Pemikiran Imam al-Ghazali Tentang Pendidikan

Imam al-Ghazali termasuk ke dalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Selain itu, menurut Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Imam al-Ghazali memiliki pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata-mata tetapi juga keimanan, sosial, jasmaniah, dan sebagainya.[1]

Pandangan Imam al-Ghazali tentang pendidikan yang sarat dengan nuansa sufistik itu bisa dilihat dari konsepsi dia mengenai tujuan, pendidik, anak didik, dan kurikulum pendidikan.
Imam al-Ghazali mempunyai pandangan yang berbeda dengan para ahli pendidikan yang lain mengenai tujuan pendidikan. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang.[2]

Samsul Nizar mengatakan bahwa,
Pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada tiga, yaitu: tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak yang baik; tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[3]

Menurut Imam al-Ghazali, pendidik adalah orang yang berusaha membimbing, meningkatkan, menyempurnakan, dan mensucikan hati sehingga menjadi dekat dengan khaliqnya.[4] Sedangkan seorang pendidik menurut Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh al-Jumbulati dituntut untuk memiliki sifat-sifat keutamaan antara lain:
Guru harus mencintai muridnya, tidak boleh mencari bayaran, guru harus mengingatkan muridnya bahwa tujuan mencari ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, guru harus mendorong muridnya untuk mencari ilmu yang bermanfaat, guru harus memberikan contoh yang baik, guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya serap anak didiknya, guru harus memperhatikan perbedaan-perbedaan individual anak, guru hendaknya mampu mengamalkan ilmunya agar ucapannya tidak mendustai perbuatannya, dan guru harus mempelajari keadaan psikologis murid-muridnya.[5]
Adapun konsep Imam al-Ghazali mengenai murid, sebagaimana diungkapkan oleh Abuddin Nata, adalah murid harus memuliakan guru, merasa satu bangunan dengan murid lainnya, menjauhkan diri dari mempelajari berbagai mazhab yang dapat mengacaukan pikirannya, mempelajari berbagai jenis ilmu yang bermanfaat.[6]

Nizar mengungkapkan tugas dan kewajiban yang yang harus dimilki oleh seorang murid, sebagaimana dikehendaki oleh Imam al-Ghazali, antara lain:

a.   Belajar dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik senantiasa mensucikan jiwanya dengan akhlak yang baik.
b.  Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
c.   Bersikap rendah hati dengan cara menanggalkan kepentingan pendidikan.
d.  Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
e.   Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi.
f.   Belajar dengan berharap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu-ilmu fardlu ‘ain manuju ilmu fardlu kifayah
g.  Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
h.  Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i.    Memperioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j.    Mengenal nila-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat yang dapat membahagiakan, memsejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.[7]

Selanjutnya, kurikulum yang dikehandaki Imam al-Ghazali dapat dipahami dari pendangannya mengenai ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa ilmu dalam perspektif Imam al-Ghazali dibagai dalam dua bagian besar: ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai obyek. Ilmu sebagai obyek memiliki tiga bagian, yaitu  ilmu yang tercela, ilmu yang terpuji, dan ilmu yang terpuji dalam batas-batas tertentu. Dari ketiga ilmu ini kemudian Imam al-Ghazali membagi lagi dalam dua kelompok: ilmu yang fardlu ‘ain dan ilmu yang fardlu kifayah.
Menurut Mursi, sebagaimana dikutip Nizar, dari beberapa macam ilmu yang telah disebutkan tadi, Imam al-Ghazali mengusulkan beberap ilmu pengetahuan yang harus dipelajari di sekolah, yaitu:
a.   Ilmu al-Qur’an dan ilmu agama seperti fiqih, hadits dan tafsir.
b.  Sekumpulan bahasa, nahwu dan makhraj serta lafadz-lafadznya, karena ilmu ini berfungsi membantu ilmu agama.
c.   Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, yaitu ilmu kedokteran, matematika, teknologi yang beraneka ragam jenisnya termasuk juga ilmu politik.
d.  Ilmu kebudayaan, seperti sya’ir, sejarah dan beberapa cabang filsafat..[8]

Jadi,  kurikulum yang menjadi titik perhatian Imam al-Ghazali adalah ilmu pengetahuan yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena model ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat, karena dapat menenangkan jiwa dan dapat mendekatkan diri kepada Allah.

Jika diamati, corak pendidikan yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali akan tampak nuansa pendidikan yang sangat kental dengan nilai-nilai tasawuf yang ia gandrungi. Artinya, bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Imam al-Ghazali sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.

Namun demikian, pendidikan yang coba diformulasikan oleh Imam al-Ghazali merupakan konsep yang ia kembangkan dari sebuah dialektika dengan zaman yang dihadapinya pada waktu itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang memerlukan sebuah penyempurnaan. Seperti posisi guru yang menurut Imam al-Ghazali merupakan sentral dalam pendidikan. Pada zaman sekarang guru dilihat sebagai fasilitator saja.

[1] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 235.
[2] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 162.
[3] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 87.
[4].Ibid., hlm 88.
[5] Ali al-Jumbulati Abdul Futuh at-Tuwaanisi, Op. Cit., hlm. 137-143.
[6] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 165-166.
[7] Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 89-90.
[8] Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 167.