’iyah) yang
brangkat dari falsafah Islami. Oleh karena itu, menurut Hasbi, dalam menghadapi
perkembangan masalah fiqh masa mendatang, pendekatan sosio kultural (dirasah
waq’iah),- yang oleh Hasbi dirumuskan sebagai Ilmu Hukum Masyarakat-,
tidaklah boleh ditinggalkan.[2]
Ada
dua dalil pokok yang dikemukakan oleh Hasbi yang memungkinkan hukum ditetapkan
berdasarkan situasi dan kondisi, -sosio kultur-, masyarakat setempat. Pertama, kaidah yang berlaku bagi fiqh
ialah, “hukum asal bagi fiqh mu’amalat
ialah semua perbuatan dibolehkan, kecuali ada dalil yang melarangnya”. Kedua, hadits yang berbunyi, “anda lebih
tahu tentang urusan dunia anda”. Di
samping itu watak hukum Islam yang dinamis dan kenyal, filsafat hukum Islam
yang menghargai iradah dan ‘urf adalah salah satu sumber hukum, adalah faktor-faktor
yang menjunjungnya bagi mungkinnya hukum ditetapkan sesuai dengan keadaan
sosio-kultural masyarakat seetempat.
Hasbi
berpesan, kaedah-kaedah hukum dan prinsip hukum mashlahat mursalah yang
berdasarkan kebaikan dan beandaskan keadilan serta mencegah terjadinya
kerusakan, wajib selalu diperhatikan oleh para pembina hukum Islam, apakah dia
berprofesi sebagi hakim, pemegang kekuasaan eksekutif, pembuat undang-undang
maupun tokoh-tokoh masyarakat. Dalam menetapkan hukum dan mengambil
kebijaksanaan haruslah selalu berpedoman kepada kemaslahatan.[3]
Dari
uraian-uraian tersebut dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa pemikiran Hasbi
tentang pembinaan Hukum Islam di Indonesia yang berangkat dari pemahaman bahwa
fiqh adalah hukum in concreto, tidak
bersifat universal dan “abadi” adalah sebagai berikut:
Pertama, fiqh Islam yang berkepribadian
Indonesia adalah hal yang mungkin, bahkan patut dibina.
Kedua, ‘Urf masyarakat Indonesia dapat
menjadi sumber fiqh yang diterapkan di Indonesia.
Ketiga, terhadap masalah-masalah baru
yang belum ada ketetapan hukumnya, juga tidak ada dalam ‘urf atau ketetapan
lama yang yang berdasar ijtihad baru dengan mempergunakan metode analogi
deduksi rasional dan pendekatan kontekstual (sosio
kultural historis) dan tetap berpedoman pada dalil-dalil nash.
Keempat, ijtihad supaya dilakukan secara
kolektif (jama’i) dalam satu lembaga
yang khusus dibentuk untuk itu.
Anggota-anggotanya terdiri dari para unggulan ilmuwan agama dan seluruh cabang
ilmu pengetahuan.
Kelima, teori dan kaidah hukum produk
pemikiran fuqaha terdahulu tetap relevan dan supaya dijadikan sebagai acuan
dasar dalam pemikiran pembaharuan hukum
Islam.
Keenam, terhadap masalah-masalah hukum
yang telah ada ketetapan hukumnya produk ijtihad fuqaha terdahulu, dalam
memilih salah satu diantaranya mana yang terbaik dan paling cocok dengan
situasi dan kondisi masyarakat Indonesia, supaya dilakukan kajian dengan
menggunakan metode komparasi secara terpadu terhadap seluruh aliran hukum yang
ada atau pernah ada, baik dari kalangan suni maupun di luar sunni. Kajian
komparasi dilakukan juga dalam hukum adat, hukum positif di Indonesia dan
hukum-hukum negeri lain.
Ketujuh, pembaharuan hukum yang meninggalkan atau
bertentangan dengan al-Qur'an dan as-sunnah tidak dapat dibenarkan.
Kedelapan, prinsip hukum yang dipegang
ialah maslahat mursalah yang
berdasarkan istihsan dan sadd adz-dzari’ah.
Kesembilan, kompilasi hukum Islam yang
diterapkan di Indonesia harus mampu memberikan kemaslahatan dunia dan akhirat
bagi masyarakat Indonesia. Dengan menganalisis metode istinbath hukum yang
dipakai oleh TM. Hasbi Ash Shiddieqy, maka tampaklah bahwa dalam hubunganya
dengan tidak diwajibkannya kifarat setelah bersenggama dengan istri sedang haid
ia lebih memfokuskan pada sumber hukum Islam yang kedua yaitu hadits atau
sunnah. hal ini dapat dimengerti karena
ia tidak mau terjebak oleh suatu hadits yang tampaknya dari Rasulullah, namun
isinya tidak merefleksikan sebagai hadits yang benar baik ditinjau dari aspek
asbab al-wurud maupun dari kenyataan yang ada dalam masyarakat. Berpijak pada
keterangan tersebut, penulis mendukung pendapatnya, karena bagaimanpun indahnya
hadits itu tapi jika isinya diragukan apakah berstatus sebagai hadits dhaif
atau maudhu’, maka sepantasnya hadits itu tidak diterapkan dalam menentukan
segi hukumnya suatu peristiwa. Menyadari akan hal itu tidaklah berlebihan
terhadap adanya pendapat yang mengatakan hadits dhaif hanya bisa digunakan
untuk keutaman-keutaman amal (fadailul
amal). Hal ini mengisyaratkan betapa besar implikasi yang ditimbulkan oleh
beredarnya sejumlah hadits palsu atau dhaif.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sebabnya TM. Hasbi Ash Shiddieqy
tidak mewajibkan kifarat terhadap istri yang sedang haid karena ia memandang
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan an-Nasa’i kedudukannya sebagai hadits dhaif. Disini
terlihat TM. Hasbi Ash Shiddieqy sangat berhati-hati dalam menentukan ahkam al-khamsah. Bagi TM. Hasbi Ash
Shiddieqy hadits dhaif, maksimal hanya dapat digunakan untuk hal-hal yang
berkaitan dengan keutamaan-keutamaan amal, karena masalah yang menyangkut
keutamaan amal pengaruhnya tidak terlalu luas. Sedangkan jika menyangkut hukum
dampaknya begitu luas dan besar, bahkan menyangkut seluruh tatanan hukum Islam.
Dari
sini pula tampak bahwa TM. Hasbi Ash Shiddieqy bukan hanya sebagai tokoh yang
menguasai bidang-bidang yang bersangkut-paut dengan fiqh, melainkan juga ia
menguasai ilmu hadits. Sebagai buktinya ia mengarang sebuah buku yang berjudul:
“Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits” yang
sampai cetakan keenam diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta
[1]
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1990 hlm. 158.
[2] Ibid,
hlm. 158-159
[3]
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Yang Mutlak, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1990 hlm. 29.