Islam dan Kristen dalam memandang transendensi Tuhan memiliki kesamaan di samping perbedaan. Persamaannya, kedua agama itu mengakui bahwa Tuhan itu ada, namun eksistensinya tidak sama dengan manusia. Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu, sementara keberadaan manusia sangat terkait dengan ruang dan waktu.
Islam dan Kristen sangat menghargai peranan wahyu, karena dengan wahyu, manusia dapat terbebas dari kegelapan dan kekeliruan melangkah. Wahyu mampu menjawab bagian-bagian yang tak bisa dijawab oleh logika dan akal.
Sedangkan kristen pada abad pertengahan telah melumpuhkan penggunaan akal. Tampak misalnya ketika mengurai tentang eksistensi Tuhan termasuk asas Tritunggal bersifat dogmais. Dalam hal ini manusia tak boleh menganaliis mengapa Tritunggal bisa menjadi Esa, dalam pandangan kristen ketika itu, manusia harus percaya tanpa reserve. Akal tak boleh difungsikan saat brbenturan dengan eksistensi Tuhan terutama paham tiga Tuhan ( Allah bapak, Allah putra dan roh kudus) menjai satu pribadi dari tiga pribadi. Sementara Islam memandang Esanya Tuhan bukan saja boleh diukur dan dibuktikan melalui dalil naqli, bahkan akal pun harus digerakan ketika menafsirkan surat al-ikhlas. Dengan ketika lain, Islam membolehkan penggunaan akal dalam membuktikan Esanya Tuhan.
Islam dan Kristen sangat menghargai peranan wahyu, karena dengan wahyu, manusia dapat terbebas dari kegelapan dan kekeliruan melangkah. Wahyu mampu menjawab bagian-bagian yang tak bisa dijawab oleh logika dan akal.
Adapun perbedaannya. Islam menempatkan akal dan wahyu sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan. Hanya melalui akal, maka wahyu dapat ditafsirkan namun tafsir tersebut harus dalam koridor wahyu. Islam sangat menghargai akal, namun tudak berarti akal ada di atas wahyu. Meskipun akal ditempakan dalam posisi yang tinggi, tapi akal tidak boleh menjadi alat uji kebenaran Al-Qur’an, justru Al-Qur’an menjadi alat penguji akal. artinya ketika akal bertentengan dengan wahyu, maka akal harus tunduk pada wahyu. karena akal bersifat relatif dan temporer, sementara Al-Qur’an bersifat absolut dan kekal.
Sedangkan kristen pada abad pertengahan telah melumpuhkan penggunaan akal. Tampak misalnya ketika mengurai tentang eksistensi Tuhan termasuk asas Tritunggal bersifat dogmais. Dalam hal ini manusia tak boleh menganaliis mengapa Tritunggal bisa menjadi Esa, dalam pandangan kristen ketika itu, manusia harus percaya tanpa reserve. Akal tak boleh difungsikan saat brbenturan dengan eksistensi Tuhan terutama paham tiga Tuhan ( Allah bapak, Allah putra dan roh kudus) menjai satu pribadi dari tiga pribadi. Sementara Islam memandang Esanya Tuhan bukan saja boleh diukur dan dibuktikan melalui dalil naqli, bahkan akal pun harus digerakan ketika menafsirkan surat al-ikhlas. Dengan ketika lain, Islam membolehkan penggunaan akal dalam membuktikan Esanya Tuhan.