Bentuk Sanksi Pidana Bagi Pelaku Nikah Siri

Dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama tentang perkawinan ini disebutkan sanksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan pernikahan siri. Sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap serta penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah juga terkena sanksi.
1.      Sanksi bagi pelaku nikah siri
Pelaku nikah siri terjerat sanksi pidana dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, jika memang RUU tersebut disahkan. Dalam pasal 143 RUU tersebut dinyatakan: ”Setiap orang yang dengan sengaja melangsungan perkawinan tidak dihadapan pejabat pencatat nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dipidana denda paling banyak Rp 6.000.0000,- (enam juta rupiah) atau hukuman paling lama 9 (enam) bulan penjara”.[1]
Pasal tersebut menyatakan bahwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa agar terjaminnya ketertiban perkawinan,  maka perkawinan harus dicatatkan. Apabila sengaja tidak mencatatkan perkawinan dihadapan pejabat pencatat maka akan terkena sanksi paling banyak Rp. 6 juta atau hukuman paling lama 9 tahun.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 143 ini  merupakan tindak pidana pelanggaran bukan tindak pidana kejahatan.
2.      Sanksi bagi yang tidak berhak menjadi wali nikah
Bagi wali nikah terjerat sanksi sebagaimana disebutkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Pasal 150, yaitu: ”Setiap orang yang tidak berhak sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 , dan dengan sengaja bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun”.[2]
Pasal tersebut menyatakan bahwa berdasarkan pasal 22 Kompilasi Hukum Islam yaitu ”apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang yang lain menurut derajat berikutnya”.[3] Dengan ketentuan tersebut, kemudian ada yang sengaja bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan, maka wali nikah yang tidak berhak tersebut akan terkena sanksi pidana penjara paling lama 3 tahun.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 150 RUU ini  merupakan tindak kejahatan bukan tindak pidana pelanggaran.
3.      Pejabat pencatat nikah yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap atau melanggar kewajiban.

Bagi pejabat pencatat nikah juga terjerat sanksi sebagaimana disebutkan dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Pasal 148, yaitu: ”Pejabat pencatat nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 12.000.000,- (dua belas juta rupiah)”.[4]
Ditegaskan pula dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Pasal 149, yaitu: ”Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai pejabat pencatat nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tiga tahun”.[5]
Kedua pasal tersebut menentukan sanksi pidana bagi pejabat pencatat nikah yang tidak melaksanakan kewajibannya atau menyelewengkan jabatannya maka akan dikenai hukuman kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp. 12 Juta. Sementara bagi yang berpura-pura menjadi pejabat pencatat nikah atau wali hakim sebagaimana diatur dalam KHI, maka dikenai hukuman penjara paling lama 3 tahun.
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 dan 149 RUU ini  merupakan tindak kejahatan bukan tindak pidana pelanggaran.
------------------------------------------------------------
[1] “Pasal Kontroversial Di RUU Pidana Pernikahan”, Vivanews online, http: www.vivanews.com, 8 Februari 2010, diakses pada tanggal 16 Mei 2010.
[2] “Pasal Kontroversial Di RUU Pidana Pernikahan”, Vivanews online, http: www.vivanews.com, 8 Februari 2010, diakses pada tanggal 16 Mei 2010.
[3] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[4] “Pasal Kontroversial Di RUU Pidana Pernikahan”, Vivanews online, http: www.vivanews.com, 8 Februari 2010, diakses pada tanggal 16 Mei 2010.
[5] Ibid.