Metode Pendidikan Moral Anak Abdullah Nasih Ulwan dalam Pendidikan

Untuk membentuk pribadi muslim yang baik, dalam arti secara intelektual, fisik, sosial dan lebih-lebih secara moral, dibutuhkannya kerja sama antar institusi yang terkait. Diantara institusi terkait tersebut adalah keluarga, sekolah dan masyarakat atau dalam bahasanya Ki Hajar Dewantara yang dikutip oleh Wahjoetomo yaitu Tri Pusat Pendidikan.[1]

Memang ketiga pusat pendidikan tersebut saling terkait satu dengan yang lainnya. Namun sebagai pendidikan awal atau pertama yang diberikan kepada anak didik adalah pendidikan dalam lingkungan keluarga. Apabila tiap-tiap keluarga dapat memberikan pendidikan yang baik kepada anak (untuk membentuk pribadi muslim), tentunya dampak yang lebih jauh adalah terciptanya kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. Hal ini yang menjadi suatu harapan dari Ulwan selaku pakar pendidikan anak dan  pendidikan Islam, yang melahirkan ide-ide cemerlangnya yaitu tentang metode-metode pendidikan moral yang seharusnya diberikan orang tua kepada putra putrinya selaku pemegang amanat-Nya.

Bagaimana implikasi metode pendidikan moral tersebut dalam pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat ?

a.  Keluarga

Keluarga merupakan pusat pendidikan atau lapangan pendidikan pertama dan utama yang paling berpengaruh dibandingkan yang lainnya, karena keluargalah yang memberikan pengaruh pertama kali terhadap anak-anaknya. Sejak dari bangun tidur hingga ke tempat tidur kembali, anak-anak menerima pengaruh informasi baik yang didengar ataupun yang dilihatnya dari lingkungan keluarga.[2]

Meskipun anak lahir dibekali potensi bawaan, namun tanpa adanya intervensi dari pihak luar, terutama ayah ibunya potensi bawaan tersebut tidak ada artinya. Dengan adanya anak, maka rasa tanggung jawabnya sebagai orang tua, secara kodrati adalah untuk mengarahkan, mengawasi dan membimbing serta melindungi anaknya semaksimal mungkin dalam pertumbuhan dan perkembangannya, terutama dalam masalah pembentukan jiwa keberagamaan anak.[3]

Kehadiran ibu lebih berarti dari ayah dalam masa pertumbuhan dan perkembangan anak sekitar umur dua tahun. Sebab anak pertama kali berinteraksi dengan lingkungannya yaitu dengan ibunya. Ibu dengan kasih sayangnya dalam merawat anak terutama dalam pemberian ASI sangat besar pengaruhnya bagi anak. Hal ini sesuai  kutipan Ahmad Santhut dari Samiah Hamam “Bahwa efek ketidakhadiran seorang ibu jauh lebih besar dibandingkan ketidakhadiran ayah”[4] Namun demikian, menjelang kelahiran anak baru atau adiknya, maka peran ayah sangat berarti untuk memberikan perhatian (bermain bersama) sehingga mampu mengakrabkan ayah kepada anak. Hal ini diupayakan untuk mengurangi rasa cemburu anak kepada adiknya.

Untuk membentuk moral anak yang baik, langkah pertama adalah penyelamatan hubungan ayah ibunya agar hidup rukun dan jauh dari problem, sehingga anak merasa aman, nyaman dan tentram.[5] Dengan hubungan yang harmonis dalam keluaraga terutama hubungan ayah ibunya akan memudahkan ia dalam membentuk pribadi yang baik bagi anaknya. Karena orang tua merupakan obyek peniruan bagi anak, baik melalui perkataan dan tingkah laku orang tua semuanya akan terekam dalam diri anak. Tingkah laku anak tidak jauh dari tingkah laku kedua orang tuanya. Apabila yang ditampilkan orang tua dihadapan anak baik, tentu akan baik pula bagi anak, terutama masalah keberagamaan bagi anak. Sebab pembentukan moral yang baik tak jauh dari masalah agama.

Anak berumur 0-6 tahun (pra sekolah) otoritas bapak ibu sangat dominan. Anak kelak menjadi baik, tergantung pembinaan dalam masa ini. Untuk itu orang tua mengupayakan semaksimal mungkin agar anak tidak terjerumus kepada pendidikan yang jauh dari nuansa agamis. Sebab pendidikan dalam keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan ketrampilan.[6]

b.  Sekolah

Untuk menghidupi dalam keluarga, maka para orang tua mencari nafkah. Dengan adanya kesibukan tersebut biasanya para orang tua mempunyai keterbatasan-keterbatasan waktu dalam mendidik putra-putrinya dan juga orang tua memang tidak mampu untuk membekali anaknya untuk mengarungi hidup di zaman sekarang. Oleh karena itu orang tua memasukkan anak ke sekolah-sekolah dengan harapan dapat membantu dalam proses pendidikan anaknya.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan fungsinya adalah sebagai pelanjut dari pendidikan keluarga.[7] Status sekolah sebagai pelanjut dalam pendidikan dalam keluarga, maka para orang tua harus selektif dalam menempatkan atau memilih lembaga sekolah bagi anaknya, lebih-lebih sebagai seorang muslim. Karena apabila orang tua hanya asal-asalan dalam memilih sekolah akan berefek negatif pada anak. Sifat sekolah sebagai pelanjut pendidikan keluarga, sebisa mungkin memberikan yang terbaik bagi  anak  didiknya,  baik  segi  intelektual,  sosial  dan  moral  agamanya.

Sebagai contoh, dalam pemberian moral agama pihak sekolah harus senantiasa mengoreksi anak didiknya apabila ada kekeliruan keluarga dalam memberikan pendidikannya. Sebagaimana yang disinyalir oleh Zakiah Daradjat bahwa sekolah hendaknya mengupayakan diri menjadi lapangan yang baik bagi pertumbuhan dan pengembangan mental moral anak didiknya, selain itu juga sebagai tempat pemberian pengetahuan, pendidikan ketrampilan dan pengembangan bakat dan kecerdasan.[8]

Pada dasarnya pendidikan moral yang ditawarkan Ulwan tersebut mengambil “basic” dari pendidikan agama. Oleh sebab itu, pendidikan yang telah diterima anak dari keluarganya sesuai dengan ajaran agama, diteruskan oleh sekolah semaksimal mungkin membuat lingkungan sekolah menjadi kebiasaan moral sesuai dengan ajaran agama.

Meskipun demikian, bukan berarti dengan sendirinya tanggung jawab orang tua hilang sebagai pendidik di keluarganya. Tapi dalam keadaan ini (anak usia sekolah dasar) tanggung jawab orang tua semakin bertambah dengan semakin luas pula kehidupan sosial anak. Posisi orang tua senantiasa memberikan arahan dan bimbingan guna keselamatan kehidupan anak kelak.

c.  Masyarakat

Peran masyarakat sangat penting dalam proses pendidikan (moral) karena masyarakat merupakan salah satu dari pusat pendidikan. Kebanyakan kita menempatkan masyarakat dalam posisi ketiga setelah pendidikan keluarga dan pendidikan sekolah. Sebab keberadaannya  mempengaruhi perkembangan anak, yang salah satunya berupa pembentukan jiwa keberagamaannya. Hal ini terjadi, apabila adanya keserasian antara ketiga lapangan pendidikan tersebut, sehingga akan berdampak positif.[9] Akan tetapi sebaliknya, bila tidak adanya keserasian dalam lapangan pendidikan (masyarakat) maka hasil pendidikan tersebut tidak optimal. Demikian yang diresahkan oleh pakar pendidikan (Islam) yaitu Ulwan.

Namun yang menjadi realita sekarang, apa yang diresahkan Ulwan menjadi kenyataan  dalam dunia pendidikan. Walaupun pendidikan keluarga sudah baik, demikian juga pendidikan sekolah penuh dengan ajaran agama, tetapi masyarakat berbuat yang jauh dengan agama, maka hal itu akan berdampak negatif dalam pendidikan, terutama pendidikan moral.

Meskipun anak dalam keluarga baik, di sekolah baik tetapi masyarakat tidak baik, maka hal itu sangat mempengaruhi kehidupan anak dalam perkembangan keberagamaannya.

Diantara langkah yang ditempuh untuk memperbaiki masyarakat yang sudah rusak adalah sebagai berikut :[10]

1.  Memperbaiki  diri kita sendiri, keluarga dan orang terdekat dalam hidup kita

2.  Mengusahakan kepada pemimpin dan para penguasa untuk menyadari betapa pentingnya masalah pendidikan anak terutama pendidikan agama karena pendidikan moral tanpa agama akan kurang berarti

3.  Anak dihindarkan dari segala kemungkinan terjadinya tindakan atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama dari pergaulan anak



Dengan kesadaran dari diri masing-masing akan pentingnya pendidikan moral, maka suatu harapan untuk membentuk masyarakat yang senang beramar makruf nahi munkar akan terwujud. Sebab cerminan kebaikan dari masyarakat, merupakan bias dari kebaikan dalam tiap-tiap keluarga yang didukung dengan para anggota keluarga yang taat beragama.

Salah satu komponen dalam pendidikan yaitu masyarakat. Masyarakat juga harus berperan menjadi pengontrol pendidikan moral tersebut. Sebab ketiga komponen tersebut sebagai kesatuan yang integral. Untuk memupuk rasa sosial ini memeng dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari tiap-tiap individu masyarakat, bahwa ia juga mempunyai tanggung jawab dalam pendidikan. Apabila hal itu terealisasi dalam kehidupan yaitu wujud dari amar makruf nahi mungkar, niscaya untuk membumikan ajaran Ilahi akan terwujud dalam kehidupan yang fana ini.    

[1]Dr. dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Gema Insani Press, Jakarta, 1997,  hlm. 21.

[2]Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Cetakan keempat, Jakarta, 2000, hlm. 201.
[3]Ibid., 204.
[4]Khatib Ahmad Santhut,  Op. Cit., hlm. 18.
[5]Dr. Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hlm. 20.
[6]Drs. H. M. Chabib Thoha,M.A.,  Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 103.
[7]Dr. Jalaluddin, Op. Cit.,  hlm. 205.
[8]Dr. Zakiah Daradjat, Op. Cit.,  hlm. 21.
[9]Dr. Jalaluddin, Op. Cit.,hlm. 208.
[10]Dr. Zakiah Daradjat, Op. . Cit., 1977, hlm. 22.