Diantara pendapat imam Ala’u Al-Din Al-Kasani yang berbeda tersebut dibutuhkan suatu ketetapan hukum manakah yang harus dipakai dalam menjawab suatu permasalahan yang terjadi diantara pera ulama tentang hukum qoshar apakah rukhsah atau azimah yang dipengaruhi adanya sumber hukum azazi (mutlak dari sumber) Al-Qur'an dan sunnah Rasul baik kedudukan suatu hadits maupun sanadnya yang menyangkut keabsahan periwayatannya.
Hal tersebut penulis anggap ajaran hakikatnya pemahaman dan pemaknaan tentang peringatan hadits ditentukan dari situasi dan keadaan masyarakat yang menjadi subyek dan sangat berpegang pada hadits dan berfikir rasional, sehingga problem yang terjadi di masyarakat diatasi dengan petunjuk dari Al-Qur'an dan Hadits serta dengan musyawarah dan kesepakatan bersama yang antara tokoh-tokoh (ulama-ulama) yang hidup dimasa itu.[1]
Untuk mencari jawaban di atas penulis juga mencoba membahas otoritas hadits yang dipakai sebagai sandaran sumber hukum yang dapat yang dapat dijadikan hujjah dan tidak menyimpang dengan pernyataan imam Ala’u Al-Din Al-Kasani yang menyatakan bahwa qashar itu adalah azimah (wajib) berpijak pada Al-Qur'an surat An-Nisa’ ayat 101 dan sesuai hadits yang diriwayatkan oleh umil mukminin Aisyah ra dan juga hadits Harits bin Wahab Al-Khuzai berkata :حد يث حارثه بن وهب الحزعب رضي الله عنه قال صلى بناالنبىّ صلىالله عليه وسلم, ونحن اكثر ما كنّا قطّ وامته بمنى ركعتين.
Artinya : “Harits bin Wahab Al-Khuzai ra. berkata : Nabi Muhammad Saw. Telah bersama kami dimana sedang kami dalam keadaan aman hanya dua rekaat (yakni Qoshar)”. (HR.Bukhari-Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa pelaksanaan qashar tidak terbatas pada waktu (keadaan) dalam bahaya tetapi juga waktu aman (tidak dalam bahaya) dan ini dilaksanakan pada saat dalam safar (bepergian). Hadits-hadits di atas membuktikan bahwasanya qashar dikakukan pada saat bepergian yang menimbulkan keadaaan yang tidak dapat ditentukan kapan kembali dari bepergian.
Dalam hal ini sebenarnya adalah bermula dari permasalahan pemaknaan ayat yang tertuang dalam surat An-Nisa’ 101 yaitu “Laisu Alaikum junatun an naqshuru minash i” yang artinya “tak ada dosa baginmu mengqashorkan sholatmu”. Bagi ulama yang menganggap rukhsah (keringanan dan tidak mewajibkan mengerjakan qashar dengan catatan itu tammam (sempurna empat rekaat) Sementara dari pihak yang mewaajibkan memberi argumentasi bahwa ayat ini mengenai qashar dikala pelaksanaan khauf dan ayat ini berkemudian dari adanya aturan mengqasharkan bilangan rakaat.
Kemudian Ibnu Qayyim dalam “Zadul Ma’ad” berkata ayat di atas menghendaki qashar yang melengkapi qashar dengan meringankannya dan dan melengkapi qashar bilangan rakaat dengan mengurangai dua rekaat. Qashar ini berkaitan keadaan safar atau keadaan khauf.[2]
Sementara imam Ala’u Al-Din Al-Kasani berpendapat wajib dengan beberapa tendensi bahwasanya hadits Aisyah ra yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim jelas bahwa safar difardhukan dua-dua rekaat terkecuali Magrib dan Subuh yang tidak boleh diqasharkan, dengan demikian tidaklah boleh ditambah sebagaimana tidak boleh menambah terhadap empat rekaat di dalam hadhar.
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menganggap dispensasi (rukhsah) merupakan penyebaran atas atas berubahnya atas hukum asal karena adanya suatu alasan yang menuntut perubahan itu yaitu dari yang semula berat menjadi ringan dalam mengerjakannya (mencari alat hukum dan penyebab di ringankannya suatu perbuatan).
Sebagaimana ketentuan dalam ushul fiqh sedangkan dua rekaat bagi musafir, tidak dikemukakan adanya perubahan hukum sebab pada dasarnya sebagaimana disyaratkan memang terdiri atas dua rekaat bagi penduduk atau orang yang menetap sekaligus tetap berlaku bagi para musafir, hanya saja ada pembaharuan rekaat bagi para muqimin yang semula dua rekaat menjadi empat rekaat.[3]
Tidak ditemukannya makna perubahan bagi para muqimin sebenarnya kurang tepat, tetapi perubahan itu bermula pada pemberatan jumlah rekaat bagi para muqimin bukan menggampangkan, kemudian mengenai rukhsah bagi sebagian ulama’ Hanafiah mengatakan mengembalikan pada pemahaman karena bagi mereka (ulama) Hanafiah kata rukhsah berarti (kiasan makna majazi) (lafal) yaitu “berubah”.[4]
Iman Ala’u Al-Din Al-Kasani mengatakan wajib qashar dalam perjalanan safar (bepergian) bukan tidak memperhatikan saat orang dalam keadaan payah (terjadi masaqat) tapi masaqat bagi imam Ala’u Al-Din Al-Kasani adalah penyebutan atas perubahannya suatu hukum karena ada alasan yang membuat perubahan itu menjadi berat dilaksanakan dengan alasan perbuatan itu memberatkan suatu orang (kesepakatan banyak orang) bukan berat itu dilaksanakan oleh pribadi (individu) yang mengalaminya, karena sesungguhnya Allah tidak memberikan suatu yang berat terkecuali sesuai dengan kemampuan umatnya. Sesuai dengan firman Allah yang tertuang dalan surat Al- Baqarah ayat 286 yang berbunyi :
لا يكلّف الله نفسا الاّ وسعها لهاماكسبت وعليهامااكتسبت ربّنا لا تؤا خذ نا ان نّسينااواخطأنا ربّنا ولا تحمل علينا اصراكما حملته علىالذ ين من قبلنا ربّنا ولا تحمّلنا مالا طا قة لنابه وعف عنّا واغفرلنا وارحمنا انت مولنا فانصرنا على القوم الكفرين (البقرة : 286)
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatannya yang dikerjakannya mereka berdo’a “Ya Tuhan kami janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau salah, Ya Tuhan kami janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami, Ya Tuhan kami jangan engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampuni kami dan rahmatilah kami, engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 286).[5]
Hal tersebut penulis anggap ajaran hakikatnya pemahaman dan pemaknaan tentang peringatan hadits ditentukan dari situasi dan keadaan masyarakat yang menjadi subyek dan sangat berpegang pada hadits dan berfikir rasional, sehingga problem yang terjadi di masyarakat diatasi dengan petunjuk dari Al-Qur'an dan Hadits serta dengan musyawarah dan kesepakatan bersama yang antara tokoh-tokoh (ulama-ulama) yang hidup dimasa itu.[1]
Untuk mencari jawaban di atas penulis juga mencoba membahas otoritas hadits yang dipakai sebagai sandaran sumber hukum yang dapat yang dapat dijadikan hujjah dan tidak menyimpang dengan pernyataan imam Ala’u Al-Din Al-Kasani yang menyatakan bahwa qashar itu adalah azimah (wajib) berpijak pada Al-Qur'an surat An-Nisa’ ayat 101 dan sesuai hadits yang diriwayatkan oleh umil mukminin Aisyah ra dan juga hadits Harits bin Wahab Al-Khuzai berkata :حد يث حارثه بن وهب الحزعب رضي الله عنه قال صلى بناالنبىّ صلىالله عليه وسلم, ونحن اكثر ما كنّا قطّ وامته بمنى ركعتين.
Artinya : “Harits bin Wahab Al-Khuzai ra. berkata : Nabi Muhammad Saw. Telah bersama kami dimana sedang kami dalam keadaan aman hanya dua rekaat (yakni Qoshar)”. (HR.Bukhari-Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa pelaksanaan qashar tidak terbatas pada waktu (keadaan) dalam bahaya tetapi juga waktu aman (tidak dalam bahaya) dan ini dilaksanakan pada saat dalam safar (bepergian). Hadits-hadits di atas membuktikan bahwasanya qashar dikakukan pada saat bepergian yang menimbulkan keadaaan yang tidak dapat ditentukan kapan kembali dari bepergian.
Dalam hal ini sebenarnya adalah bermula dari permasalahan pemaknaan ayat yang tertuang dalam surat An-Nisa’ 101 yaitu “Laisu Alaikum junatun an naqshuru minash i” yang artinya “tak ada dosa baginmu mengqashorkan sholatmu”. Bagi ulama yang menganggap rukhsah (keringanan dan tidak mewajibkan mengerjakan qashar dengan catatan itu tammam (sempurna empat rekaat) Sementara dari pihak yang mewaajibkan memberi argumentasi bahwa ayat ini mengenai qashar dikala pelaksanaan khauf dan ayat ini berkemudian dari adanya aturan mengqasharkan bilangan rakaat.
Kemudian Ibnu Qayyim dalam “Zadul Ma’ad” berkata ayat di atas menghendaki qashar yang melengkapi qashar dengan meringankannya dan dan melengkapi qashar bilangan rakaat dengan mengurangai dua rekaat. Qashar ini berkaitan keadaan safar atau keadaan khauf.[2]
Sementara imam Ala’u Al-Din Al-Kasani berpendapat wajib dengan beberapa tendensi bahwasanya hadits Aisyah ra yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim jelas bahwa safar difardhukan dua-dua rekaat terkecuali Magrib dan Subuh yang tidak boleh diqasharkan, dengan demikian tidaklah boleh ditambah sebagaimana tidak boleh menambah terhadap empat rekaat di dalam hadhar.
Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menganggap dispensasi (rukhsah) merupakan penyebaran atas atas berubahnya atas hukum asal karena adanya suatu alasan yang menuntut perubahan itu yaitu dari yang semula berat menjadi ringan dalam mengerjakannya (mencari alat hukum dan penyebab di ringankannya suatu perbuatan).
Sebagaimana ketentuan dalam ushul fiqh sedangkan dua rekaat bagi musafir, tidak dikemukakan adanya perubahan hukum sebab pada dasarnya sebagaimana disyaratkan memang terdiri atas dua rekaat bagi penduduk atau orang yang menetap sekaligus tetap berlaku bagi para musafir, hanya saja ada pembaharuan rekaat bagi para muqimin yang semula dua rekaat menjadi empat rekaat.[3]
Tidak ditemukannya makna perubahan bagi para muqimin sebenarnya kurang tepat, tetapi perubahan itu bermula pada pemberatan jumlah rekaat bagi para muqimin bukan menggampangkan, kemudian mengenai rukhsah bagi sebagian ulama’ Hanafiah mengatakan mengembalikan pada pemahaman karena bagi mereka (ulama) Hanafiah kata rukhsah berarti (kiasan makna majazi) (lafal) yaitu “berubah”.[4]
Iman Ala’u Al-Din Al-Kasani mengatakan wajib qashar dalam perjalanan safar (bepergian) bukan tidak memperhatikan saat orang dalam keadaan payah (terjadi masaqat) tapi masaqat bagi imam Ala’u Al-Din Al-Kasani adalah penyebutan atas perubahannya suatu hukum karena ada alasan yang membuat perubahan itu menjadi berat dilaksanakan dengan alasan perbuatan itu memberatkan suatu orang (kesepakatan banyak orang) bukan berat itu dilaksanakan oleh pribadi (individu) yang mengalaminya, karena sesungguhnya Allah tidak memberikan suatu yang berat terkecuali sesuai dengan kemampuan umatnya. Sesuai dengan firman Allah yang tertuang dalan surat Al- Baqarah ayat 286 yang berbunyi :
لا يكلّف الله نفسا الاّ وسعها لهاماكسبت وعليهامااكتسبت ربّنا لا تؤا خذ نا ان نّسينااواخطأنا ربّنا ولا تحمل علينا اصراكما حملته علىالذ ين من قبلنا ربّنا ولا تحمّلنا مالا طا قة لنابه وعف عنّا واغفرلنا وارحمنا انت مولنا فانصرنا على القوم الكفرين (البقرة : 286)
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatannya yang dikerjakannya mereka berdo’a “Ya Tuhan kami janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau salah, Ya Tuhan kami janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami, Ya Tuhan kami jangan engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampuni kami dan rahmatilah kami, engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah : 286).[5]
Mengenai “mesafatul qshar” imam Ala’u Al-Din Al-Kasani menetapkan masafatnya 15 farsakh dngan ketentuan setiap sehari lima farskh, akan tetapi pendapat ini tidaklah bisa dikatakan sempurna sebab sebagian ulama tidak pernah menemukan berupa lama (jarak) yang diperbolehkan mengqashar dalam hadits riwayat Nabi atau yang diriwayatkan para sahabat tidak ditentukan secara jelas tentang masafatul qashar dan menegaskan segala perjalanan yang dipandang safar baik singkat maupun lama.
[1]Tamar Djaja, Hayat Perjuangan Empat Madzhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali), CV. Ramadani, Solo, 1989, hlm. 130.
[2]Muhammad Hasbi As-Shidiqi, Koleksi Hadits Hukum, Cet. V, Maganta Bhakti Guna, Jakarta, 1994, hlm. 363.
[3]Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani, Badaai Al-Shanaai, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, 1996, hlm. 138.
[4]Ibid, hlm. 139.
[5]Al-Qur’an, Al-Baqarah Ayat 286, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 72.
[1]Tamar Djaja, Hayat Perjuangan Empat Madzhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali), CV. Ramadani, Solo, 1989, hlm. 130.
[2]Muhammad Hasbi As-Shidiqi, Koleksi Hadits Hukum, Cet. V, Maganta Bhakti Guna, Jakarta, 1994, hlm. 363.
[3]Imam Ala’u Al-Din Al-Kasani, Badaai Al-Shanaai, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, 1996, hlm. 138.
[4]Ibid, hlm. 139.
[5]Al-Qur’an, Al-Baqarah Ayat 286, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 72.