1. Kelebihan dan kekurangan dari pendapat imam Ala’u Al-Din Al-Kasani
Beliau menetapkan hukum bukan hanya memandang dari fatwa-fatwa sahabat tapi mengkajinya juga dilihat dari (bersandar) pada Al-Qur’an dan Assunah sesuai permasalahan bahwasanya perbedaan di kalangan ulama-ulama pada penetapan hukum tapi juga penetapan masafat juga penetapan tentang dimulainya qashar.
Ini terjadi karena ada beberapa pemahaman yang berbeda yang terjadi di kalangan ulama mengenai ayat yang tertulis di surat An-Nisa’ ayat 101, ada yang mengatakan azimah dan rukhsah sebagaimana ulama Syafi’iyah dan Hanabillah dan sebagian ulama lain terutama imam Ala’u Al-Din Al-Kasani dengan beberapa tendensi yang menguatkan pendapatnya.
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani memberi hukum qashar adalah azimah (kewajiban) sesuai riwayat umil mu’minin yaitu Aisyah yang mengatakan bahwasanya “Rasulullah dalam setiap keluar dari tempat tinggalnya hanya mengerjakan dua rekaat. Berdasar itulah Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menetapkan qashar adalah azimah.
Mengenai masafat ada beberapa pendapat tapi hanya riwayat Syu’bah yang menyebutkan hanya 3 mill atau 1 farsyah. Dan itu kekurangan pendapat Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani yang menetapkan satu hari 5 farsyah yang tidak bisa dicari di hadits manapun.
Kelebihan pendapat Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani adalah ketika beliau menetapkan qashar tidak boleh dilakukan pada qashar yang maksiat. Sementara sebagian ulama Hanafiyah tetap mewajibkan qashar dalam keadaan apapun karena itu adalah azimah.
Dalam menetapkan masyaqat beliau mencari sebab dibolehkannya illat atau sebab masyaqat bisa dikaji dan ditentukan hukumnya bukan karena kepentingan pribadi tapi kesepakatan semua ulama dan demi kemasalahatan.
Tujuan dari pelaksanaan dari qashar diantaranya adalah memberikan keringanan (rukhsah) lantaran ada masyarakat, dalam hal ini mengenai halnya keringanan Allah dalam kebolehan berbuka puasa bagi musafir juga perbuatan lainya. Sesuai hadits riwayat dalam shahih Bukhari.
أنه (رجل من بن عامر) انّى النبى صلىالله عليه وسلم فقال له النبي صلىالله عليه وسلم ان الله وضع عن المسافر الصوم وشعطر الصّلاة. [1]
Artinya : “Seseorang datang pada Nabi kemudian Nabi bersabda padanya: :sesungguhnya Allah telah membebaskan dari musafir. Itu puasa (shaum) dan setengah dari”. (HR Bukhri).
Hadits di atas menunjukkan adanya kemurahan di samping membebeskan dari masaqat dan tidak menunjukkan qashar itu wajib.
Sebagai sebab persilangan pendapat dari kalangan fuqaha karena adanya perbedaan maksud oleh kata safar, karena pengaruh safar dalam hal qashar itu lantaran adanya berbagai kesukaran dalam safar seperti halnya pengaruh safar bagi kewajiban puasa, jika demikian halnya mak berarti qashar itu baru boleh di laksanakan setelah adanya masyaqaqt. Para ulama yang memperhatikan kata safar seperti sebagian ulama Hanafiah termasuk iman Ala’u Al-Din Al-Kasani di perkuat pendapatnya menggunakan sabda Nabi SAW :
انّ الله وضع عن المسافر الصوم وشطرالصلاة . [2]
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan (kewajiban) puasa dan setengah dari musafir”.
Dengan demikian orang yang berstatus musafir dibolehkan mengqashar dan tidak berpuasa. Dengan menggunakan pendapatnya dengan riwayat Muslim dari Umar bin Khatab.
ان النبي صلىالله عليه وسلم كان يقتصر فى نحو السبعة عشر ميلا. [3]
Artinya : “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Mengqashar dalam jarak tempuh sekitar 17 mil”.
Seperti pemulis kemukakan di atas bahwa diantara pendapat-pendapat yang berbeda itu ada perselisihan pendapat tentang berlakunya hukum qashar, hal tersebut bisa terjadi karena adanya bahan kejadian terhadap perbedaan pendapat itu adil. Karena kekuatan hadits yang dipakai sebagai hujjah dari dasar istishab. Hukum mana yang lebih shahih dalam perkawinan seperti alasan ditetapkannya hukum tersebut.
Dari keterangan hadits di atas dapat diambil keterangan bahwa para sahabat bersafar bersama Nabi Muhammad SAW, mereka ada yang mengqasharkan, ada yang menyempurnakan, ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Demikian bunyi hadits menurut Anrawani dalam sarah Muslim tapi ini juga mengetahui dan banyak kontroversi karena sahabat Ustman pernah menyempurnakan nya di Mina karena beliau beranggapan karena mempunyai istri di Mina jadi mengerjakan secara sempurna (tidak mengqasharnya).
Di kalangan ulama lainnya ada juga yang mengatakan hadits-hadits Aisyah ra tidak dapat dijadikan hujjah, karena di tolak oleh ahli-ahli yang terkenal, tapi pendapat ini juga lemah.
Kenyataan bahwasanya menyempurnakan dalam safar lebih utama dengan sendirinya tertolak. Nabi Muhammad SAW terus menerus mengerjakan qashar. Maka dapatlah dipahami bahwa keadaan itu sekurang-kurangnya menunjukkan keutamaannya, tidaklah dapat diterima akal bahwasanya Nabi Muhammad SAW sepanjang hayatnya selalu mengerjakan secara penuh.[4]
Dalam perjalanannya perbedaan pendapat tentang qashar di kalangan ulama bukan karena hukum qashar, masafat dan lamanya bermukim katika dalam perjalanan, tetapi terlebih di sini adalah masalah masyaqat, jika terjadi kepayahan di dalam perjalanan saat sedang safar, apakah tetap mengerjakan secara qashar, atau mengambil rukhsah (keringanan) atau bahkan tidak mengerjakan karena kepayahan. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa cara yaitu mengetahui bagaimana masyaqat dan yang menjadi illat masyaqat dan ini juga mempengaruhi definisi illat itu sendiri.
Bila didefinisikan adalah sifat hukum ashal yang dijadikan dasar hukum dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam berbagai cabang. Diantara yang telah disepakati oleh jumhur ulama Islam yaitu bahwasanya Allah SWT tidak membentuk hukum kecuali untuk kemaslahatan hambanya dan sesungguhnya kemasalahatan itu adakalanya menarik keuntungan bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka.
Maka yang mendorong pembentukan hukum sebagai tujuan syara’ ialah menarik manfaat bagi manusia atau menolak bahaya dari padanya. Inilah motiv pembentukan hukum sebagai tujuan terakhir dari pada yang disebut sebagai hikmah hukum.[5] Seperti diperkenankan berbuka bagi orang yang sakit ketika bulan Ramadlan, hikmahnya ialah menghilangkan masyaqat dari padanya.
Adapun illat hukum yaitu yang nyata dan pasti yang dijadikan dasar hukum dan yang dijadikan hubungan dalam ada dan tidaknya, karena tujuan pembentukan hukum adalah mewujudkan hikmah pembentukan hukum itu sendiri.
Jadi miringkas (qashar) empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musafir hikmahnya ini adalah berupa meringankan dan menolak masyaqat. Hukum ini adalah hal perkiraan yang tidak bisa (pasti) dijadikan dasar hukum dalam ada dan tidaknya. Maka oleh syara’ pergi dianggap sebagai hubungan hukum yaitu hal yang nyata dan pasti dan dijadikannya hubungan hukum adalah tempat dugaan mewujudkan hikmahnya. Oleh karena itu di dalam bepergian itu terdapat kesulitan, maka hikmahnya qashar empat rekaat bagi musafir adalah menghilangkan kesulitan, sedangkan illatnya adalah safat (bepergian).[6]
Atas dasar uraian di atas, maka semua hukum syara’ didasarkan pada illatnya, artinya hubungan dengan wujud ada dan tidaknya bukan atas hikmahnya ini juga berarti bahwa hukum syara’ itu didapati memakai didapati illatnya sekalipun tertinggal hikmahnya, dan lenyaplah hukum itu ketika lenyap illatnya meskipun masih terdapat hikmahnya, karena hikmah itu tersebumbunyi dalam sebagian hukum dan karena tidak ada kepastian, maka tidak menjadi tanda wujud hukum atau ketiadaannya, dan tidak dapat tegak pula ukuran (timbangan) beban manusia (taklif) dan pengamalan hukum itu dihubungkan dengan hikmah.[7]
Jadi dengan demikian pendapat imam Ala’du Al-Din Al-Kasani dalam menetapkan qashar sebagai azimah bukan tidak melihat bila terjadi masyaqat, akan tetapi hukum azimah dengan sendirinya akan dilakukan seseorang imam manakala sedang bepergian (safar) bukan karena adanya masyaqat, tapi karena adanya keterangan bahwasanya seseorang yang sedang dalam keadaan safar diperbolehkan mengurangi jumlah rakaat dalam wajib menjadi dua rakaat terkecuali maghrib dan subuh seperti dalam keadaan jama’.
Seperti hadits yang diriwayatkan imam bin Husain :
روي عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال : ماسفر رسول الله صلىالله عليه وسلم الا وصلى ركعتين الا المغرب ولو كان القصر رخصة والا كمال, هوالعزيمة لما ترك العزيمة الا أحيانا اذاالعزيمة أفصل. [8]
Artinya : “Bahwa pada setiap perjalanan Nabi selalu menjalankan dua rekaat kecuali maghrib. Kalau qashar itu rukhsah sedang ikmal adalah azimah. Sebab Nabi meninggalkannya sesekali waktu. Maka dengan demikian qashar adalah azimah (kewajiban, ketetapan) sesekali Nabi meninggalkan amal-amal yang bernilai fadillah dan menjalankan dispensasi karena ingin memberi pengertian pada umatnya”.
Sesekali memang Rasulullah SAW melakukan secara ikmal di Mekkah, sedang beliau waktu itu musafir karena ada beberapa tendensi yaitu untuk mempergunakan nilai keutamaan di tanah haram (Mekkah) sebab di situ amaliyah-amaliyahnya menjadi berlipat ganda, kedua pada waktu itu beliau sedang berjamaah sedang diantaranya makmumnya ada penduduk ahli Mekkah.[9] Sehingga beliau berinisiatif secara ikmal agar ahli Mekkah tetap mendapatkan keutamaan berjamaah.
Dari apa yang dilakukan Nabi itu cukuplah menjadi hujjah syar’iyah atas nya musafir merupakan azimah yang berdasarkan hadits dan ijma’nya para sahabat. (diriwayatkan ulama Hanafiyah).[10]
Dari semua keterangan yang tertulis dari awal sampai akhir, bahwasanya 2 rakaat yang dilaksanakan oleh musafir pada setiap perjalanannya seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Aisyah, Nasa’i dan sebagian perowinya yang lain yang dikemukakan oleh imam Ala’u Al-Din Al-Kasani serta hadits riwayat Ahmad yang berbunyi :
عن ابن عمر رضىالله عنه قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم انّ الله يحبّ ان تؤتى رخصه كما يحبّ ان تؤتى عزائمه (رواه احمد). [11]
Artinya : “Dari Ibn Umar ra. Berkata “bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah menyukai kita kerjakan segala kelapangan-kelapangannya (hukum-hukum yang dimudahkan) sebagaimanha Dia menyukai kita mengerjakan azimahnya” (HR. Ahmad).
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani dalam memberi batasan qashar sebagai sholat yang dihukum azimah, bukan karena tidak mempertimbangkan keadaan (sewaktu-waktu terjadi masyaqat), tetapi berdasar itu pula beliau menetapkan illat masyaqatnya, seperti para ulama yang menyatakan bahwasanya qashar itu rukhsah juga dengan beberapa kepatutan yang akan dialami dalam masa perjalanan seorang sesuai dengan arti ayat Al-Qur’an “tidak ada dosa bagimu mengqasharkan mu” dari semua pendapat yang menjadikan perbedaan hukum batasaan (masafat) serta batas qashar adalah terletak pada illat masyaqatnya.
Yakni perbedaan hikmah dan illatnya, karena sifat dari illat yang dhohir yaitu bisa didefinitifnya yang sesuai di mana hukum itu pantas disyari’atkan karena sifatnya, atau mencari masalahat (manfaat) di balik disyari’atkannya sebuah hukum (hikmah).
Tapi dalam illat masyaqat tidak bisa dipakai karena tidak bisa didefinisikan, akan tetapi illat bisa dipakai pada kata safar karana bisa didefinisikan “Alhukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa’adman” yang artinya : “Hukum itu beredar berdasar pada illatnya”
Kemudian sebagian ulama yang menyutujui adanya rukhsah, berketetapan bahwasanya menhgerjakan qashar itu setelah terjadinya masyaqat. Dan ini bisa diperoleh melalui sebab-sebab yang dapat menghilangkan masyaqat yang diantaranya “karena takut tidak dapat menyelesaikan dengan sempurna diwaktu menghadapi banyak tugas yang harus dikerjakan untuk diri dan keluarganya, mungkin kalau kita terlalu mementingkan sesuatu pekerjaan akan ketinggalan yang lain”.
Sesungguhnya segala amalan kita mengikuti niat kita yang melakukannya dan sesungguhnya maksud-maksud kita atau tujuan-tujuan kita dalam mengerjakan hukum, sangatlah diperhatikan syara’ baik dalam ibadah maupun dalam adat (muamalah) maksud kita dalam mengerjakan ibadah, yaitu membedakan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib. Dan bila menghadapi adat ialah membedakan antara yang wajib dengan yang mandub, mubah dan makruh dan dengan yang haram.
Sesuatu amal apabila berpautan dengan sesuatu tujuan, maka ia menjadi hukum taklifi, tetapi bila kosong dari tujuan, maka tidaklah ia menjadi hukum taklifi. Dalam menghadapi hal ini janganlah orang-orang selalu mengatakan diperhatikan, karena diantara pekerjaan-pekerjaan mukallaf (seorang) memang harus ada yang dipaksanakan dalam mengerjakannya, maka tentulah orang terpaksa itulah yang mengerjakan perbuatan, bukan karena mengikuti perintah syara’ karena dipaksa untuk melakukan siksaan yang dijatuhkan atas dirinya.
Tujuan mukallaf bukanlah suatu keharusan pada setiap perbuatan hanya ia harus ada pada masalah ibdah yang dikerjakanh atas nama ibadah. Karena segala perbuatan ibadah yang masuk ke dalam ikhtiar kita (manusia) tidak dipandang menjadi ibadah tanpa ada tujuan si mukallaf.
Syara’ menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan hamba. Dan yang dituntut dari seorang mukallaf supaya berjalan atas maksud syara’ dalam segala perbuatannya jangan ia menyalahi maksud syara’ para mukallaf diciptakan untuk menyembah Allah, maka hendaklah ia mengerjakan sesuatu sesuai dengan maksud syara’ dalam hal menetapkan hukum.
Sementara tujuan pokok dari syara’ adalah memelihara segala dharuriat dan memelihara segala dharuriat dan memelihara segala yang kembali kepada dharuriyat yaitu hajiat dan tahsiriyat dan inilah yang ditaklifi hamba. Oleh karena itu haruslah tujuan si hamba kepada yang demikian itu jika tidak tentulah dia tidak memelihara maksud syara’ mereka dibebani dharuriyat itu dengan jalan mengerjakan sebab-sebab yang lahir yang Allah telah gariskan dalam hukum syara’ dan Allah telah memberikan kepadanya akal untuk memahami hukum-hukum itu. Rasulullah SAW bersabda :
كلكم راع وكلّكم مسئول عن رعيّته (رواه البخارى مسلم). [12]
Artinya : “Semua kamu menggembala dan akan ditanyakan tentang penggembalaannya”. (HR. Bukhari Muslim).
Dan firman Allah SWT yang berbunyi :
ويستخلفكم في الارض فينظر كيف تعملون (الاعراف : 125)
Artinya : “Allah menjadikanmu khalifah dan Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu”. (QS. Al-A’raf : 125).[13]
Dari situlah para ulama berbeda dalam menetapkan landasan hukum mana yang harus dipakai untuk dapat melaksanakan ketentuan hukum yang di dapat mereka berbeda-beda, tetapi walau demikian pendapat dan ketetapan mereka dapat dipertanggung jawabkan tidak melenceng dari syara’ dan tidak juga menggampangkannya (meringankan) dari perbuatan sulit menjadi mudah dilaksanakan, akan tetapi berdasar pemahaman yang diyakini agar bisa menjadi suatu patokan dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an supaya dapat diterapkan di dalam hukum tanpa dibedakan pendapat mana yang lebih rajin sebab pada dasarnya pemahaman seseorang yang satu dengan lainnya tidak sama sesuai dengan keadaan dan masa itu sendiri.
[1]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz.1, CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1990, hlm. 351-152.
[2]Ibid, hlm. 354.
[3]Ibid, hlm. 355.
[4]Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Syaukani Al-Mutawaffa’, Nailul Authar, Juz III, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 244-251.
[5]Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 96.
[6]Ibid, hlm. 98.
[7]Ibid, hlm. 99.
[8]Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani, Op.cit, hlm. 138.
[9]Ibid, hlm. 138-139.
[10]Ibid.
[11]Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Op.cit, hlm. 359.
[12]Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 255.
[13]Al-Qur’an, Al-A’raf Ayat 125, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 240.
Beliau menetapkan hukum bukan hanya memandang dari fatwa-fatwa sahabat tapi mengkajinya juga dilihat dari (bersandar) pada Al-Qur’an dan Assunah sesuai permasalahan bahwasanya perbedaan di kalangan ulama-ulama pada penetapan hukum tapi juga penetapan masafat juga penetapan tentang dimulainya qashar.
Ini terjadi karena ada beberapa pemahaman yang berbeda yang terjadi di kalangan ulama mengenai ayat yang tertulis di surat An-Nisa’ ayat 101, ada yang mengatakan azimah dan rukhsah sebagaimana ulama Syafi’iyah dan Hanabillah dan sebagian ulama lain terutama imam Ala’u Al-Din Al-Kasani dengan beberapa tendensi yang menguatkan pendapatnya.
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani memberi hukum qashar adalah azimah (kewajiban) sesuai riwayat umil mu’minin yaitu Aisyah yang mengatakan bahwasanya “Rasulullah dalam setiap keluar dari tempat tinggalnya hanya mengerjakan dua rekaat. Berdasar itulah Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menetapkan qashar adalah azimah.
Mengenai masafat ada beberapa pendapat tapi hanya riwayat Syu’bah yang menyebutkan hanya 3 mill atau 1 farsyah. Dan itu kekurangan pendapat Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani yang menetapkan satu hari 5 farsyah yang tidak bisa dicari di hadits manapun.
Kelebihan pendapat Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani adalah ketika beliau menetapkan qashar tidak boleh dilakukan pada qashar yang maksiat. Sementara sebagian ulama Hanafiyah tetap mewajibkan qashar dalam keadaan apapun karena itu adalah azimah.
Dalam menetapkan masyaqat beliau mencari sebab dibolehkannya illat atau sebab masyaqat bisa dikaji dan ditentukan hukumnya bukan karena kepentingan pribadi tapi kesepakatan semua ulama dan demi kemasalahatan.
Tujuan dari pelaksanaan dari qashar diantaranya adalah memberikan keringanan (rukhsah) lantaran ada masyarakat, dalam hal ini mengenai halnya keringanan Allah dalam kebolehan berbuka puasa bagi musafir juga perbuatan lainya. Sesuai hadits riwayat dalam shahih Bukhari.
أنه (رجل من بن عامر) انّى النبى صلىالله عليه وسلم فقال له النبي صلىالله عليه وسلم ان الله وضع عن المسافر الصوم وشعطر الصّلاة. [1]
Artinya : “Seseorang datang pada Nabi kemudian Nabi bersabda padanya: :sesungguhnya Allah telah membebaskan dari musafir. Itu puasa (shaum) dan setengah dari”. (HR Bukhri).
Hadits di atas menunjukkan adanya kemurahan di samping membebeskan dari masaqat dan tidak menunjukkan qashar itu wajib.
Sebagai sebab persilangan pendapat dari kalangan fuqaha karena adanya perbedaan maksud oleh kata safar, karena pengaruh safar dalam hal qashar itu lantaran adanya berbagai kesukaran dalam safar seperti halnya pengaruh safar bagi kewajiban puasa, jika demikian halnya mak berarti qashar itu baru boleh di laksanakan setelah adanya masyaqaqt. Para ulama yang memperhatikan kata safar seperti sebagian ulama Hanafiah termasuk iman Ala’u Al-Din Al-Kasani di perkuat pendapatnya menggunakan sabda Nabi SAW :
انّ الله وضع عن المسافر الصوم وشطرالصلاة . [2]
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah menghilangkan (kewajiban) puasa dan setengah dari musafir”.
Dengan demikian orang yang berstatus musafir dibolehkan mengqashar dan tidak berpuasa. Dengan menggunakan pendapatnya dengan riwayat Muslim dari Umar bin Khatab.
ان النبي صلىالله عليه وسلم كان يقتصر فى نحو السبعة عشر ميلا. [3]
Artinya : “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Mengqashar dalam jarak tempuh sekitar 17 mil”.
Seperti pemulis kemukakan di atas bahwa diantara pendapat-pendapat yang berbeda itu ada perselisihan pendapat tentang berlakunya hukum qashar, hal tersebut bisa terjadi karena adanya bahan kejadian terhadap perbedaan pendapat itu adil. Karena kekuatan hadits yang dipakai sebagai hujjah dari dasar istishab. Hukum mana yang lebih shahih dalam perkawinan seperti alasan ditetapkannya hukum tersebut.
Dari keterangan hadits di atas dapat diambil keterangan bahwa para sahabat bersafar bersama Nabi Muhammad SAW, mereka ada yang mengqasharkan, ada yang menyempurnakan, ada yang berpuasa dan ada yang berbuka. Demikian bunyi hadits menurut Anrawani dalam sarah Muslim tapi ini juga mengetahui dan banyak kontroversi karena sahabat Ustman pernah menyempurnakan nya di Mina karena beliau beranggapan karena mempunyai istri di Mina jadi mengerjakan secara sempurna (tidak mengqasharnya).
Di kalangan ulama lainnya ada juga yang mengatakan hadits-hadits Aisyah ra tidak dapat dijadikan hujjah, karena di tolak oleh ahli-ahli yang terkenal, tapi pendapat ini juga lemah.
Kenyataan bahwasanya menyempurnakan dalam safar lebih utama dengan sendirinya tertolak. Nabi Muhammad SAW terus menerus mengerjakan qashar. Maka dapatlah dipahami bahwa keadaan itu sekurang-kurangnya menunjukkan keutamaannya, tidaklah dapat diterima akal bahwasanya Nabi Muhammad SAW sepanjang hayatnya selalu mengerjakan secara penuh.[4]
Dalam perjalanannya perbedaan pendapat tentang qashar di kalangan ulama bukan karena hukum qashar, masafat dan lamanya bermukim katika dalam perjalanan, tetapi terlebih di sini adalah masalah masyaqat, jika terjadi kepayahan di dalam perjalanan saat sedang safar, apakah tetap mengerjakan secara qashar, atau mengambil rukhsah (keringanan) atau bahkan tidak mengerjakan karena kepayahan. Hal ini dapat dilihat dengan beberapa cara yaitu mengetahui bagaimana masyaqat dan yang menjadi illat masyaqat dan ini juga mempengaruhi definisi illat itu sendiri.
Bila didefinisikan adalah sifat hukum ashal yang dijadikan dasar hukum dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam berbagai cabang. Diantara yang telah disepakati oleh jumhur ulama Islam yaitu bahwasanya Allah SWT tidak membentuk hukum kecuali untuk kemaslahatan hambanya dan sesungguhnya kemasalahatan itu adakalanya menarik keuntungan bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka.
Maka yang mendorong pembentukan hukum sebagai tujuan syara’ ialah menarik manfaat bagi manusia atau menolak bahaya dari padanya. Inilah motiv pembentukan hukum sebagai tujuan terakhir dari pada yang disebut sebagai hikmah hukum.[5] Seperti diperkenankan berbuka bagi orang yang sakit ketika bulan Ramadlan, hikmahnya ialah menghilangkan masyaqat dari padanya.
Adapun illat hukum yaitu yang nyata dan pasti yang dijadikan dasar hukum dan yang dijadikan hubungan dalam ada dan tidaknya, karena tujuan pembentukan hukum adalah mewujudkan hikmah pembentukan hukum itu sendiri.
Jadi miringkas (qashar) empat rakaat menjadi dua rakaat bagi musafir hikmahnya ini adalah berupa meringankan dan menolak masyaqat. Hukum ini adalah hal perkiraan yang tidak bisa (pasti) dijadikan dasar hukum dalam ada dan tidaknya. Maka oleh syara’ pergi dianggap sebagai hubungan hukum yaitu hal yang nyata dan pasti dan dijadikannya hubungan hukum adalah tempat dugaan mewujudkan hikmahnya. Oleh karena itu di dalam bepergian itu terdapat kesulitan, maka hikmahnya qashar empat rekaat bagi musafir adalah menghilangkan kesulitan, sedangkan illatnya adalah safat (bepergian).[6]
Atas dasar uraian di atas, maka semua hukum syara’ didasarkan pada illatnya, artinya hubungan dengan wujud ada dan tidaknya bukan atas hikmahnya ini juga berarti bahwa hukum syara’ itu didapati memakai didapati illatnya sekalipun tertinggal hikmahnya, dan lenyaplah hukum itu ketika lenyap illatnya meskipun masih terdapat hikmahnya, karena hikmah itu tersebumbunyi dalam sebagian hukum dan karena tidak ada kepastian, maka tidak menjadi tanda wujud hukum atau ketiadaannya, dan tidak dapat tegak pula ukuran (timbangan) beban manusia (taklif) dan pengamalan hukum itu dihubungkan dengan hikmah.[7]
Jadi dengan demikian pendapat imam Ala’du Al-Din Al-Kasani dalam menetapkan qashar sebagai azimah bukan tidak melihat bila terjadi masyaqat, akan tetapi hukum azimah dengan sendirinya akan dilakukan seseorang imam manakala sedang bepergian (safar) bukan karena adanya masyaqat, tapi karena adanya keterangan bahwasanya seseorang yang sedang dalam keadaan safar diperbolehkan mengurangi jumlah rakaat dalam wajib menjadi dua rakaat terkecuali maghrib dan subuh seperti dalam keadaan jama’.
Seperti hadits yang diriwayatkan imam bin Husain :
روي عن عمران بن حصين رضي الله عنه قال : ماسفر رسول الله صلىالله عليه وسلم الا وصلى ركعتين الا المغرب ولو كان القصر رخصة والا كمال, هوالعزيمة لما ترك العزيمة الا أحيانا اذاالعزيمة أفصل. [8]
Artinya : “Bahwa pada setiap perjalanan Nabi selalu menjalankan dua rekaat kecuali maghrib. Kalau qashar itu rukhsah sedang ikmal adalah azimah. Sebab Nabi meninggalkannya sesekali waktu. Maka dengan demikian qashar adalah azimah (kewajiban, ketetapan) sesekali Nabi meninggalkan amal-amal yang bernilai fadillah dan menjalankan dispensasi karena ingin memberi pengertian pada umatnya”.
Sesekali memang Rasulullah SAW melakukan secara ikmal di Mekkah, sedang beliau waktu itu musafir karena ada beberapa tendensi yaitu untuk mempergunakan nilai keutamaan di tanah haram (Mekkah) sebab di situ amaliyah-amaliyahnya menjadi berlipat ganda, kedua pada waktu itu beliau sedang berjamaah sedang diantaranya makmumnya ada penduduk ahli Mekkah.[9] Sehingga beliau berinisiatif secara ikmal agar ahli Mekkah tetap mendapatkan keutamaan berjamaah.
Dari apa yang dilakukan Nabi itu cukuplah menjadi hujjah syar’iyah atas nya musafir merupakan azimah yang berdasarkan hadits dan ijma’nya para sahabat. (diriwayatkan ulama Hanafiyah).[10]
Dari semua keterangan yang tertulis dari awal sampai akhir, bahwasanya 2 rakaat yang dilaksanakan oleh musafir pada setiap perjalanannya seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Aisyah, Nasa’i dan sebagian perowinya yang lain yang dikemukakan oleh imam Ala’u Al-Din Al-Kasani serta hadits riwayat Ahmad yang berbunyi :
عن ابن عمر رضىالله عنه قال : قال رسول الله صلىالله عليه وسلم انّ الله يحبّ ان تؤتى رخصه كما يحبّ ان تؤتى عزائمه (رواه احمد). [11]
Artinya : “Dari Ibn Umar ra. Berkata “bersabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah menyukai kita kerjakan segala kelapangan-kelapangannya (hukum-hukum yang dimudahkan) sebagaimanha Dia menyukai kita mengerjakan azimahnya” (HR. Ahmad).
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani dalam memberi batasan qashar sebagai sholat yang dihukum azimah, bukan karena tidak mempertimbangkan keadaan (sewaktu-waktu terjadi masyaqat), tetapi berdasar itu pula beliau menetapkan illat masyaqatnya, seperti para ulama yang menyatakan bahwasanya qashar itu rukhsah juga dengan beberapa kepatutan yang akan dialami dalam masa perjalanan seorang sesuai dengan arti ayat Al-Qur’an “tidak ada dosa bagimu mengqasharkan mu” dari semua pendapat yang menjadikan perbedaan hukum batasaan (masafat) serta batas qashar adalah terletak pada illat masyaqatnya.
Yakni perbedaan hikmah dan illatnya, karena sifat dari illat yang dhohir yaitu bisa didefinitifnya yang sesuai di mana hukum itu pantas disyari’atkan karena sifatnya, atau mencari masalahat (manfaat) di balik disyari’atkannya sebuah hukum (hikmah).
Tapi dalam illat masyaqat tidak bisa dipakai karena tidak bisa didefinisikan, akan tetapi illat bisa dipakai pada kata safar karana bisa didefinisikan “Alhukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa’adman” yang artinya : “Hukum itu beredar berdasar pada illatnya”
Kemudian sebagian ulama yang menyutujui adanya rukhsah, berketetapan bahwasanya menhgerjakan qashar itu setelah terjadinya masyaqat. Dan ini bisa diperoleh melalui sebab-sebab yang dapat menghilangkan masyaqat yang diantaranya “karena takut tidak dapat menyelesaikan dengan sempurna diwaktu menghadapi banyak tugas yang harus dikerjakan untuk diri dan keluarganya, mungkin kalau kita terlalu mementingkan sesuatu pekerjaan akan ketinggalan yang lain”.
Sesungguhnya segala amalan kita mengikuti niat kita yang melakukannya dan sesungguhnya maksud-maksud kita atau tujuan-tujuan kita dalam mengerjakan hukum, sangatlah diperhatikan syara’ baik dalam ibadah maupun dalam adat (muamalah) maksud kita dalam mengerjakan ibadah, yaitu membedakan mana yang wajib dan mana yang tidak wajib. Dan bila menghadapi adat ialah membedakan antara yang wajib dengan yang mandub, mubah dan makruh dan dengan yang haram.
Sesuatu amal apabila berpautan dengan sesuatu tujuan, maka ia menjadi hukum taklifi, tetapi bila kosong dari tujuan, maka tidaklah ia menjadi hukum taklifi. Dalam menghadapi hal ini janganlah orang-orang selalu mengatakan diperhatikan, karena diantara pekerjaan-pekerjaan mukallaf (seorang) memang harus ada yang dipaksanakan dalam mengerjakannya, maka tentulah orang terpaksa itulah yang mengerjakan perbuatan, bukan karena mengikuti perintah syara’ karena dipaksa untuk melakukan siksaan yang dijatuhkan atas dirinya.
Tujuan mukallaf bukanlah suatu keharusan pada setiap perbuatan hanya ia harus ada pada masalah ibdah yang dikerjakanh atas nama ibadah. Karena segala perbuatan ibadah yang masuk ke dalam ikhtiar kita (manusia) tidak dipandang menjadi ibadah tanpa ada tujuan si mukallaf.
Syara’ menetapkan hukum adalah untuk kemaslahatan hamba. Dan yang dituntut dari seorang mukallaf supaya berjalan atas maksud syara’ dalam segala perbuatannya jangan ia menyalahi maksud syara’ para mukallaf diciptakan untuk menyembah Allah, maka hendaklah ia mengerjakan sesuatu sesuai dengan maksud syara’ dalam hal menetapkan hukum.
Sementara tujuan pokok dari syara’ adalah memelihara segala dharuriat dan memelihara segala dharuriat dan memelihara segala yang kembali kepada dharuriyat yaitu hajiat dan tahsiriyat dan inilah yang ditaklifi hamba. Oleh karena itu haruslah tujuan si hamba kepada yang demikian itu jika tidak tentulah dia tidak memelihara maksud syara’ mereka dibebani dharuriyat itu dengan jalan mengerjakan sebab-sebab yang lahir yang Allah telah gariskan dalam hukum syara’ dan Allah telah memberikan kepadanya akal untuk memahami hukum-hukum itu. Rasulullah SAW bersabda :
كلكم راع وكلّكم مسئول عن رعيّته (رواه البخارى مسلم). [12]
Artinya : “Semua kamu menggembala dan akan ditanyakan tentang penggembalaannya”. (HR. Bukhari Muslim).
Dan firman Allah SWT yang berbunyi :
ويستخلفكم في الارض فينظر كيف تعملون (الاعراف : 125)
Artinya : “Allah menjadikanmu khalifah dan Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu”. (QS. Al-A’raf : 125).[13]
Dari situlah para ulama berbeda dalam menetapkan landasan hukum mana yang harus dipakai untuk dapat melaksanakan ketentuan hukum yang di dapat mereka berbeda-beda, tetapi walau demikian pendapat dan ketetapan mereka dapat dipertanggung jawabkan tidak melenceng dari syara’ dan tidak juga menggampangkannya (meringankan) dari perbuatan sulit menjadi mudah dilaksanakan, akan tetapi berdasar pemahaman yang diyakini agar bisa menjadi suatu patokan dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an supaya dapat diterapkan di dalam hukum tanpa dibedakan pendapat mana yang lebih rajin sebab pada dasarnya pemahaman seseorang yang satu dengan lainnya tidak sama sesuai dengan keadaan dan masa itu sendiri.
[1]Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz.1, CV. Asy-Syifa’, Semarang, 1990, hlm. 351-152.
[2]Ibid, hlm. 354.
[3]Ibid, hlm. 355.
[4]Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Syaukani Al-Mutawaffa’, Nailul Authar, Juz III, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 244-251.
[5]Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 96.
[6]Ibid, hlm. 98.
[7]Ibid, hlm. 99.
[8]Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani, Op.cit, hlm. 138.
[9]Ibid, hlm. 138-139.
[10]Ibid.
[11]Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Op.cit, hlm. 359.
[12]Muhammad Hasbi Ash-Shidiqi, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 255.
[13]Al-Qur’an, Al-A’raf Ayat 125, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 240.