Bahwa
adanya pembinaan TPQ dimaksudkan agar anak yang kelak akan menjadi generasi
pelanjut atau pengganti mampu membaca dan menulis Al-Qur’an dengan baik, maksud
yang demikian bukanlah akhir dari sebuah pembinaan TPQ karena maksud
selanjutnya adalah agar anak itu mampu menghayati kandungan Al-Qur’an baik
secara ekplisit maupun implisit. Dengan mampu menghayati dan mengamalkannya
tentunya dimaksudkan agar Al-Qur’an itu sungguh-sungguh dijadikan sebagai
pedoman hidup.
Al-Qur’an sebagai kitabullah merupakan salah satu dari
rangkaian rukun iman yang ke enam. Dengan begitu secara langsung atau tidak
langsung berarti salah satu dari rukun iman yang ke enam itu telah diamalkan
oleh anak tersebut, manakala Al-Qur’an telah dijadikan sebagai pedoman hidup.
Penghayatan dan pengamalan Al-Qur’an akan berdampak pula pada penghayatan dan
pengamalan terhadap akidah Islam dan atau rukun iman yang lainnya. akidah
adalah sangat penting dalam meniti kehidupan.
Tanpa
akidah, seseorang hidupnya akan
terombang ambing, ia akan kehilangan pegangan. Sebaliknya dengan akidah,
seorang anak kelak dapat menampilkan jati dirinya dan dari sini pula ia akan
mampu menemukan dirinya sendiri. Tebalnya iman seseorag berarti juga tebalnya
akidah orang itu, demikian pula sebaliknya tanpa iman berarti seseorang tidak
mempunyai akidah. Dengan iman atau akidah, seorang anak dapat membentuk
kepribadiannya.
Kepribadian
adalah kata yang dibentuk dari pokok kata “pribadi” dengan awalan “ke” dan
akhiran “an”. Pribadi berarti manusia perorangan, diri manusia atau orang
sendiri. Secara populer kepribadian diartikan dengan kesan-kesan yang
ditimbulkan oleh sifat-sifat lahiriah seseorang.
Kepribadian
dalam arti psikologis mengandung makna yang luas, meliputi segala aspek
kehidupan seseorang dan keseluruhan kualitas dirinya yang dapat diperhatikan
pada cara berbuat, berpendapat, bersikap, berfalsafah, dan sebagainya. Menurut
G.W. Allport, kepribadian adalah organisasi dinamis dalam individu sebagai
sistem psikofisis yang menentukan caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap
lingkungan.[1]
Dengan
definisi ini dapat dipahami bahwa kepribadian mempunyai sifat selalu berkembang
dan kerjanya meliputi tubuh dan jiwa serta mempunyai ciri khas satu sama
lainnya dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan. Pembentukan kepribadian
bukanlah suatu proses yang berlangsung cepat, melainkan memakan waktu yang
cukup lama. Ia berproses dalam diri manusia sejak manusia itu masih berada
dalam kandungan dan berkembang terus setelah ia dilahirkan.
Karena
proses pembentukan kepribadian sudah berlangsung sejak manusia berada dalam
kandungan, maka Islam mengajarkan kepada
setiap muslimah yang mengandung untuk banyak membaca al-Quran dan selalu ingat
kepada Allah SWT. Pada masyarakat tertentu juga berkembang adat, bahkan menjadi
kepercayaan turun temurun, calon ayah dan ibu yang menginginkan anaknya, baik
harus berpantang dalam hal-hal tertentu selama anak masih dalam kandungan.
Sejauh mana dampak positif dari sikap calon
orang tua tersebut terhadap anak yang berada dalam kandungan memang
belum bisa dibuktikan secara ilmiah, namun apa yang dilakukan oleh masyarakat
tersebut merupakan tradisi yang melekat kuat di kalangan mereka.
Sebagaimana
pendidikan dan pengajaran, pengembangan kepribadian seorang anak merupakan
tanggung jawab orang tua. Setiap anak yang dilahirkan ke dunia berada dalam
keadaan bersih dan suci. Sejauh mana kesucian itu dapat lestari, banyak
tergantung kepada orang tua, keluarga, dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Kebersihan dan kesucian anak yang lahir, menurut ajaran Islam , karena anak
tidak menanggung beban dosa orang lain. Ia lahir bukan membawa dosa, tetapi
membawa tauhid yang merupakan fitrahnya.[2]
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulullah SAW bersabda yang Artinya: Tidak ada anak dilahirkan, kecuali dilahirkan atas
fitrah, orang tuannyalah yang meyahudikan, menasranikan, dan memusyrikkannya.
(HR.Muslim
Fitrah
berarti khilqah atau kejadian. Fitrah bisa juga diartikan perangai asli,
sifat pembawaan yang ada sejak lahir. Sebagian orang ada yang memberikan
pengertian fitrah sejalan dengan paham tabula rasa bahwa anak yang baru
dilahirkan bagaikan kapas atau kain yang putih bersih tanpa noda setetespun.
Hadits di atas setidak-tidaknya mengandung dua hal pokok:
Pertama,
setiap anak dilahirkan atas dasar fitrahnya. Kedua, orang tua sangat menentukan
perkembangan anak, yaitu menyahudikan, menasranikan, atau memusyrikkanya.