A. Latar Belakang Masalah
Munculnya masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama yang semakin hebat dan ruwet telah mendorong para pemikir keagamaan untuk membangun teologi agama-agama yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Dalam konteks teologi agama-agama, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Bagaimana sebuah agama seharusnya memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama-agama lain? Di mata para pendukung dialog antaragama, teologi eksklusivis dianggap tidak mampu menjawab tantangan-tantangan plural keagamaan karena teologi eksklusivis mempunyai potensi untuk melahirkan konflik antaragama. Menurut mereka sebagai pengganti teologi eksklusivis, perlu dicari format teologi baru yang bisa menjawab tantangan-tantangan itu. Teologi baru yang dibangun oleh para penganjur dialog antaragama itu adalah teologi inklusivis dan teologi pluralis. Teologi inklusivis tentang agama-agama yang sering disebut inklusivisme, mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat kebenaran, tetapi puncak kebenaran ada dalam agama pendukung teologi ini. Teologi pluralis tentang agama-agama, yang sering disebut pluralisme, memandang bahwa semua agama meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama: Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil.[1]
Teologi pluralis sangat diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam membangun dan menjaga hubungan harmonis antaragama. Tetapi teologi pluralis dalam arti ini adalah teologi teoretis dan karena itu ia membutuhkan sebuah teologi praktis yang merupakan pedoman untuk mempraktikkannya dalam situasi konkrit hubungan antaragama. Teologi praktis ini adalah pedoman pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan teologi teoretis. Teologi pluralis dalam Islam, karena sifatnya teoretis dan spekulatif, dapat dikategorikan sebagai disiplin keilmuan yang disebut ilmu kalam atau kalam. Teologi praktis dalam Islam, karena sifatnya praktis, dapat dikategorikan sebagai disiplin keilmuan yang disebut ilmu fiqih atau fiqih. Sebuah ungkapan yang perlu dipegang teguh dalam konteks hubungan antaragama adalah bahwa teologi pluralis membutuhkan fiqih pluralis. Fiqih hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqih pluralis. Fiqih eksklusivis tidak sesuai dengan teologi pluralis. Fiqih eksklusivis sesuai hanya dengan teologi eksklusivis. Itulah sebabnya mengapa fiqih lama yang eksklusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota-anggotanya semakin meningkat. Fiqih yang sesuai dengan situasi seperti ini adalah fiqih pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Karena itu, salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan di penghujung abad 20 ini adalah maraknya perbincangan mengenai dialog antar agama yang menyangkut seputar masalah fiqih atau hukum Islam.[2]
Dalam konteksnya dengan ibadah, sebagai diketahui, ibadah merupakan kajian ilmu Fiqih. Belakangan, di antara masalah fiqih yang agak meresahkan orang banyak terutama kaum muslimin adalah seputar pendapat Nurcholish Madjid, et al, yang membolehkan orang Islam mengucapkan salam pada umat non muslim. Pernyataan Nurcholish Madjid dianggap kontroversil atau bertentangan dengan hukum Islam yang dianggap telah mapan dan disepakati oleh sebagian ulama. Dari sini peneliti tertarik untuk mengungkap hukumnya mengucapkan salam pada umat non muslim.
Dengan penelitian diharapkan dapat memberikan solusi dan kepastian tentang aspek hukumnya masalah di atas. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi, alim ulama dan masyarakat banyak. Setidaknya dari penelitian ini dapat dijadikan studi banding oleh peneliti lainnya. Bila masalahnya dibiarkan tanpa mendapat jawaban, barangkali akan muncul kesan bahwa fiqih tidak mampu menjawab permasalahan umat terutama masalah lintas agama yang berarti berkaitan dengan fiqih lintas agama. Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan judul: Analisis Pendapat Nurcholish Madjid Tentang Hukum Mengucapkan Salam Pada Umat Non Muslim
Munculnya masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama yang semakin hebat dan ruwet telah mendorong para pemikir keagamaan untuk membangun teologi agama-agama yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Dalam konteks teologi agama-agama, pertanyaan yang perlu diajukan adalah: Bagaimana sebuah agama seharusnya memandang dirinya dalam hubungannya dengan agama-agama lain? Di mata para pendukung dialog antaragama, teologi eksklusivis dianggap tidak mampu menjawab tantangan-tantangan plural keagamaan karena teologi eksklusivis mempunyai potensi untuk melahirkan konflik antaragama. Menurut mereka sebagai pengganti teologi eksklusivis, perlu dicari format teologi baru yang bisa menjawab tantangan-tantangan itu. Teologi baru yang dibangun oleh para penganjur dialog antaragama itu adalah teologi inklusivis dan teologi pluralis. Teologi inklusivis tentang agama-agama yang sering disebut inklusivisme, mengakui bahwa dalam agama-agama lain terdapat juga suatu tingkat kebenaran, tetapi puncak kebenaran ada dalam agama pendukung teologi ini. Teologi pluralis tentang agama-agama, yang sering disebut pluralisme, memandang bahwa semua agama meskipun dengan jalan masing-masing yang berbeda, menuju satu tujuan yang sama: Yang Absolut, Yang Terakhir, Yang Riil.[1]
Teologi pluralis sangat diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam membangun dan menjaga hubungan harmonis antaragama. Tetapi teologi pluralis dalam arti ini adalah teologi teoretis dan karena itu ia membutuhkan sebuah teologi praktis yang merupakan pedoman untuk mempraktikkannya dalam situasi konkrit hubungan antaragama. Teologi praktis ini adalah pedoman pelaksanaan atau petunjuk pelaksanaan teologi teoretis. Teologi pluralis dalam Islam, karena sifatnya teoretis dan spekulatif, dapat dikategorikan sebagai disiplin keilmuan yang disebut ilmu kalam atau kalam. Teologi praktis dalam Islam, karena sifatnya praktis, dapat dikategorikan sebagai disiplin keilmuan yang disebut ilmu fiqih atau fiqih. Sebuah ungkapan yang perlu dipegang teguh dalam konteks hubungan antaragama adalah bahwa teologi pluralis membutuhkan fiqih pluralis. Fiqih hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqih pluralis. Fiqih eksklusivis tidak sesuai dengan teologi pluralis. Fiqih eksklusivis sesuai hanya dengan teologi eksklusivis. Itulah sebabnya mengapa fiqih lama yang eksklusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota-anggotanya semakin meningkat. Fiqih yang sesuai dengan situasi seperti ini adalah fiqih pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu. Karena itu, salah satu wacana intelektual yang cukup mengesankan di penghujung abad 20 ini adalah maraknya perbincangan mengenai dialog antar agama yang menyangkut seputar masalah fiqih atau hukum Islam.[2]
Dalam konteksnya dengan ibadah, sebagai diketahui, ibadah merupakan kajian ilmu Fiqih. Belakangan, di antara masalah fiqih yang agak meresahkan orang banyak terutama kaum muslimin adalah seputar pendapat Nurcholish Madjid, et al, yang membolehkan orang Islam mengucapkan salam pada umat non muslim. Pernyataan Nurcholish Madjid dianggap kontroversil atau bertentangan dengan hukum Islam yang dianggap telah mapan dan disepakati oleh sebagian ulama. Dari sini peneliti tertarik untuk mengungkap hukumnya mengucapkan salam pada umat non muslim.
Dengan penelitian diharapkan dapat memberikan solusi dan kepastian tentang aspek hukumnya masalah di atas. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi masukan bagi perguruan tinggi, alim ulama dan masyarakat banyak. Setidaknya dari penelitian ini dapat dijadikan studi banding oleh peneliti lainnya. Bila masalahnya dibiarkan tanpa mendapat jawaban, barangkali akan muncul kesan bahwa fiqih tidak mampu menjawab permasalahan umat terutama masalah lintas agama yang berarti berkaitan dengan fiqih lintas agama. Berdasarkan uraian di atas mendorong diangkatnya tema ini dengan judul: Analisis Pendapat Nurcholish Madjid Tentang Hukum Mengucapkan Salam Pada Umat Non Muslim
B. Permasalahan
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.[3] Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
- Bagaimana pendapat para ulama tentang mengucapkan salam pada umat non muslim?
- Bagaimana pendapat Nurcholish Madjid tentang hukum mengucapkan salam pada umat non muslim?
[1] Nurcholish Madjid, et al., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, cet ke-5, 2004, hlm. 64.
[2] Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over: Melintas Batas Agama, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1998, hlm. XI.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 312.