Pandangan Islam Tentang Transendensi Tuhan Menurut Filsafat Plotinus

Plotinus adalah filosof pertama yang mengajukan teori penciptaan alam semesta. Ia mengajukan teori emanasi yang terkenal itu. Teori ini diikuti oleh banyak filosof Islam. Teori itu merupakan jawaban terhadap pertanyaan Thales kira-kira delapan abad sebelumnya: apa bahan alam semesta ini. Plotinus menjawab: bahannya Tuhan. filsafat Plotinus kebanyakan bernafas mistik, bahkan tujuan filsafat menurut pendapatnya adalah mencapai pemahaman mistik.
Thales (624-546) digelari sebagai filosof pertama barangkali karena ia mengajukan pertanyaan yang sangat mendasar: apa bahan alam semesta ini? Thales menjawab, air. Jawabannya yang tidak memuaskan. Pertanyaannya lebih berbobot dari pada jawabannya. Plotinuslah, jadi kira-kira 800 tahun kemudian, orang yang mula-mula menyusun jawaban yang lumayan terhadap pertanyaan itu. itulah teori emanasi. Konsep inilah terutama yang menyebabkan Plotinus cukup penting untuk dipelajari. Teori penciptaannya yang berupa emanasi itu berpengaruh juga pada filsafat Islam.
Akan tetapi, pemikiran Plotinus bukan hanya tentang rahasia penciptaan; ia juga mengemukakan pemikiran tentang etika, yang kelihatannya masih relevan dipertimbangkan pada zaman sekarang.
Secara umum ajaran Plotinus disebut Plotinisme atau neo-Platonisme. Jadi, ajaran Plotinus itu tentulah berkaitan erat dengan ajaran Plato. Plotinisme adalah suatu sistem yang teosentris, jadi dalam hal ini sama dengan Augustinus. Memang, filosof pada masa-masa ini pada umumnya teosentris.
Akal pada abad pertengahan ini benar-benar kalah. Hal itu kelihatan dengan jelas pada filsafat plotinus, Augustinus, Anselmus. Pada Thomas Aquinas penghargaan pada akal muncul kembali, dan karena itu filsafat nya banyak mendapat kritik. Sebagaimana telah dikatakan, abad pertengahan merupakan pembalasan terhadap dominasi akal yang hampir seratus persen pada zaman Yunani sebelumnya, terutama pada zaman sofis.
Pemasungan akal dengan jelas terlihat pada pemikiran plotinus. Ia mengatakan bahwa Tuhan (ini mewakili metafisika) bukan untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Oleh karena itu, tujuan filsafat (dan tujuan hidup secara umum ) adalah bersatu dengan Tuhan. Jadi, dalam hidup ini rasa itulah satu-satunya yang dituntun oleh kitab suci, pedoman hidup manusia. Filsafat rasional dan sains tidak penting; mempelajarinya merupakan usaha mubazir, menghabiskan waktu secara sia-sia. Karena simplicius, salah seorang pengikut plotinus, telah menutup sama sekali ruang gerak filsafat rasional, iman telah menang mutlak. Karena iman harus menang mutlak, orang-orang yang masih juga menghidupkan filsafat (akal) harus dimusuhi. Maka pada tahun 415 Hypatia, seorang yang terpelajar ahli dalam filsafat Aristoteles, dibunuh. Tahun 529 kaesar Justinianus mengeluarkan undang-undang yang melarang ajaran filsafat apapun di Athena.

Augustinus mengganti akal dengan iman ; potensi manusia yang diakui pada zaman Yunani diganti dengan kuasa Allah. Ia mengatakan bahwa kita tidak perlu dipimpin oleh pendapat bahwa kebenaran itu relatif. Kebenaran itu mutlak yaitu ajaran agama. Moral berpuncak pada dosa adam ; kehidupan pertapa adalah kehidupan yang terbaik. Hati memerlukan kehidupan yang demikian. Ia juga mengatakan bahwa mempelajari hukum alam adalah mubazir, memboroskan waktu. Ia berkutat pada pendapat bahawa bumi adalah pusat jagat raya, heliosentrisme ditolaknya. Intellektualisme tidak penting, yang penting adalah cinta kepada Tuhan. Tidak perlu dipikir, tanya hati anda, siapa pencipta alam ini. Untuk itu hati harus bersih, harus hidup. Maka kehidupan membujang (celibat) adalah kehidupan terpuji. Manusia dilarang mempelajari astronomi, mempelajari anatomi menjadikan manusia materialis. Filsafat dan sains jangan disentuh. Akal mati, hati menang. Ciri khas dari filsafat abad pertengahan terletak pada rumusan terkenal yang dikemukakan oleh Saints Anselmus, yaitu credo ut intelligam.
Credo ut intelligam kira-kira berarti iman lebih dahulu setelah itu mengerti. Imanilah lebih dahulu, misalnya, bahwa dosa warisan itu ada, setelah itu susunlah argumen untuk memahaminya mungkin juga untuk meneguhkan keimanan itu. Didalam ungkapan itu tersimpan pula pengertian bahwa seseorang tidak boleh mengerti atau paham lebih dahulu, dan karena memahaminya lantas ia pantas mengimaninya. Ini iman secara rasional. Dalam ungkapan ini orang beriman bukan karena ia mengerti bahwa itu harus diimani, melainkan orang mengerti karena ia mengimaninya.
Sifat ini berlawanan dengan sifat filsafat rasional. Dalam filsafat rasional, pengertian itulah yang didahulukan; setelah dimengerti, barulah mungkin diterima dan kalau mau, diimani. Mengikuti jalan pikiran inilah maka saya berkesimpulan bahwa jantung dari filsafat abad pertengahan Kristen terletak pada ungkapan itu. Berdasarkan penalaran itu pula, maka menurut hemat saya tokoh utama peletak kekuatan filsafat abad pertengahan adalah St Anselmus itu.
Apakah kaedah ini (iman agar mengerti) dapat dianggap sebagai rumus filsafat yang dapat berlaku umum? jawaban yang jelas atas pertanyaan ini sulit dikemukakan. Yang dapat dikemukakan adalah bahwa kaedah ini lebih kurang dianut, juga dalam filsafat Islam. Contoh yang menonjol dalam Islam, misalnya pada filsafat al-Ghazali. Di dalam perbandingan ini kita menemukan semacam keganjilan. Mengapa penerapan kaedah itu dalam Kristen menimbulkan akibat sains dan filsafat terhadap perkembangannya, tetapi penerapan rumus itu dalam perkembangan pemikiran Islam tidak menyebabkan tersendatnya perkembangan filsafat dan sains dalam Islam?.
Kelihatannya filsafat credo ut intelligam itu tidak akan merugikan perkembangan filsafat dan sains seandainya wahyu yang dijadikan andalan adalah wahyu yang tidak berlawanan dengan akal logis. Hal ini kita temukan misalnya dalam Islam . filsafat dalam Islam  berkembang amat pesat karena keyakinan (iman). Islam  tidak ada yang berlawanan dengan akal logis, yang ada adalah bagian-bagian yang berada di daerah supralogis atau supra rasional. Agaknya teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa filsafat tidak berkembang secara wajar selama lima belas abad pada periode abad pertengahan yang dikuasai oleh semangat Kristen itu, jadi dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus mengakibatkan filsafat tidak berkembang.
Sains, filsafat, iman dan (rasa) sebenanya merupakan keseluruhan pengetahuan dari manusia, akan tetapi, pembatasan daerah kerja (kapling)nya masing-masing harus jelas. Sains bekerja pada obyek-obyek sensasi, filsafat pada obyek abstrak yang logis, sedangkan hati (rasa) bekerja pada daerah abstrak supra logis. Yang seperti ini sesungguhnya telah disebut juga oleh Bonaventura. Menurut pendapatnya manusia memiliki tiga potensi (kemampuan): indera, akal, dan kontemplasi. Hasil kerja dari masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurang jelasan perbatasan daerah inilah yang sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara sanis, filsafat, dan iman.
Kelemahan lain dalam filsafat Kristen pada abad pertengahan itu adalah sifatnya yang terlalu yakin pada penafsiran teks kitab suci. Penafsiran sebenarnya tidak lebih berarti dari pada sekadar filsafat juga. Jadi, penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya, tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu rata-rata merangkap sebagai “orang suci” (sains), maka filsafat mereka telah menempati pengertian agama yang absolut dalam dirinya. Inilah barangkali yang menyebabkan penekanan psikologis maupun phisis terhadap filosof lain yang pemikirannya berbeda dari pemikiran filosof gereja. Pada abad pertengahan itu agama kristen boleh dikatakan bukan lagi kitab suci, melainkan penafsiran kitab suci oleh para sains tersebut. Berbedanya pemikiran copernicus dan galileo dengan pemikiran tokoh-tokoh gereja misalnya, telah menyebabkan kedua tokoh sanis itu dihukum. Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersebut bukan berlawanan dengan kitab suci, melainkan berbeda dari pendapat tokoh gereja yang mengatas namakan kitab suci. Jika perlawanan dengan kitab suci, berarti kitab suci itu yang salah, karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kedua ilmuwan itulah yang benar.
Uraian tadi menunjukkan bahwa pada abad pertengahan ini, iman, (hati) benar-benar telah menang melawan akal dan berhasil mendominasi jalan hidup abad pertengahan (di Barat). Akibat-akibatnya amat mudah untuk dipahami: filsafat dan sains berhenti; jangankan menemukan yang baru, menjaga warisan yunani saja zaman ini tidak mampu.
Abad pertengahan melahirkan juga filosof yang lumayan, yaitu Thomas Aquinas. Ia lahir pada masa-masa menjelang habisnya kekuatan agama Kristen mempengarui jalan pemikiran. Tekanan terhadap pemikiran rasional pada waktu ia hidup telah banyak berkurang. Oleh karena itu, ia berhasil mengumumkan filsafat rasionalnya. Yang terkenal adalah beberapa pembuktian adanya Tuhan yang masih dipelajari oleh orang hingga saat ini. Tetapi filsafatnya ini tetap saja tidak disenangi oleh banyak tokoh di kala itu. Lima dalil tentang adanya Tuhan dari Thomas Aquinas itu sebenarnya tidak lah kuat sebagaimana yang di duganya. Kelak banyak filosof yang menolaknya terutama Kant.
Konsklusi yang dapat ditarik daripada bukti-bukti yang bermacam-macam tentang adanya Tuhan adalah bahwa kita harus mencapai/mencari tafsiran tentang dunia ini dalam Tuhan yang sebagai persoon, yakni Tuhan yang dalam Bibel disebut The Living God yang persamaannya kita dapati pula dalam ayat Kursi (Q.S. al-Baqarah, 2 :225):
Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluknya); tidsak mengsantuk dsan tidak tidur.”[1]
Bagaimanakah hubungan antara Tuhan dan alam, kalau Tuhan merupakan persoon maka hubungannya harus merupakan bahwa alam itu bersandar kepada alam. Contoh, seorang seniman mencurahkan tenaganya dalam lukisan, akan tetapi lukisan bukan merupakan keseluruhan seniman tadi. Dengan perkataan lain, oleh sebab Tuhan itu persoon maka ia harus bersifat transcendent, yakni berada di luar alam dan di luar diri kita. Transcendent, yakni anggapan bahwa Tuhan di luar alam, serta Immenent, yakni anggapan bahwa Tuhan dalam alam termasuk diri kita sendiri, bukan merupakan dua Tuhan yang bertentangan akan tetapi merupakan dua konsep yang menyempurnakan satu kepada yang lainnya.
Tuhan itu terlibat sebagai Immanent di dalam susunan alam yang merata, tetapi dalam alam ini tidak akan terdapat susunan yang rapi kalau Tuhan itu hanya merupakan susunan itu. Hanya kalau Tuhan itu transcendent, maka alam dapat menjadi perantara tindakan-tindakannya. Mukjizat dapat terjadi sebab Tuhan transcendent. Kita tak dapat menggambarkan bahwa kemerdekaan kemauan Tuhan itu dibatasi oleh susunan alam yang kita buat. Inilah sebabnya maka tak ada hukum alam yang telah diketahui oleh ilmu fisika bersifat mutlak (ultimate). Hanya Tuhan lah yang bersifat mutlak.
Di sinilah letak dasar perselisihan antara naturalisme dan theisme. Seorang yang percaya kepada Tuhan menganggap bahwa segala sesuatu dalam alam ini dilakukan oleh Tuhan yang mempunyai maksud, yaitu bahwa alam ini bukan merupakan alam yang berdiri sendiri, akan tetapi harus dicari tafsirannya di luar alam itu sendiri. Sebaliknya seorang naturalis berpendapat bahwa transcendent adalah suatu hal yang tidak lazim.
Oleh karena Tuhan transcendent, yang berarti bahwa Tuhan itu subyek, yaitu persoon yang menjadi tafsiran bagi segala sesuatu yang terjadi dalam alam, maka hubungan kita terhadap Tuhan itu merupakan hubungan yang timbal balik.
Manusia mencari Tuhan akan tetapi Tuhan juga memperhatikan manusia. Banyak buku-buku agama yang menggambarkan bahwa manusia telah mencapai tingkatan yang tinggi, ia akan menemui Tuhan, seolah-olah untuk bertemu kapada Tuhan hanya tergantung pada diri orang itu sendiri. Tuhan tidak merupakan suatu Zat yang diam tersembunyi dan yang tak menaruh perhatian terhadap manusia.
Dalam persoalan ini ada dua orang Barat yang telah memberi penjelasan yang dalam; pertama, Prof. Rufus. M. Jores telah menulis buku yang berjudul The Double Search, dan yang kedua, Prof. Heschels yang telah menulis buku God In Search of Man.
Al-Qur’an mengandung paham yang semacam itu, seperti yang tersebut dalam Surat al-Hadiid, 57:9
Artinya: Ia (Allah) yang telah menurunkan kepada hamba-Nya (Muhammad) ayat-ayat yang terang, yaitu untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih dan Penyayang.[2]
“Masalah terpokok dari segala persoalan filsafat”, menurut Friedrich Engels (1820-1895) dalam bukunya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman ialah masalah hubungan antara pikiran dan keadaan, hubungan antara jiwa dan alam… masalah tentang hubungan antara pikiran dan keadaan adalah masalah tentang manakah yang primer antara jiwa dan alam. Para filosof dapat dibagi ke dalam dua kubu menurut jawaban masing-masing terhadap masalah tersebut. Mereka yang berpendapat bahwa jiwa berada lebih dahulu dari pada alam dengan demikian akhirnya mengakui teori tentang Demiurge (Pencipta dunia), telah membentuk kubu idealisme. Sedang mereka yang mengakui alam sebagai sumber segala sesuatu, merupakan berbagai aliran dari materialisme. [3]  
Jadi menghadapi pertanyaan “Apakah pokok sarwa- yang ada ini; materia-kah atau idea?”, Sejak pagi filsafat sudah terbagi atas dua kubu yang saling berhadapan muka. Materialisme menjawab: Material idealisme menjawab: Idea !- Adakah Tuhan?
V. Afanasyev, seorang filosof materialis berkata : Materialism is an implacable foe to religion; in a world were there is nothing else except matter in motion there is no room for apakah God.[4] (Materialisme adalah musuh agama yang tidak dapat didamaikan sama sekali; dalam dunia yang tidak terdapat apapun selain materi yang bergerak, maka tidak ada tempat bagi Tuhan). Jadi materialisme menjawab :Tuhan itu tidak ada !
Idealisme subyektif berpendirian: bangunan hotel Indonesia di Jakarta itu sesungguhnya tidak ada; yang ada ialah idea atau pikiran kita tentang bangunan tersebut. Idealisme obyektif produk universal idea. Atau universal will, ataupun absolut idea, atau absolut will. Idea atau Iradah yang universal dan mutlak itu sering diidentifikasikan dengan Tuhan. Jadi idealisme menjawab: Tuhan itu ada !
Jadi, dengan filsafatnya manusia dapat sampai kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu tidak ada; dengan filsafatnya pula manusia dapat sampai kepada kesimpulan bahwa Tuhan itu ada. Kedua-duanya adalah  filsafat” yang berpendapat “bahwa Tuhan itu ada “ inipun beraneka corak macamnya :Tuhan itu ada, Tuhan itu banyak: itulah politheisme! Tuhan itu ada, Tuhan itu dua:  itulah untuk mudahnya kita sebut saja, dua-theisme. Tuhan itu ada, Tuhan itu tiga: itulah tri-murti, tri-theisme. Tuhan itu ada, Tuhan itu satu: itulah monotheisme. Yang berpendirian “bahwa Tuhan itu satu” inipun beraneka corak pula: Tuhan itu satu, Tuhan itu alam, alam ini Tuhan: itulah pantheisme. Tuhan itu satu, Tuhan itu aku, aku ini Tuhan, itulah misalnya, al-Hallaj. Tuhan itu satu, Tuhan itu adalah, maafkan, bagian vital dari tubuh manusia, itulah pendirian yang juga dianut oleh kelompok manusia tertentu. Kesemuanya itu adalah filsafat.
Blaise Pascal (1623-1622) pernah mengatakan :”Allah Abraham, Allah Isa, Allah Jaqub, bukanlah Allah para filosof! ”Maksudnya: ketuhanan bikinan para filosof itu tidak sama dengan Tuhan  yang hidup menurut Kitab Suci.
“Memang benar dalam sejarah filsafat sering Allah itu diciptakan menurut peta dan tauladan manusia !”, tulis D. C. Mulder
Allah itu satu pengertian filosofis, bukan suatu kenyataan yang hidup. Misalnya: dalam filsafat Aristoteles Allah itu noesis noeseoos atau akal yang tertinggi dalam filsafat Neoplatonisme Allah itu keesaan mutlak (to hen) menurut Descartes Allah itu menjamin bahwa pikiran-pikiran akal memang benar. Allah di sini merupakan puncak dari Rasionalisme. Menurut Hegel, Allah itu Roh Mutlak yang menjadi insaf akan diri sendiri dalam filsafat idelisme.[5]  Kesemuanya itu adalah filsafat !
_____________________
[1] Yayasan penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan terjemahnya, Depag RI, Surabaya, 1978, hlm. 63.
[2] David Trueblood, Filsafat Agama, terj. H.M Rasjidi, Bulan Bintang Jakarta, 1965, hlm. 165-166
[3] Endang Saifuddin Anshari, M.A. Ilmu Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu, Surabaya 2002, hlm. 110
[4] Endang Saifuddin Anshari, M.A. Ibid, hlm. 111.
[5] Endang Saifuddin Anshari, M.A. Ilmu Filsafat dan Agama, PT Bina Ilmu Surabaya, 2002, hlm. 112