Bentuk-bentuk Ibadah Qurban dalam Surat Al-Kautsar

Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa dalam Al-Qur’an surat Al-Kautsar, perintah ibadah qurban paling tidak dipahami ada 2 (dua) macam, yakni udh-hiyah (penyembelihan hewan kurban yang dilaksanakan dalam konteks hari raya Idul Adh-ha) dan aqiqah (penyembelihan hewan qurban yang dilakukan oleh orang tua dan dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran anak), maka dalam pembahasan ini akan menguraikan 2 (dua) macam bentuk ibadah qurban tersebut dan juga kedua bentuk ibadah qurban tersebut merupakan syi’ar agama yang masyhur dilaksanakan oleh kalangan umat Islam.

a.         Udh-hiyah
Udh-hiyah (          ), menurut pengertian bahasa berarti “kambing yang disembelih atau dikurbankan”. Kata udh-hiyah berakar dari kata “dhaha”, “yadh-hu”, “dhahwan” (                                ) yang berarti “berpanas cahaya matahari”. Kata udh-hiyyah terbentuk dari akar kata “dhuhha”, “yudhahhi”, dhahiyyatan (                   ) yang berarti “menyembelih (kambing) pada pagi hari (Idul Adh-ha).[1]
Secara umum udh-hiyah juga berarti “dekat” atau “pendekatan diri”. Sedangkan menurut istilah syara’, udh-hiyah ialah menyembelih hewan dengan tujuan beribadah kepada Allah SWT. pada hari Adh-ha dan hari-hari Tasyriq, yanitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijah.[2]
Sejalan dengan pengertian di atas, Abu Bakar Jabir al-Jazairi berpendapat bahwa:
[3]
Udh-hiyah ialah kambing yang disembelih pada waktu dhuha di Hari Raya Id untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.”

Ibadah qurban ini yang ditunaikan oleh umat Islam pada setiap hari raya Idul Adh-ha, memiliki akar kesejahteraan dengan pengalaman Nabi Ibrahim as. dan putra terkasihnya, Nabi Ismail as. Ibadah qurban yang dirintis oleh mereka berdua menunjukkan suri tauladan bagaimana kecintaan kepada Allah Al-Khalik harus dimanifestasikan secara total tanpa keraguan, bahkan denga penuh resiko.
Nabi Ibrahim as. berani “berspeskulasi” mengorbankan putra tercinta satu-satunya hanya lewat sebuah mimpi (QS. 37: 102-107). Padahal, anak yang menjadi permata hatinya itu, dia meminta lewat doa yang tiada putus kepada Allah SWT., setelah sekian lama istrinya (Siti Hajar) tidak juga melahirkan.[4]
Mengenai hukum pelaksanaan udh-hiyah, menurut Imam al-Asqalani seperti yang dikutip K.H. E. Abdurrahman, bahwa hukum udh-hiyah adalah sunah[5], bahkan sunah yang sangat dianjurkan (sunah mu’akadah).[6] Hal ini didasarkan pada nash Al-Qur’an yang terdapat dalam surat Al-Kautsar ayat 2.
Tersebut juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Sirrin:

[7]
Artinya: “Saya telah bertanya kepada Ibnu Umar tentang udh-hiyah, apakah ia hukumnya wajib?”. Dia menjawab: “Rasulullah saw. dan umat Islam sepeninggalnya telah ber-udh-hiyah dan melaksanakan udh-hiyah berlaku hukum sunah.” (HR. at-Tirmidzi)

Karena inilah, qurban yang disyaria’atkan kepada umat Islam dimaksudkan untuk mengingatkan kembali nikmat Allah SWT. kepada Nabi Ibrahim as. karena taat dan patuhnya kepada Allah SWT. dan untuk ber-taqarrub (mendekatkan) kepada-Nya. Karena itu binatang[8] yang disembelih hendaknya dipilihlah yang terbaik.
Penyembelihan ini dlaksanakan pada hari raya Idul Adh-ha sejak sehabis shalat Id hingga hari ketiga tanggal 13 Dzuhijjah ketika matahari terbenam (Maghrib). Penentuan waktu ini merupakan pendapat yang paling rajih dan mempunyai dasar ketetapan.[9]
Ini didasarkan pada hadits Nabi Muhamad saw:

[10]
Artinya: “Barangsiapa yang menyembelih (kurban) sebelum shalat (Idul Adh-ha), maka ia sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat, maka telah sempurnalah ibadah (kurban)nya dan dia telah menjalani aturan agama Islam yang benar.” (HR. Muslim)

Sabdanya lagi:
[11]
Artinya: “Semua hari Tasyriq adalah waktu untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dari Jubair bin Muth’im)

Dalam ajaran Islam, daging hewan qurban udh-hiyah disyari’atkan untuk disedekahkan kepada yang berhak, yaitu orang yang layak untuk menerimanya yang tentunya bukan orang yang kaya. Orang yang ber-udh-hiyah atau orang yang berqurban boleh memakan daging qurbannya sebagai bukti qurbannya telah disembelih,[12] kecuali bila ia telah bernazar akan berqurban serta akan menyedekahkan semuanya yang dibagikan secara gratis kepada fakir miskin.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT. berfirman:

Artinya: “Maka makanlah sebagian dari padanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)[13]

Firman-Nya lagi dalam surat Al-Hajj ayat 36:

Artinya: “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Hajj: 36)[14]

Dalam sebuah hadits, sahabat Ali ra. meriwayatkan bahwa:

[15]
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah saw. menyuruhnya (Ali) untuk membagi hewan qurbannya, baik dagingnya, kulitnya dan bulunya untuk orang-orang miskin.” (HR. Ibnu Majah)

b.        Aqiqah
Kata “aqiqah (               ) berasal dari akar kata “aqqa”, “ya’uqqa”, “aqqan” (                         ) yang berarti “meng-aqiqah-kan anak, menyembelih kambing bagi anak”[16] atau berasal dari kata “aqiq” yang berarti “rambut bayi yang baru lahir.” Oleh karena itu, aqiqah selalu diartikan mengadakan selamatan lahirnya seorang bayi dengan menyembelih seekor hewan (sekurangnya seekor kambing).[17]
Menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairi:
[18]
Artinya: “Aqiqah ialah kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh kelahirannya.”

Pengertian yang dapat diambil dari aqiqah adalah menyembelih hewan pada hari ketujuh dari kelahiran anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sebagai rasa syukur kepada Allah SWT.[19] Seperti telah diketahui bahwa kelahiran bayi adalah amat menggembirakan kedua orang tuanya. Karena itu, sudah sepantasnya apabila kelahiran bayi itu dirayakan atau diselamati sebagai tanda syukur kepada Allah SWT.[20]
Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

[21]
Artinya: “Anak yang baru lahir mejadi tergadai sampai disembelihkan baginya akikah pada hari ketujuh dari hari kelahirannya dan diberikan nama baginya.” (HR. Tirmidzi dari Samrah bin Jundab)

Berdasarkan perintah Nabi[22] dalam hadits di atas, maka menurut Jumhur Ulama hukum akikah adalah sunah atau sunah mu’akadah. Ini berarti apabila ada keluarga yang sama sekali tidak menyembelih akikah untuk anak-anaknya, maka tidak ada dosa atau hutang baginya untuk membayarnya di masa yang lahir itu sudah tua atau kaya raya di kemudian hari.[23]
Dalam sebuah hadits diriwayatkan:

[24]
Artinya: “Rasulullah saw. telah menyuruh kami untuk menyembelih akikah dua ekor kambing untuk kelahiran seorang bayi laki-laki dan seekor kambing untuk seorang bayi perempuan.” (HR. At-Tirmidzi)

Melihat ketentuan di atas kiranya dapat dilihat betapa Islam tidak memberatkan umatnya dalam menjalankan ajaran-ajarannya. Oleh karena kemiskinan dan kekayaan itu kedua-duanya tersebar di antara umat Islam, maka apabila akikah itu wajib niscaya akan menyulitkan pelaksanaannya bagi kalangan umat Islam yang miskin.
Sebagaimana udh-hiyah, aqiqah termasuk ibadah nusuk, yakni ibadah dengan menyembelih hewan yang dagingnya dibagikan kepada yang berhak menerimanya, yaitu fakir miskin dan mempunyai cara pembagian yang sama dengan udh-hiyah. Dalam pembagian ini, daging sembelihan (akikah) hendaknya dimasak dan dibagikan kepada fakir miskin atau memanggil mereka untuk dimakan bersama di rumah.[25]
Nabi Muhammad saw. bersabda:

[26]
Artinya: “Barangsiapa yang dilahirkan baginya seorang anak dan ia berkenan untuk menyembelih qurban untuknya, maka hendaknya ia menyembelih hewan qurban untuk anak laki-laki dua ekor kambing dan untuk anak perempuan satu ekor kambing.” (HR. Abu Daud)

 Dari hadits ini dapat dipahami bahwa bagi orang tua yang mempunyai kemampuan untuk meng-aqiqah-kan anaknya, maka sebaiknya ia melakukannya sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. atas kenikmatan yang telah dikaruniakan-Nya berupa anak yang dilahirkan dalam keadaan selamat sekaligus mendoakan agar anaknya kelak menjadi anak saleh yang taat dan patuh kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, ketika orang tua yang mempunyai kemampuan dan mau melakukan aqiqah, berarti mereka telah menghidupi sunah Rasulullah saw. sehingga ia menerima keutamaan dan pahala dari sisi Allah SWT. Dengan aqiqah ini pula dapat menambah makna kasih sayang, kecintaan dan mempererat tali ikatan sosial antara kaum kerabat dan keluarga, tetangga daan handai taulan.[27]
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa udh-hiyah dan aqiqah merupakan salah satu manifestasi ajaran Tauhid dimana ia tidak akan terlepas dari semangat pemupukan jiwa solidaritas sosial dan kesediaan berqurban untuk kepentingan sosial. Pemupukan jiwa solidaritas sosial dan kesediaan berkurban merupakan salah satu bentuk perbuatan baik (ihsan) terhadap orang yang hidupnya dalam kekurangan.
Dalam Al-Qur’an surat Allah berfirman:

Artinya: “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta.” (QS. Al-Hajj: 36)[28]

Ayat di atas merupakan salah satu petunjuk untuk mengembangkan sikap positif dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya menyembelih hewan qurban yang dagingnya diberikan kepada fakir miskin sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. atas limpahan karunia-karunia-Nya. Allah akan menyiksa hamba-Nya yang kikir dan tidak mensyukuri karunia yang telah diberikan.


[1] Mahmud Yunus, Op. Cit., halaman 226. Lihat juga Abdul Hamid Zahwan, Op. Cit., hal. 306 dan E. Abdurrahman, Op. Cit., halaman 7.

[2] M. Abdul Mujib, dkk., Istilah Kamus Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), halaman 393.

[3] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyyah, t.th.), halaman 319. Kata “udh-hiyah” atau “dhuha” pada asalnya bermakna waktu dhuha (yaitu kira-kira jarak waktu pukul 07.00 pagi hingga pukul 11 pagi). Jarak waktu ini digunakan untuk menyembelih hewan qurban pada tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijah. Lihat Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Op. Cit., halaman 7.

[4] Haedar Nashir, Op. Cit., halaman 156.

[5] Hal ini disebabkan tidak ada keterangan yang sahih dari Sahabat yang mengatakan bahwa hukum udh-hiyyah adalah wajib. Golongan yang mewajibkannya tidak mempunyai dalil yang sahih dan sharih (jelas) Lihat E. Abdurrahman, Op. Cit., halaman 7.

[6] Hasbullah Bakry, Op. Cit., halaman 261.

[7] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Op. Cit., halaman 237. Menurut Sufyan ats-Tsaury dan Ibnu al-Mubarak, seperti yang ditulis Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, berpendapat bahwa hukum udh-hiyah tidak wajib melainkan suatu kesunahan dari beberapa kesunahan Nabi dimana ber-udh-hiyah merupakan (perbuatan) yang disukai. Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), juz III, halaman 169.

[8] Binatang-binatang yang boleh dijadikan qurban, ialah: unta yang berumur lima tahun, sapi atau kerbau yang telah berumur dua tahun, kambing yang sudah berumur dua tahun, dan domba atau biri-biri yang telah lepas giginya sesudah berumur enam tahun. Syarat-syarat binatang yang diqurbankan itu ialah matanya tidak buta sebelah, kakinya tidak pincang, tidak berpenyakit yang tampak jelas sekali sehingga kelihatan kurus atau rusak dagingnya, harus gemuk (tidak kurus), tidak berkudis, telinganya tidak terpotong sebelah, ekornya masih utuh (tidak terpotong), dan sedang tidak mengandung atau baru saja melahirkan. Sekurang-kurangnya qurban ialah seekor kambing untuk satu orang atau seekor unta atau sapi atau kerbau untuk tujuh orang. Lihat Abdul Mujib, dkk., Op. Cit., halaman 394.

[9] E. Abdurrahman juga mengutip beberapa pendapat Ulama tentang hal ini, antara lain: (1) Ibnu Sirrin berpendapat bahwa waktu menyembelih qurban itu hanya satu hari, yaitu pada hari raya Idul Adh-ha atau tanggal 10 Dzulhijah, (2) Said bin Jubair berpendapat bahwa hewan qurban disembelih pada tanggal 10 Dzulhijjah untuk orang kota dan pada hari-hari Tasyriq atau tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah bagi orang-orang desa. (3) Imam Hanafi, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa waktu menyembelih qurban pada tanggal 10, 11, 12 Dzulhijjah. (4) Pendapat Ulama lain yang mengatakan bahwa waktu menyembelih qurban dilakukan pada tanggal 10 sampai akhir bulan Dzulhijah. Lihat E. Abdurrahman, Op. Cit. halaman 10.

[10] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1992), Juz V, halaman 590.

[11] Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal (Bairut: Dar al-Fikr. t.th.), Juz IV, halaman 82.

[12] Hasbullah Bakry, Op. Cit., halaman 262.

[13] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Op. Cit., halaman 516.

[14] Ibid., halaman 517.

[15] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Op. Cit., halaman. 247.

[16] Mahmud Yunus, Op. Cit., halaman 273. Lihat juga Abdul Hamid Zahwan, Op. Cit,  halaman 362.

[17] Hasbullah Bakry, Op. Cit., halaman 263. Mengenai waktu penyembelihan aqiqah, ada kelonggaran waktu jika ada halangan. Aqiqah dapat dilakukan sesudah hari ketujuh, misalnya hari keempat belas atau disesuaikan dengan selamatan adat sehabis masa nifas dari sang ibu yang melahirkan (sebulan atau lebih), atau setelah enam bulan. Asalkan jangan samapi lewat lebih dari satu tahun dan supaya tidak disusul pula oleh nak bayi selanjutnya. Lihat ibid, hal. 264.

[18] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Op. Cit., halaman 322.

[19] Abdul Mujib, dkk., Op. Cit., halaman 21.

[20] Hasbullah Bakry, Op. Cit., halaman 263.

[21] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qozwaini, Op. Cit., halaman 250.

[22] Menurut Hasbullah Bakry perintah Nabi Muhammad yang berkenaan dengan menyembelih aqiqah ini sudah disepakati oleh seluruh Madzhab sebagai perintah anjuran (amar li an-nadab) bukan perintah wajib (amar li al-wujub). Hasbullah Bakry, Op. Cit., halaman 264.

[23] Mengenai hukum aqiqah di sini, sebagian Madzab Zahiri berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum aqiqah bukan wajib dan bukan pula sunah, melainkan boleh (ibahah). Perbedaan pendapat ini menurut Ibnu Rusyd seperti yang dikutip Abdul Aziz Dahlan, dikarenakan timbulnya perbedaan di dalam memahami hadits yang diriwayatkan dari Samrah tersebut. Oleh karena itulah, Ibnu Rusyd berpendapat barang siapa yang memahami hadits dari Samrah bin Jundab tersebut membawa pada hukum sunah, maka aqiqah hukumnya hukumnya sunah. Dan barangsiapa yang memahami hadits tersebut membawa pada hukum ibahah (boleh), maka aqiqah hukumnya boleh. Sedangkan, Sayid Sabiq berpendapat bahwa hukum aqiqah adalah sunah mu’akkadah, yaitu sunah yang dianjurkan dalam Islam. Untuk lebih lengkapnya, lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Juz I, halaman 80-81.

[24] Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Op. Cit., halaman 248. Dalam hadits ini,  ketentuan dua ekor kambing untuk laki-laki itu tidaklah mutlak. Artinya, akikah satu ekor kambing untuk seorang bayi laki-laki juga dianggap sah dan mencukupi bagi orang yang memiliki kemampuan hanya demikian. Hasbullah Bakry, Op. Cit., halaman 264. Menurut pendapat Imam Malik, aqiqah untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing satu ekor kambing. Sedangkan Imam Syafi’i, Abu Saur, Imam Abu Daud, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa aqiqah untuk anak perempuan satu seekor kambing, sedangkan anak-laki-laki dengan dua ekor kambing.Lihat Abdul Aziz Dahlan, Op. Cit., halaman 8.

[25] E. Abdurrahman, Op. Cit., halaman 39-40.

[26] Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats as-Sajsatani, Sunan Abi Daud (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), Juz III, halaman 24.

[27] Abdullah Nashih Ulwan, Op. Cit., halaman 91.


[28] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Op. Cit. halaman 517.