Sanksi pidana yang menjerat pelaku nikah siri memiliki beberapa dasar hukum atau landasan yang menjadi acuan dan pertimbangan dalam menetapkan pemidanaan. Adapun landasan atau dasar hukum tersebut adalah:
a. Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.[1]
Pasal ini menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan pada pejabat pencatat nikah sebagaimana pengertian nikah siri yaitu pernikahan yang sah menurut hukum Islam, namun tidak dicatatkan ke lembaga negara dalam hal ini yang ditunjuk adalah Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada dibawah naungan Departemen Agama (Depag). Dasar hukum ini menjadi acuan pemidanaan terhadap pelaku nikah siri atau nikah dibawah tangan (tidak tercatat).
Adapun landasan hukum tentang Pencatatan Perkawinan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 terdapat pada BAB II pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Pasal-pasal tersebut juga menjadi acuan teknis rancangan pemidanaan terhadap pelaku nikah siri.
b. Pasal 20 yang berbunyi: ”Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan”.[2]
Pasal ini menegaskan bahwa pejabat pencatat nikah tidak boleh melanggar kewajibannya, atau bahkan membantu melangsungkan perkawinan padahal dia mengetahui adanya pelanggaran administrasi. Dasar hukum ini menjadi acuan pemidanaan terhadap pejabat atau pegawai pencatat nikah yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Adapun landasan hukum tentang kewajiban bagi Pejabat pencatat perkawinan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 terdapat dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang berisi tentang penerimaan pemberitahuan dan penelitian terhadap data-data mempelai yang harus terpenuhi dan pasal 8 yang berisi tentang penyelenggaraan pengumuman perkawinan oleh pejabat pencatat nikah serta pasal 9 yang berisi tentang penandatangan pengumuman oleh pejabat pencatat nikah. Dasar hukum ini pun menjadi acuan teknis pemidanaan terhadap pejabat pencatat nikah yang tidak dapat menjalankan tugasnya.
a. Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.[3]
b. Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: ”Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah”.[4]
c. Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi: ”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.[5]
Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut adalah dasar atau landasan hukum yang menjadi acuan teknis terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang memidanakan pelaku nikah siri yang tidak mengikuti prosedural dan tata cara perkawinan di Indonesia, yaitu tidak adanya pemberitahuan dan pencatatan perkawinan kepada pejabat pecatat nikah.
d. Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi:
”Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka”.[6]
e. Pasal 22 yang berbunyi: ”Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang yang lain menurut derajat berikutnya”.[7]
f. Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: ”Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan”.[8]
Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut adalah dasar atau landasan hukum yang menjadi acuan teknis terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang memidanakan wali yang tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan, karena tidak memenuhi syarat wali.
g. Pasal 4 yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974”.[9]
Jadi pasal-pasal yang terkait dengan prosedural perkawinan di Indonesia baik yang berada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 adalah landasan dan dasar hukum yang menjadi acuan teknis dalam rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang berisi tentang pemidanaan terhadap pelaku nikah siri dan yang terkait dengan itu.
Dengan demikian sanksi pidana bagi pelaku nikah siri sangat beralasan melihat ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, sebagaimana dikatakan bahwa hukuman dapat dilaksanakan apabila ketentuan hukumnya ada dan disebutkan dalam Undang-undang. Tidak hanya landasan hukum saja, tetapi masalah ini menyangkut pula norma agama juga norma sosial, sehingga memerlukan pertimbangan yang matang dalam penetapannya.
[1] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[2] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[3] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Dalam undang-undang ini, ada beberapa pasal yang dijadikan sebagai acuan dan pertimbangan diadakannya sanksi pidana bagi pelaku nikah siri, diantaranya adalah:a. Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi: ”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”.[1]
Pasal ini menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan pada pejabat pencatat nikah sebagaimana pengertian nikah siri yaitu pernikahan yang sah menurut hukum Islam, namun tidak dicatatkan ke lembaga negara dalam hal ini yang ditunjuk adalah Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada dibawah naungan Departemen Agama (Depag). Dasar hukum ini menjadi acuan pemidanaan terhadap pelaku nikah siri atau nikah dibawah tangan (tidak tercatat).
Adapun landasan hukum tentang Pencatatan Perkawinan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 terdapat pada BAB II pasal 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan 9. Pasal-pasal tersebut juga menjadi acuan teknis rancangan pemidanaan terhadap pelaku nikah siri.
b. Pasal 20 yang berbunyi: ”Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 dan pasal 12 Undang-undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan”.[2]
Pasal ini menegaskan bahwa pejabat pencatat nikah tidak boleh melanggar kewajibannya, atau bahkan membantu melangsungkan perkawinan padahal dia mengetahui adanya pelanggaran administrasi. Dasar hukum ini menjadi acuan pemidanaan terhadap pejabat atau pegawai pencatat nikah yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Adapun landasan hukum tentang kewajiban bagi Pejabat pencatat perkawinan didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 terdapat dalam pasal 6 ayat (1) dan (2) yang berisi tentang penerimaan pemberitahuan dan penelitian terhadap data-data mempelai yang harus terpenuhi dan pasal 8 yang berisi tentang penyelenggaraan pengumuman perkawinan oleh pejabat pencatat nikah serta pasal 9 yang berisi tentang penandatangan pengumuman oleh pejabat pencatat nikah. Dasar hukum ini pun menjadi acuan teknis pemidanaan terhadap pejabat pencatat nikah yang tidak dapat menjalankan tugasnya.
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dalam KHI sesuai dengan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991, ada beberapa pasal yang dijadikan sebagai acuan teknis pertimbangan diadakannya sanksi pidana bagi pelaku nikah siri, diantaranya adalah:a. Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.[3]
b. Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: ”Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah”.[4]
c. Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi: ”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”.[5]
Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut adalah dasar atau landasan hukum yang menjadi acuan teknis terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang memidanakan pelaku nikah siri yang tidak mengikuti prosedural dan tata cara perkawinan di Indonesia, yaitu tidak adanya pemberitahuan dan pencatatan perkawinan kepada pejabat pecatat nikah.
d. Pasal 21 ayat (1) yang berbunyi:
”Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka”.[6]
e. Pasal 22 yang berbunyi: ”Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang yang lain menurut derajat berikutnya”.[7]
f. Pasal 23 ayat (1) yang berbunyi: ”Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan”.[8]
Pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tersebut adalah dasar atau landasan hukum yang menjadi acuan teknis terhadap rancangan undang-undang (RUU) yang memidanakan wali yang tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan, karena tidak memenuhi syarat wali.
g. Pasal 4 yang berbunyi: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974”.[9]
Jadi pasal-pasal yang terkait dengan prosedural perkawinan di Indonesia baik yang berada dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 adalah landasan dan dasar hukum yang menjadi acuan teknis dalam rancangan Undang-undang (RUU) Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang berisi tentang pemidanaan terhadap pelaku nikah siri dan yang terkait dengan itu.
Dengan demikian sanksi pidana bagi pelaku nikah siri sangat beralasan melihat ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, sebagaimana dikatakan bahwa hukuman dapat dilaksanakan apabila ketentuan hukumnya ada dan disebutkan dalam Undang-undang. Tidak hanya landasan hukum saja, tetapi masalah ini menyangkut pula norma agama juga norma sosial, sehingga memerlukan pertimbangan yang matang dalam penetapannya.
[1] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[2] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[3] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Kompilasi Hukum Islam Indonesia Dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Penjelasannya, Jakarta: Trinity Optima Media, 2007.