Politik Etis adalah suatu kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan penduduk pribumi dengan cara meningkatkan pendidikan secara Barat. [1]
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda ini menyebabkan perkembangan pendidikan menjadi pesat dari keadaan sebelumnya. Dan statistik pendidikan di Jawa dan Madura menunjukkan terdapat 245 sekolah negeri, 326 sekolah partikelir pada tahun 1903. [2]
Pendidikan yang diterapkan ternyata berorientasi ke Barat, tanpa memperhatikan keinginan dari rakyat Indonesia. Pendekatan dalam mewujudkan tujuan politik etis tersebut mengikuti pendekatan dari usulan Snouck Horgronje dan J.H. Abendanon. Pendekatan yang sifatnya elitis itu, menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Pendidikan ini diperuntukkan bagi para calon pegawai pemerintah, yang bisa menggantikan para pegawai yang berkebangsaan Belanda. [3]
Belanda membagi sistem kependidikannya ke dalam dua kategori, yaitu sekolah Belanda dan sekolah pribumi dengan kurikulum, bahasa pengantar dan pembiayaan sendiri. Warga pribumi sendiri, ketika akan memasuki sekolah Belanda harus memenuhi syarat tertentu, seperti anak yang akan masuk sekolah, harus berasal dari keturunan orang tua yang berpangkat asisten wedana (camat).[4]
Kehadiran sekolah-sekolah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama. Kaum ulama dan santri menganggap program pendidikan tersebut merupakan usaha penetrasi kebudayaan Barat di tengah berkembangnya pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. [5]
Politik etis dengan dalih meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia ternyata hanya sebagai cara untuk menipu rakyat Indonesia. Belanda sebagai kaum penjajah tentunya ingin kekuasaannya tetap kuat dan semakin meluas, dimana Belanda tidak ingin rakyat Indonesia melawan kekuasaan itu. Dengan didirikannya sekolah-sekolah Belanda, diharapkan orang-orang Indonesia
merasa bahwa pemerintah Hindia Belanda memperhatikan kesejahteraan mereka. Dengan cara halus, pemerintah Hindia Belanda mengubah pola pikir bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang berkebudayaan Eropa. Dengan penyatuan tersebut, diharapkan penduduk semakin bisa dikendalikan.
Pendidikan merupakan media tranformasi nilai, dari yang merancangnya kepada obyek yang diharapkan. Karena setiap kebudayaan disebarkan melalui berbagai agen sosialisasi, salah satunya adalah pendidikan (lembaga-lembaga pengajaran).[6] Politik asosiasi (penyatuan) diajukan sebagai pendekatan dalam perekatan antara pemerintah (penjajah) dengan jajahan, dengan harapan kaum pribumi akan menerima dengan kesadarannya.
Dari kebijakan politik etis, dapat diketahui tujuan dan akibat yang ditimbulkannya. Tujuan politik etis berkaitan dengan pendidikan.:
1. Mempermudah pendirian sekolah-sekolah Belanda yang berorientasi ke Barat.
2. Penyatuan kebudayaan antara Belanda dan Indonesia dalam kebudayaan Barat, dalam pendidikan dengan menerapkan bahasa Belanda sebagai pengantar.
3. Memenuhi kekurangan tenaga kerja, sehingga pendidikan berorientasi pada penyediaan tenaga kerja.
4. Menguasai kelompok-kelompok terpelajar dari bangsa Indonesia.
5. Menyaingi sistem pendidikan Islam
Sedangkan akibat adanya politik etis adalah;
1. Adanya kesenjangan antara pendidikan Barat dan pendidikan pribumi.
2. Semakin meruncingnya perbedaan ras antara penduduk pribumi dengan Belanda.
3. Munculnya sekelompok orang Indonesia yang lebih toleran kepada kaum penjajah.
4. Sikap antipati yang lebih dalam dari kaum ulama dan santri terhadap keberadaan Belanda berkaitan dengan pendidikan.
[1]Soediyono, Sejarah Pendidikan Indonesia, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 1986, hlm. 59.
[2]Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 41.
[3]M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hlm. 236.
[4]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 218.
[5]Dra. Hanum Asrahah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 153-154.
[6]Bassam Tibi, Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1999, hlm. 167.
Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda ini menyebabkan perkembangan pendidikan menjadi pesat dari keadaan sebelumnya. Dan statistik pendidikan di Jawa dan Madura menunjukkan terdapat 245 sekolah negeri, 326 sekolah partikelir pada tahun 1903. [2]
Pendidikan yang diterapkan ternyata berorientasi ke Barat, tanpa memperhatikan keinginan dari rakyat Indonesia. Pendekatan dalam mewujudkan tujuan politik etis tersebut mengikuti pendekatan dari usulan Snouck Horgronje dan J.H. Abendanon. Pendekatan yang sifatnya elitis itu, menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Pendidikan ini diperuntukkan bagi para calon pegawai pemerintah, yang bisa menggantikan para pegawai yang berkebangsaan Belanda. [3]
Belanda membagi sistem kependidikannya ke dalam dua kategori, yaitu sekolah Belanda dan sekolah pribumi dengan kurikulum, bahasa pengantar dan pembiayaan sendiri. Warga pribumi sendiri, ketika akan memasuki sekolah Belanda harus memenuhi syarat tertentu, seperti anak yang akan masuk sekolah, harus berasal dari keturunan orang tua yang berpangkat asisten wedana (camat).[4]
Kehadiran sekolah-sekolah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama. Kaum ulama dan santri menganggap program pendidikan tersebut merupakan usaha penetrasi kebudayaan Barat di tengah berkembangnya pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. [5]
Politik etis dengan dalih meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia ternyata hanya sebagai cara untuk menipu rakyat Indonesia. Belanda sebagai kaum penjajah tentunya ingin kekuasaannya tetap kuat dan semakin meluas, dimana Belanda tidak ingin rakyat Indonesia melawan kekuasaan itu. Dengan didirikannya sekolah-sekolah Belanda, diharapkan orang-orang Indonesia
merasa bahwa pemerintah Hindia Belanda memperhatikan kesejahteraan mereka. Dengan cara halus, pemerintah Hindia Belanda mengubah pola pikir bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang berkebudayaan Eropa. Dengan penyatuan tersebut, diharapkan penduduk semakin bisa dikendalikan.
Pendidikan merupakan media tranformasi nilai, dari yang merancangnya kepada obyek yang diharapkan. Karena setiap kebudayaan disebarkan melalui berbagai agen sosialisasi, salah satunya adalah pendidikan (lembaga-lembaga pengajaran).[6] Politik asosiasi (penyatuan) diajukan sebagai pendekatan dalam perekatan antara pemerintah (penjajah) dengan jajahan, dengan harapan kaum pribumi akan menerima dengan kesadarannya.
Dari kebijakan politik etis, dapat diketahui tujuan dan akibat yang ditimbulkannya. Tujuan politik etis berkaitan dengan pendidikan.:
1. Mempermudah pendirian sekolah-sekolah Belanda yang berorientasi ke Barat.
2. Penyatuan kebudayaan antara Belanda dan Indonesia dalam kebudayaan Barat, dalam pendidikan dengan menerapkan bahasa Belanda sebagai pengantar.
3. Memenuhi kekurangan tenaga kerja, sehingga pendidikan berorientasi pada penyediaan tenaga kerja.
4. Menguasai kelompok-kelompok terpelajar dari bangsa Indonesia.
5. Menyaingi sistem pendidikan Islam
Sedangkan akibat adanya politik etis adalah;
1. Adanya kesenjangan antara pendidikan Barat dan pendidikan pribumi.
2. Semakin meruncingnya perbedaan ras antara penduduk pribumi dengan Belanda.
3. Munculnya sekelompok orang Indonesia yang lebih toleran kepada kaum penjajah.
4. Sikap antipati yang lebih dalam dari kaum ulama dan santri terhadap keberadaan Belanda berkaitan dengan pendidikan.
[1]Soediyono, Sejarah Pendidikan Indonesia, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 1986, hlm. 59.
[2]Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 41.
[3]M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hlm. 236.
[4]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 218.
[5]Dra. Hanum Asrahah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 153-154.
[6]Bassam Tibi, Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1999, hlm. 167.