Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia

Pada awal abad ke-20, pendidikan Islam di Indonesia mengalami babak baru dalam sejarah, yaitu masa pembaharuan. Pembaharuan dalam pendidikan Islam adalah salah satu jawaban terhadap kekuasaan dan dominasi Eropa. Respon pendidikan berupa penolakan, adaptasi, ataupun sampai kepada akulturasi dan pembaharuan, dengan akibatnya masing-masing.  
Setelah diketahui sistem pendidikan, maka dapat dicermati beberapa perubahan yang terjadi, antara lain pada:
1.    Tujuan dan Materi
Tujuan pendidikan Islam tentu harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan dari berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam (khususnya keluarga dan pesantren) berorientasi pada pendidikan agama. Tujuannya mengacu pada pembentukan manusia yang sempurna dimana seorang muslim adalah memiliki akhlak mulia, sehat jasmani dan rohani.
Sebelum Belanda mengembangkan sistem pendidikan Baratnya, pendidikan Islam yang ada hanyalah mengembangkan tujuan keagamaan. Setelah pendidikan Belanda berdiri, mau tidak mau para pelaku pendidikan Islam berpikir ulang agar sistem yang dikembangkan tetap diminati masyarakat. maka sistem pendidikan Islam mulai terbuka dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke dalam kurikulumnya. Hal ini dilakukan agar pesantren tidak “ketinggalan jaman” tanpa mengubah orientasi atau landasan dasarnya.

Seperti misalnya pesantren Mambaul Ulum di Surakarta, kurikulumnya berubah dengan dimasukkannya pelajaran membaca huruf Latin, aljabar dan berhitung.  
Akhirnya muncul dua macam pesantren, yaitu pesantren salafi yang masih mempertahankan kurikulumnya, dan pesantren khalafi yang telah memasukkan pelajaran umum.  
Perubahan tersebut juga ditandai dengan mucnulnya lembaga madrasah dan sekolah. Munculnya madrasah di Indonesia merupakan salah satu wujud respon terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.   Madrasah muncul setelah sisten pendidikan Belanda hadir, yaitu yang pertama kali berdiri pada tahun 1909 (Adabiyah School), atau dapat dikatakan, madarasah dari tidak ada menjadi ada. Keberadaannya menjadi salah satu upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan. tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.   Pola dan variasi madrasah tidak akan keluar dari tiga format dasar: madrasah yang menyerupai sekolah Belanda, madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan non-keagamaan, dan madrasah yang lebih menekankan pada muatan-muatan keagamaan dan menambahkan muatan-muatan umum secara terbatas.  
2.    Metode dan Sarana
Dalam perubahan metode dan sarana dalah penyesuaian terhadap materi berdasar tujuannya. Pengajaran pada madrasah ataupun sekolah memakai sistem klasikal, dimana ada pengelompokan siswa dalam kelas-kelas.
Pesantren Tebu Ireng, dengan mendirikan madrasah salafiyah merupakan modernisasi. Selain diajarkan pengetahuan umum, madrasah tersebut memakai sistem klasikal dengan perjenjangan: madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Mu’allimin.  
Sarana yang ada di pesantren berupa pondok, bangku yang digunakan untuk meletakkan kitab.
Madrasah diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal atau madrasi, dimana murid dipisah-pisahkan dalam beberapa tingkatan, persis seperti yang dilakukan organisasi pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional.  Dalam  sistem  madrasi,  pelajaran-pelajaran  dikelompokkan  dan
penyampaiannya diberikan secara bertingkat-tingkat dengan memper-hitungkan rentang waktu yang dibutuhkan.  
Lembaga pendidikan sekolah cenderung meniru pola yang diterapkan oleh Belanda. Pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi Muhammadiyah, pengorganisasiannya menyerupai sekolah-sekolah Belanda. Muhammadiyah membagi sekolahnya mirip dengan sekolah-sekolah Belanda: HIS Muhammadiyah, MULO, AMS Muhamadiyah.  
Dengan adanya kelas-kelas tersebut, tentunya ada gedung-gedung sekolah dengan kelas-kelas khusus. Dimana tiap kelas terdapat papan tulis, bangku-bangku, dan kursi. Jadi, sistem penyampaiannya tidak secara individual seperti pada model sorogan di pesantren, tetapi lebih cenderung berkelompok dimana satu guru menyampaikan materi dan semua siswa mendengarkan.
3.    Evaluasi
Dari evaluasi yang telah dipaparkan pada masing-masing lembaga pendidikan, dapat disimpulkan tentang perubahannya. Pada mulanya pesantren berorientasi ukhrawi, mengukur keberhasilan lembaganya jika mampu menghasilkan santri yang taat, berakhlak mulia tanpa berharap berprofesi dalam jabatan tertentu. Pada lulusan pesantren dengan ikhlas kembali ke masyarakat dan tidak mengharapkan jabatan tertentu yang bersifat keduaniawian. Dengan kata lain, para santri dididik untuk sukses hidup di akhirat.
Ijazah seperti halnya yang diberikan oleh sekolah-sekolah Belanda tidak dikenal. Mereka hanya mengenal ijazah sebagai tanda seberapa kualitas ilmu agama yagn didapatkan dari para guru/kyainya, sementara sekolah-sekolah Belanda didirikan untuk melatih warga negara Indonesia bagi pemenuhan (salah satunya) profesi Pamong Praja.  
Perubahan keinginan bangsa Indonesia terlihat dengan adanya madrasah, yang eksistensinya merupakan usaha menyempurnakan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem yang lebih memungkinkan lulusan-lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum yaitu kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.  
Di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, ditetapkan: ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.  
Di sini bisa disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan pendidikan yang ada awalnya hanya keakhiratan, kemudian meluas ke keduniawian.