Di dalam mengemukakan teorinya Imam Syafi’i selalu memperhatikan terlebih dahulu metode-metode yang digunakan para ahli fiqh dari madzhab-madzhab terdahulu dengan sikap kritis. Beliau membandingkan satu sama lain dengan tidak ragu-ragu untuk mengoreksinya apabila dipandang tidak benar, lalu beliau mengemukakan sikapnya sendiri sebagai sikap yang seharusnya ditempuh oleh siapapun.
Menurut Imam Syafi’i kedudukan saksi dalam perkawinan merupakan rukun dalam perkawinan sehingga tidak sah nikahnya tanpa dihadiri saksi, sedangkan kehadiran saksi pada saat berlangsung akad nikah mempunyai kemaslahatan yang sangat besar, karena di dalam peristiwa tersebut sudah jelas antara dua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan secara langsung dapat diketahui sah atau tidaknya perkawinan, karena saksi merupakan orang yang melihat secara langsung terjadinya suatu perkawinan kedua belah pihak.
Dalam hal ini kedudukan saksi menurut Imam Syafi’i didukung oleh dalil :
Artinya : “Dikabarkan oleh Muslim dan Saat dari Ibnu Juraij, dari Abdullah bin Ustman bin Khaisam, dari Said dan Mujahid dari Ibn Abbas ia mengatakan : tiada perkawinan, selain dengan dua orang saksi yang adil dan wali yang memimpin”.
Di samping itu pendapat Imam Syafi’i juga diperkuat dengan Sabda Rasulullah SAW :
Artinya : “Tiada sah menikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, adapun rupa nikah selain memakai wali dan dua orang saksi yang adil pasti batal”.
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dan beliau berkata : tidak ada hadits shahih selain hadits ini dalam menuturkan tentang dua orang saksi dalam sebuah perkawinan.[3]
Begitu juga tentang kedudukan saksi dalam perkawinan, kalau dilihat dari segi kemaslahatan yang akan dirasakan oleh orang Indonesia yang bermadzhab Syafi’iyah, bahwa saksi itu sangat penting keberadaannya, karena saksi merupakan orang yang melihat secara langsung terjadinya suatu perkawinan antara dua belah pihak. Sehingga saksi dalam perkawinan merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi pada saat terjadinya akad nikah, sehingga dalam hal ini perkawinan tanpa adanya dua orang saksi yang menyaksikan pada saat berlangsungnya akad nikah maka pernikahan yang telah dilangsungkan menjadi batal karena salah satu rukun dari pada pernikahan tidak terpenuhi, sehingga akibatnya akan lebih buruk. Apabila hal ini terjadi ada dua belah pihak yang telah melangsungkan akad nikah, maka dua belah pihak tersebut harus mengulangi akad nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Kehadiran saksi pada saat berlangsungnya akad nikah mempunyai maslahat yang sangat besar, karena di dalam peristiwa tersebut sudah jelas bahkan antara dua pihak laki-laki dan perempuan secara langsung dapat diketahui sah atau tidaknya perkawinan yang berlangsung, dan tidak mungkin terjadi kemungkinan antara pihak istri dan pihak suami tentang kebenaran perkawinan yang telah berlangsung serta mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
Setelah melihat uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kedudukan dan kehadiran saksi menurut pendapat Imam Syafi’i sangatlah relevan untuk diterapkan pada zaman sekarang, dikarenakan Imam Syafi’i didukung oleh hadits-hadits yang shahih dan kebanyakan penduduk Indonesia menggunakan pendapat Imam syafi’i tersebut yaitu saksi termasuk rukun nikah, tanpa dihadiri oleh saksi nikah atau perkawinan tersebut tidaklah sah. Saksi peranannya sangat vital, karena dalam hal ini kedudukan saksi menjadi kunci, dua orang saksi sangatlah penting. Pertama, ketika terjadi perselisihan antara suami istri dalam hal status perkawinan, maka saksi menjadi orang pertama yang berhak memberi keterangan, karena saksi adalah orang yang menyaksikan secara langsung jalannya pernikahan kedua belah pihak. Kedua, karena sah tidaknya sebuah perkawinan tergantung kepada saksi, oleh karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah merupakan keniscayaan.
Dengan dasar ini maka pendapat Imam Syafi’i dalam konteks negara Indonesia sangat relevan, selain itu dasar-dasar penetapan hukum Imam Syafi’i tentang keberadaan saksi sebagai rukun pernikahan dibangun atas landasan sumber hukum yang kuat, yakni hadits-hadits shohih.
Dari hal tersebut pendapat Imam Syafi’i dijadikan pegangan oleh sebagaian masyarakat muslim di Indonesia untuk menjadi dasar tentang saksi perkawinan, dikarenakan menganggap pendapat tersebut paling logis dan paling benar dianatara pendapat-pendapat imam lain.
[1]Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 23.
[2]Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Bina Iman, Surabaya, t.th, hlm. 102-103.
[3]Ibid.
Menurut Imam Syafi’i kedudukan saksi dalam perkawinan merupakan rukun dalam perkawinan sehingga tidak sah nikahnya tanpa dihadiri saksi, sedangkan kehadiran saksi pada saat berlangsung akad nikah mempunyai kemaslahatan yang sangat besar, karena di dalam peristiwa tersebut sudah jelas antara dua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan secara langsung dapat diketahui sah atau tidaknya perkawinan, karena saksi merupakan orang yang melihat secara langsung terjadinya suatu perkawinan kedua belah pihak.
Dalam hal ini kedudukan saksi menurut Imam Syafi’i didukung oleh dalil :
أخبرنا مسلم بن خا لد وسعيد عن ابن جريج عن عبدالله بن عثما ن بن خيثم عن سعيد بن جبير ومجا هد عن ابن عباس قا ل : لا نكاح إلا بشا هدى عدل وولى مرشد.[1]
Artinya : “Dikabarkan oleh Muslim dan Saat dari Ibnu Juraij, dari Abdullah bin Ustman bin Khaisam, dari Said dan Mujahid dari Ibn Abbas ia mengatakan : tiada perkawinan, selain dengan dua orang saksi yang adil dan wali yang memimpin”.
Di samping itu pendapat Imam Syafi’i juga diperkuat dengan Sabda Rasulullah SAW :
لا نكاح الاّ بوليّ وشاهدي عد ل, وما كان من نكاح غير ذ لك فهو باطل (رواه ابن حبان فى صحيحه) [2]
Artinya : “Tiada sah menikah, kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil, adapun rupa nikah selain memakai wali dan dua orang saksi yang adil pasti batal”.
Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, dan beliau berkata : tidak ada hadits shahih selain hadits ini dalam menuturkan tentang dua orang saksi dalam sebuah perkawinan.[3]
Begitu juga tentang kedudukan saksi dalam perkawinan, kalau dilihat dari segi kemaslahatan yang akan dirasakan oleh orang Indonesia yang bermadzhab Syafi’iyah, bahwa saksi itu sangat penting keberadaannya, karena saksi merupakan orang yang melihat secara langsung terjadinya suatu perkawinan antara dua belah pihak. Sehingga saksi dalam perkawinan merupakan salah satu rukun yang harus dipenuhi pada saat terjadinya akad nikah, sehingga dalam hal ini perkawinan tanpa adanya dua orang saksi yang menyaksikan pada saat berlangsungnya akad nikah maka pernikahan yang telah dilangsungkan menjadi batal karena salah satu rukun dari pada pernikahan tidak terpenuhi, sehingga akibatnya akan lebih buruk. Apabila hal ini terjadi ada dua belah pihak yang telah melangsungkan akad nikah, maka dua belah pihak tersebut harus mengulangi akad nikah dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Kehadiran saksi pada saat berlangsungnya akad nikah mempunyai maslahat yang sangat besar, karena di dalam peristiwa tersebut sudah jelas bahkan antara dua pihak laki-laki dan perempuan secara langsung dapat diketahui sah atau tidaknya perkawinan yang berlangsung, dan tidak mungkin terjadi kemungkinan antara pihak istri dan pihak suami tentang kebenaran perkawinan yang telah berlangsung serta mempunyai kekuatan hukum yang kuat.
Setelah melihat uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kedudukan dan kehadiran saksi menurut pendapat Imam Syafi’i sangatlah relevan untuk diterapkan pada zaman sekarang, dikarenakan Imam Syafi’i didukung oleh hadits-hadits yang shahih dan kebanyakan penduduk Indonesia menggunakan pendapat Imam syafi’i tersebut yaitu saksi termasuk rukun nikah, tanpa dihadiri oleh saksi nikah atau perkawinan tersebut tidaklah sah. Saksi peranannya sangat vital, karena dalam hal ini kedudukan saksi menjadi kunci, dua orang saksi sangatlah penting. Pertama, ketika terjadi perselisihan antara suami istri dalam hal status perkawinan, maka saksi menjadi orang pertama yang berhak memberi keterangan, karena saksi adalah orang yang menyaksikan secara langsung jalannya pernikahan kedua belah pihak. Kedua, karena sah tidaknya sebuah perkawinan tergantung kepada saksi, oleh karena itu kehadiran saksi dalam akad nikah merupakan keniscayaan.
Dengan dasar ini maka pendapat Imam Syafi’i dalam konteks negara Indonesia sangat relevan, selain itu dasar-dasar penetapan hukum Imam Syafi’i tentang keberadaan saksi sebagai rukun pernikahan dibangun atas landasan sumber hukum yang kuat, yakni hadits-hadits shohih.
Dari hal tersebut pendapat Imam Syafi’i dijadikan pegangan oleh sebagaian masyarakat muslim di Indonesia untuk menjadi dasar tentang saksi perkawinan, dikarenakan menganggap pendapat tersebut paling logis dan paling benar dianatara pendapat-pendapat imam lain.
[1]Al-Imam Abi Abdullah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Juz 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.th, hlm. 23.
[2]Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Bina Iman, Surabaya, t.th, hlm. 102-103.
[3]Ibid.