Penerapan Metode Kisah Terhadap Pendidikan Bagi Anak dalam Islam

Dalam penerapan metode kisah terhadap pendidikan bagi anak meliputi sebagai berikut :

1.      Tingkat Perkembangan Anak
Untuk menerapkan metode ini, diharapkan pendidik mengetahui tingkat perkembangan anak, yang dalam hal ini dapat diketahui melalui tingkat usia. Adapun masa perkembangan itu adalah :

a.       Masa 0-3 tahun, sejak usia ini pengetahuan anak tentang Tuhan baru diperoleh dari orang tua dan dalam masa ini merupakan awal pengenalan pendidikan kepada anak.
b.       Masa 3 - 5 tahun, pada usia ini konsep anak tentang Tuhan mulai diperoleh dari kisah-kisah atau pengalaman, karena dalam masa ini anak ingin mengetahui segala sesuatu yang dilihatnya. Kisah yang sangat berperan tersebut harus dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk memupuk keimanan pada diri anak.
c.       Masa 6-12 tahun, pada masa ini anak mulai berkembang inteligensinya secara pesat; anak ingin mengetahui segala sesuatu dan berfikir secara logis. Pada usia ini kisah yang diterimakepada anak terfokus pada perkembangan inteligensi, sebab pada masa ini inteligensi berkembang secara pesat dan tidak menentu.
d.      Masa 13 - 19 tahun, pada masa ini merupakan masa pertumbuhan yang sangat cepat sehingga membuat anak bingung dalam mengambil sikap dan dalam masa ini anak memerlukan perhatian lebih. Pada masa pertumbuhan anak sangat membutuhkan cerita yang terarah sebab orang tua diharapkan selalu berada di sisinya pada saat ia mempunyai banyak problematika. [1]

2.   Tujuan Yang Hendak Dicapai
Metode cerita sangat efektif dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam sebab dalam cerita terkandung pelajaran untuk senantiasa berfikir, pembentukan nilai dan sikap dan keterampilan. Tujuan metode cerita pada aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik, yang pelaksanaannya sesuai dengan pesan-pesan yang disampaikan oleh Rasulullah yang di antaranya berkaitan dengan masalah akidah, ibadah dan masalah muamalah. [2]

Sesuai dengan manfaat penggunaan kisah menurut Moeslichatoen manfaat metode kisah di antaranya sebagai berikut :

a.       Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya.
b.      Mengkomunikasikan nilai-nilai sosial.
c.       Mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan.
d.      Menanamkan etos kerja, etos waktu, etos alam.
e.       Membantu mengembangkan fantasi anak.
f.       Membantu mengembangkan dimensi kognitif anak.
g.      Membantu mengembangkan dimensi bahasa anak. [3]

Sesuai dengan manfaat di atas, bercerita mempunyai tujuan untuk memberikan informasi, menanamkan nilai-nilai sosial, moral, keagamaan, pemberian informasi tentang lingkungan fisik dan lingkungan sosial. [4]

3.   Materi Yang Disampaikan.
Materi atau bahan pelajaran merupakan materi yang harus disampaikan oleh guru kepada anak didik untuk mencapai suatu tujuan pendidikan yang diinginkan. Guru harus pandai-pandai menyampaikan materi dengan baik, hal ini tidak terlepas dari peran serta guru, orang tua, dan masyarakat.

Agar materi pelajaran dapat diserap oleh anak, sehingga anak yang didambakan orang tua menjadi anak yang baik, maka orang tua diharapkan tahu tahapan anak. Dan dalam tahapan tersebut, kapan metode kisah harus diterapkan kepada anak.

4.      Keterampilan Guru.
Dalam bercerita keterampilan guru sangat berpengaruh terhadap kemauan anak dalam mendengarkan isi cerita atau kisah. Guru harus dapat mamanfaatkan segala sesuatu yang ada, misalnya dengan menggunakan anggota badan dalam mengekspresikan sebuah kisah ataupun dengan yang lainnya sesuai dengan keterampilan yang dimiliki seorang guru.

Sesuai dengan tujuan dan tema yang ditetapkan, maka guru dapat menggunakan teknik-teknik bertanya pada akhir kegiatan bercerita yang memberikan petunjuk seberapa besar perhatian dan tanggapan anak terhadap kisah yang terima.

5.   Sarana Yang Dipakai.
Dalam bercerita, maka sarana yang dipakai disesuaikan dengan bentuk cerita yang dituturkan guru, pada dasarnya ada tiga bentuk cerita; bercerita dengan menggunakan ilustrasi gambar, bercerita dengan membaca buku atau majalah dan bercerita dengan menggunakan papan flannel. [5]

Dalam menggunakan sarana tersebut, guru harus menyesuaikan sarana yang dipakai dengan materi yang disajikan, misalnya bercerita tentang Nabi Yusuf AS, maka sarana yang digunakan adalah buku atau majalah yang berkaitan langsung dengan kisah tersebut.

Jadi jelaslah bahwa penerapan metode kisah yang didasarkan pada nilai-nilai agama yang terkandung dalam al Qur’an, Hadis dan buku kisah Keislaman sangatlah penting dalam pembentukan pribadi dan memperkuat pendirian anak.

Menurut  Arifin  manfaat  metode  dalam pendidikan  Islam  bagi anak adalah sebagai berikut :
a.       Secara umum metode dapat bermanfaat sebagai sarana yang dapat membermaknakan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum pendidikan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami atau diserap oleh manusia didik menjadi pengertian-pengertian yang fungsional terhadap tingkah lakunya. [6]
b.      Dapat mendorong anak didik untuk belajar dengan perasaan gembira dalam berbagai tempat dan keadaan.
c.       Dapat mendorong anak didik untuk belajar bahan pelajaran atas dasar minat yang berkesadaran pribadi, terlepas dari paksaan dan tekanan mental.
d.      Dapat menimbulkan konsentrasi perhatian anak didik ke arah bahan pelajaran yang disajikan guru (pendidik).
e.       Dapat menjadikan anak didik menyukai dan bergairah untuk mempelajari bahan pelajaran yang diberikan oleh pendidik.
f.       Dapat melahirkan sikap-sikap saling keterbukaan antara guru dan murid dan lain sebagainya. [7]


[1] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan; Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 1998, hlm. 177 - 180
[2] Ali Syawakh Ishaq Asy Eyu’aibi, Metodologi Pendidikan Al Qur’an Dan Sunnah,, Terj. Asmu’i Saliha Zakhsyari, Pustaka Al Kautsar, Jakarta, 1995, hlm. 89
[3] Moeslichatoen, R., Metode Pengajaran Di Taman Kanak-kanak, Rineka Cipta, Jakarta, 1999, hlm. 26 - 27
[4] Ibid., hlm. 171
[5] Moeslichatoen, Op. Cit., hlm. 177
[6] Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 197
[7] Ibid., hlm. 210 - 212.