Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak pidana. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan yang dilarang oleh syara' atau perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya.[1]
Selain itu, sebagian fuqoha' membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Para ahli hukum menerapkannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Akan tetapi, mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.[2]
Perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak (mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik, kehormatan dan ide-ide yang diterima.[3]
Adapun pembagian dan klasifikasi kejahatan dalam hukum pidana Islam yang sering dibahas oleh para ahli hukum Islam adalah:
1. Kejahatan hudud
Yaitu kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam, kejahatan terhadap kepentingan publik. Kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.
Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh, yaitu: riddah (murtad), al-baghi (pemberontakan), zina, qodzaf (tuduhan palsu zina), sariqoh (pencurian), hirabah (perampokan), surb al-khamr (meminum khamar.[4]
2. Kejahatan Qishosh
Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Kejahatan ini dekenal dengan crimes against persons (kejahatan terhadap manusia).
Yang tergolong dalam kejahatan ini adalah pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian.[5]
3. Kejahatan Ta’zir
Landasan dan penentuan hukumnya didasarkan pada ijma’ atau konsensus berkaitan dengan hak negara Muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian atau kerusakan fisik, social, politik, financial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.[6]
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
Jadi hukum pidana Islam memiliki dua karakter sekaligus, yaitu kekokohan dan fleksibilitas. Kekokohan aturan ini dapat dilihat terutama pada dua jenis tindak pidana, yaitu hudud serta qishas dan diyat.[7] Karena kedua jenis tindak pidana tadi merupakan ketetapan dan Qur’an dan Sunnah Nabi, baik norma maupun sanksinya.
Namun bukan berarti hukum pidana Islam tidak mampu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sebab melalui jenis tindak pidana ta’zir, hukum pidana Islam dapat terus berkembang, misalnya untuk menjerat berbagai perbuatan yang terus muncul di masyarakat. Sebagai konsekuensi dari sumber hukumnya, yaitu Qur’an dan Sunnah, maka hukum pidana Islam lebih sesuai dengan rasa keadilan terutama bagi umat Islam. Sehingga hukum Islam memiliki beberapa asas-asas yang diterapkan untuk terwujudnya keadilan hukum.
1. Asas-asas Dalam Hukum Pidana Islam
a. Asas Legalitas
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat kesinambungan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat, menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.[8]
b. Asas Tidak Berlaku Surut
Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Hukum pidana harus berjalan ke depan. Pelanggaran asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Rasulullah saw. tidak menghukum kejahatan karena darah atau perbuatan-perbuatan riba yang terjadi sebelum Islam, tetapi menetapkan larangan tersebut mulai dari turunnya wahyu.
Jadi larangan berlaku berlaku surut adalah salah satu prinsip dasar dari syariat, yaitu tidak ada hukum untuk perbuatan sebelum adanya suatu nash, secara singkat tiada kejahatan dan pidana, kecuali adanya hukum terlebih dahulu.[9]
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut asas ini, semua perbuatan dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.[10]
d. Tidak Sahnya hukuman karena keraguan
Berkaitan dengan asas praduga tak bersalah diatas adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Nash hadits jelas dalam hal ini: “Hindarilah hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum”. Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan.[11]
Keraguan tersebut dapat muncul karena kekurangan bukti-bukti. Hal ini dapat terjadi jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang diancam hukuman hadd dan bukti satu-satunya adalah pengakuannya sendiri. Akan muncul keraguan apabila ia menarik pengakuannya itu.
e. Prinsip Kesamaan di Hadapan Hukum
Prinsip kesamaan (equality before the law) terkandung dalam teori dan filosofi hukum Islam, syariat Islam juga tidak mengakui keistimewaan kepada orang-orang tertentu. Sehingga dimata hukum Islam, semua orang sama tingkatnya.
---------------------------------------------------
[1] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at Dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 39.
[2] Ibid, h. 21.
[3] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 21.
[4] Ibid, h. 39.
[5] Ibid, h. 23.
[6] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 39.
[7] Ibid.
[8] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 11-12.
[9] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 12.
[10] Ibid, h. 14.
[11] Ibid, h. 15.
Selain itu, sebagian fuqoha' membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan syara' yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Para ahli hukum menerapkannya pada setiap perbuatan yang dinyatakan melawan hukum oleh syariat, baik dilakukan terhadap hidup dan hak milik seseorang atau terhadap hal lainnya. Akan tetapi, mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.[2]
Perbuatan yang dinyatakan sebagai kejahatan adalah perbuatan aktif atau pasif yang dapat merusak (mengganggu) terwujudnya ketertiban sosial, keyakinan, kehidupan individu, hak milik, kehormatan dan ide-ide yang diterima.[3]
Adapun pembagian dan klasifikasi kejahatan dalam hukum pidana Islam yang sering dibahas oleh para ahli hukum Islam adalah:
1. Kejahatan hudud
Yaitu kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam, kejahatan terhadap kepentingan publik. Kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah.
Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh, yaitu: riddah (murtad), al-baghi (pemberontakan), zina, qodzaf (tuduhan palsu zina), sariqoh (pencurian), hirabah (perampokan), surb al-khamr (meminum khamar.[4]
2. Kejahatan Qishosh
Sasaran dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Kejahatan ini dekenal dengan crimes against persons (kejahatan terhadap manusia).
Yang tergolong dalam kejahatan ini adalah pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian.[5]
3. Kejahatan Ta’zir
Landasan dan penentuan hukumnya didasarkan pada ijma’ atau konsensus berkaitan dengan hak negara Muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian atau kerusakan fisik, social, politik, financial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.[6]
Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
Jadi hukum pidana Islam memiliki dua karakter sekaligus, yaitu kekokohan dan fleksibilitas. Kekokohan aturan ini dapat dilihat terutama pada dua jenis tindak pidana, yaitu hudud serta qishas dan diyat.[7] Karena kedua jenis tindak pidana tadi merupakan ketetapan dan Qur’an dan Sunnah Nabi, baik norma maupun sanksinya.
Namun bukan berarti hukum pidana Islam tidak mampu berkembang mengikuti perkembangan masyarakat, sebab melalui jenis tindak pidana ta’zir, hukum pidana Islam dapat terus berkembang, misalnya untuk menjerat berbagai perbuatan yang terus muncul di masyarakat. Sebagai konsekuensi dari sumber hukumnya, yaitu Qur’an dan Sunnah, maka hukum pidana Islam lebih sesuai dengan rasa keadilan terutama bagi umat Islam. Sehingga hukum Islam memiliki beberapa asas-asas yang diterapkan untuk terwujudnya keadilan hukum.
1. Asas-asas Dalam Hukum Pidana Islam
a. Asas Legalitas
Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishash dan diyat dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat kesinambungan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat, menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga dan masyarakat melalui kategorisasi kejahatan dan sanksinya.[8]
b. Asas Tidak Berlaku Surut
Asas ini melarang berlakunya hukum pidana ke belakang, kepada perbuatan yang belum ada aturannya. Hukum pidana harus berjalan ke depan. Pelanggaran asas ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Rasulullah saw. tidak menghukum kejahatan karena darah atau perbuatan-perbuatan riba yang terjadi sebelum Islam, tetapi menetapkan larangan tersebut mulai dari turunnya wahyu.
Jadi larangan berlaku berlaku surut adalah salah satu prinsip dasar dari syariat, yaitu tidak ada hukum untuk perbuatan sebelum adanya suatu nash, secara singkat tiada kejahatan dan pidana, kecuali adanya hukum terlebih dahulu.[9]
c. Asas Praduga Tak Bersalah
Menurut asas ini, semua perbuatan dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.[10]
d. Tidak Sahnya hukuman karena keraguan
Berkaitan dengan asas praduga tak bersalah diatas adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Nash hadits jelas dalam hal ini: “Hindarilah hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum”. Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan.[11]
Keraguan tersebut dapat muncul karena kekurangan bukti-bukti. Hal ini dapat terjadi jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang diancam hukuman hadd dan bukti satu-satunya adalah pengakuannya sendiri. Akan muncul keraguan apabila ia menarik pengakuannya itu.
e. Prinsip Kesamaan di Hadapan Hukum
Prinsip kesamaan (equality before the law) terkandung dalam teori dan filosofi hukum Islam, syariat Islam juga tidak mengakui keistimewaan kepada orang-orang tertentu. Sehingga dimata hukum Islam, semua orang sama tingkatnya.
---------------------------------------------------
[1] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at Dalam Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 39.
[2] Ibid, h. 21.
[3] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 21.
[4] Ibid, h. 39.
[5] Ibid, h. 23.
[6] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 39.
[7] Ibid.
[8] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 11-12.
[9] Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, h. 12.
[10] Ibid, h. 14.
[11] Ibid, h. 15.