Kesempurnaan
manusia (al-Insan al-Kamil) terdiri dari dua kata: al-Insan
yang berarti manusia, dan al-Kamil berarti sempurna. Menurut Murtadha
Muthahari istilah sempurna di sini tidak identik dengan kata tammun (lengkap),
kendati keduanya berdekatan dan mirip. Kata lengkap mengacu pada sesuatu
yang disiapkan menurut rencana, seperti rumah atau masjid. Bila suatu bagiannya
belum selesai maka bangunan itu tidak lengkap atau kurang lengkap. Akan tetapi
sesuatu mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih
tinggi, satu atau beberapa tingkat , itulah yang kamil (sempurna).[1]
Bila
istilah sempurna diterapkan pada manusia maka akan bisa mengacu pada dua sisi,
sisi fisik dan sisi rohaniah. Namun pada sisi rohaniahlah istilah ini paling
sering digunakan, sementara pada sisi fisik yang paling sering dipakai adalah
istilah lengkap, karena fisik telah disiapkan dalam suatu model tertentu. Sebagai
contoh, di sekitar kita ada orang yang masih utuh fisiknya dan ada yang cacat.
Meskipun orang cacat adalah orang yang tidak lengkap anggota atau organ
tubuhnya, kita tidak boleh memandangnya sebagai sesuatu yang tidak sempurna
dalam kemanusiaannya.
Dengan
demikian dapat dimengerti bahwa kesempurnaan manusia yang sebenarnya adalah
terletak pada kepribadiannya, bukan pada fisiknya. Dalam hal ini Muthahari
mengutip sebuah pemeo: “Betapa mudahnya menjadi sarjana dan betapa sukarnya
menjadi manusia“, sebab menjadi manusia membutuhkan kualitas kepribadian yang
tidak sedikit, karena kualitas itulah yang akan memancarkan nilai manusia,
ketinggian nilai itu akan menjadikan seseorang menjadi manusia sempurna.[2]
Islam
mengisyaratkan kesempurnaan diri manusia sebagaimana tertera dalam firman Allah
SWT.:
لقد
خلقنا الانسان فى احسن تقويم . ثم رددنه اسفل سافلين. الا الذين امنوا
وعملواالصلحت. (التين :2-4)
Artinya : “Sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baik kejadian. Kemudian kami kembalikan
ia ke derajat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan
melakukan amal shaleh.”. (Q.S. al-Tiin : 2-4)[3].
Manusia
sempurna, menurut Ibnu Khaldun harus mempunyai kesadaran rohani, yakni keimanan
pada agama dan kemampuan akal pikiran yang tajam sebagai puncak ilmu. Tegasnya
manusia yang sempurna menurut Ibnu Khaldun adalah manusia yang beriman dan berilmu, sebagai suatu kewajiban agama. Konsekuensi
beriman dan berilmu adalah beramal, yakni keterpaduan kata hati dengan
perbuatan.[4]
Kelengkapan
dan kesempurnaan manusia dalam kacamata Ibnu Khaldun tidak lahir begitu saja,
melainkan melalui proses tertentu, proses tersebut dewasa ini dikenal dengan
evolusi. Dalam al-Qur’an surat al-A’laa ayat 1-3 :
“Sucikanlah nama Tuhanmu
Yang Paling Tinggi, Yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya) dan yang
menentukan kadar (masing-masing), dan memberi petunjuk”.(Q.S. 87:1-3)
Ini
menunjukkan bahwa semua ciptaan Illahi tumbuh dan berkembang (berevolusi)
setapak demi setapak dari tingkatan yang lebih rendah ke tingkat yang lebih
tinggi menuju kesempurnaan yang secara alamiah. Evolusi ini merupakan evolusi
kreatif dalam wujud fisiknya.
Konsep
evolusi Ibnu Khaldun berbeda dengan Charles Darwin (1809-1882) yang melihat
proses kejadian manusia sebagai hasil evolusi makhluk-makhluk organik.[5] Ibnu
Khaldun menghubungkan kejadian manusia (sempurna) dalam perkembangan dan
pertumbuhan alam semesta. Seluruh totalitas di alam semesta ini berhubungan
satu sama lain dan terpadu, artinya seluruh alam realitas satu dengan yang
lainnya tidak statis melainkan dinamis. Dinamis inilah yang merupakan teori
evolusi Ibnu Khaldun.
Kelebihan
manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik binatang maupun malaikat
adalah kemampuan akalnya yang mampu berpikir. Manusia adalah makhluk yang
berpikir. Menurut Ibnu Khaldun, berpikir adalah penjamahan bayang-bayang di
balik perasaan dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa.
Menurutnya, kerja pikir yang demikian disebut af’idah (jamak dari fuad),
sebagaimana yang tersinyalir dalam firman Allah SWT.:
“Dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan akal”.[6]
Menurut
Ibnu Khaldun, kesempurnaan manusia dapat dicapai dalam kerangka ilmu
pengetahuan, sebagaimana dinyatakan Ibnu Khaldun, bahwa pada kondisi semula,
sebelum mencapai tamyiz manusia adalah materi seluruhnya, karena dia tidak
mengetahui pengetahuan apapun. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu
pengetahuan (ilm) yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Dengan
cara ini, kamanusiaannya mencapai kesempurnaan eksistensi.[7]
Teorinya
tentang pencapaian kesempurnaan manusia tersebut didasarkan pada firman Allah
SWT.:
“Bacalah, dan Tuhanmu maha mulia, yang telah
mengajar manusia dengan pena (qolam). Mengajarkan manusia apa-apa yang tidak ia
ketahui”. (QS.
96:1-5).
Disinilah
kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik binatang maupun
malaikat, yaitu kemampuan akalnya berpikir. Manusia adalah makhluk yang
berpikir. Menurut Ibnu Khaldun berpikir adalah penjamahan bayang-bayang di
balik perasaan dan aplikasi di dalamnya untuk membuat analisa dan sintesa.
Kesanggupan manusia berpikir, menurutnya ada beberapa tingkatan, yaitu :
Pertama, pemahaman intelektual manusia terhadap segala sesuatu yang
ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tata yang berubah-ubah, dengan
maksud supaya dia dapat mengadakan seleksi dengan kemampuannya sendiri. Bentuk
pemikiran semacam ini kebanyakan berupa persepsi-persepsi. Inilah akal pembeda
(al-aql ut-tamyizi).
Tingkatan
kedua adalah pikiran yang memperlengkapi manusia dengan ide-ide dan
perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang-orang bawahannya dan
mengatur mereka. Pemikiran semacam ini kebanyakan berupa appersepsi-appersepsi,
(tasdiqat) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman, hingga benar-benar
dirasakan manfaatnya. Inilah yang disebut dengan akal eksperimental (al-aql
at-tajribi).
Tingkatan
ketiga, pikiran yang memperlengkapi manusia dengan pengetahuan (ilm)
atau pengetahuan hipotesis (dzann) mengenai sesuatu yang berada di
belakang persepsi indera tanpa tindakan praktis yang menyertainya. Inilah akal
spekulatif (al-aql an-nadzari). Ia merupakan persepsi dan appersepai (tasawwur
dan tashdiq), yang tersusun dalam tatanan khusus, sesuai dengan kondisi
khusus, sehingga membentuk pengetahuan lain dari jenisnya yang sama, baik
perseptif atau apperseptif. Kemudian semua itu bergabung dengan hal-hal lain,
lalu membentuk pengetahuan yang lain lagi.
Akhir
dari proses ini adalah supaya terlengkapi persepsi mengenai wujud
sebagaimana adanya, dengan berbagai genera, diferensia, dan sebab-akibatnya.
Dengan memikirkan hal-hal ini, manusia mencapai kesempurnaan dalam realitasnya,
dan menjadi intelek murni serta memiliki jiwa perseptif. Inilah makna realitas
manusia (al-haqiqatu al-insaniyah).[8]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dengan kapasitas berpikirnya merupakan
sumber bagi segala kesempurnaan, puncak segala kemuliaan dan ketinggian di atas
segala makhluk lain. Dengan akal pula manusia menempati posisi teristimewa tersebut.
Al-Qur’an menegaskan hal ini di banyak tempat. Manusia diciptakan sebagai
makhluk yang paling sempurna atau sebaik-baik susunan (QS. 95:4). Manusia juga
diberi mandat oleh Allah sebagai khalifah Allah di bumi (QS. 2:30). Bahkan
Allah telah menundukkan bumi untuk manusia (QS. 67:15). Manusia diberi
kesempatan untuk menentukan nasibnya sendiri melalui potensi yang ada pada
dirinya sendiri (QS.13:11).
Kesempurnaan
manusia juga dicapai melalui kerangka sosial, seorang manusia tidak dapat hidup
sendirian dan eksisitensinya tidak akan terlaksana, kecuali dengan kehidupan
bersama. Dia tidak akan mampu menyempurnakan eksistensi dan mengatur
kehidupannya dengan sempurna secara sendirian, jadi benar-benar sudah menjadi
wataknya apabila manusia butuh bantuan dalam memenuhi kebutuhannya.[9]
[1] Yunasir Ali, Manusia
Citra Ilahi; Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jili,
Paramadina, Jakarta, 1997, hlm.4.
[2] Ibid.,
hlm. 5.
[3] R.H.A. Soenarjo,
dkk., Op. Cit., hlm. 1076.
[4] Ali Audah, Dari
Khazanah Dunia Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 81.
[5] Evolusi Organik
adalah proses evolusi makhluk hidup dari makhluk lain yang telah ada. Lihat
T.Jacob, Evolusi Manusia Dan Konsepsi Islam, Risalah, Bandung, 1984,
hlm. 36.
[6] Lihat
(QS.67:23) yang lengkapnya berbunyi : “Katakanlah: “Dia-lah Yang menciptakan
kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati”., (Tetapi)
amat sedikit kamu bersyukur”. Dalam R.H.A. Soenarjo, dkk., al-Qur’an dan
Terjemahnya, kata af’idah diterjemahkan dengan “hati” yang
bersumberkan akal atau otak. Lihat Ibnu Khaldun, Op. it., hlm. 522.
[7] Ibid,
hlm. 533.
[8] Ibid,
hlm. 522-523.
[9] Ibid,
hlm. 526.