Nafkah
ditinjau dari berbagai sudut mempunyai beberapa macam makna, baik dari segi
bahasa, ahli hukum dan fuqaha. Namun dari semuanya itu mengandung makna dan
tujuan yang sama yaitu memberi belanja.
a. Pengertian Menurut Bahasa
Menurut
bahasa Indonesia
nafkah adalah :[1]
1) Belanja untuk memelihara kehidupan
2) Rezeki, makanan sehari-hari, bekal hidup sehari-hari
3) Uang belanja yang diberikan kepada istri
4) Uang pendapatan, mencari rizki, bekerja untuk mencari
uang untuk hidup, suami wajib memberi kepada istrinya uang belanja.
Sedangkan
menurut lughot al ‘Arabiyah nafkah berasal dari kata النفقة ج نفقات artinya belanja, biaya.[2]
b. Pengertian Menurut Ahli Hukum
Drs
Sudarsono dalam kamus hukumnya[3]
berpendapat bahwa nafkah adalah:
1)
Belanja
untuk hidup sebagai pendapatan, uang, belanja dari suami yang diberikan kepada
istri.
2)
Rezeki,
bekal hidup sehari-hari; mata pencaharian.
Sedangkan
menurut Dahlan dalam Ensiklopedi Hukum Islam yang dimaksud nafkah adalah
pengeluaran, artinya pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang
untuk sesuatu yang baik atau dibelanjakan oleh seseorang untuk sesuatu yang
baik atau dibelanjakan untuk orang-orang yang +menjadi tanggung jawabnya.[4]
c. Pengertian Nafkah Menurut Fuqaha
Dalam
kitab Kifayatul Akhyar, Imam Taqiyyudin berpendapat bahwa yang disebut nafkah
adalah:
النفقة مأخوذة من الانفاق والاخراج
“Kata nafaqah berasal dari kata
infaq, yang artinya barang yang dibelanjakan, memperbelanjakan, dan dari kata
ikhraj yang berarti perbelanjaan, ongkos, pengeluaran.”[5]
Abdur
Rahman al Jaziri berargumen bahwa nafkah adalah :
اما فى اصطلاح
الفقهاء فهي اخراج الشخص مؤنة من تجب عليه نفقة من حبز وادم وكسوة ومسكن وما يتبع
ذلك من ثمن ماء ودهن ومصباح ونحو ذلك
“Nafkah menurut istilah ahli
fiqih adalah pengeluaran seseorang atas sesuatu sebagai ongkos terhadap orang
yang wajib dinafkahinya, terdiri dari roti, lauk pauk, tempat tinggal dan apa
yang mengikuti dari harga air, minyak, lampu dan sebagainya.”[6]
Pendapat
beliau tersebut lebih jelas dan lengkap serta mencakup seluruh pengertian yang
tersebut di atas, di mana rumusan ini menggambarkan seluruh kebutuhan primer di
dalam keluarga.
Dan
beberapa definisi di atas, baik dari segi bahasa, ahli hukum maupun fuqoha,
penulis dapat menyimpulkan bahwa nafkah adalah semua pengeluaran pembelanjaan
seseorang atas orang yang menjadi tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan
pokok yang dihajatkan.
Adapun
kebutuhan pokok dalam kehidupan pada dasarnya ada 3 macam yaitu: kebutuhan
pangan, pakaian dan tempat tinggal. Ketiga kebutuhan ini merupakan kebutuhan
primer bagi setiap insan yang mau tidak mau kebutuhan tersebut harus terpenuhi
sebagai bahan dalam kehidupan manusia, sebab realitasnya seseorang tidak bisa
beraktifitas dalam kondisi perut kosong, sebaliknya jika perut terisi orang
tersebut dapat beraktivitas dengan baik dan tenang.[7] Sedangkan ahli fiqih lainnya, berpendapat bahwa
kebutuhan pokok itu hanyalah pangan saja. Mengingat banyaknya
kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh keluarga dan anggota-anggota keluarga,
maka dari kedua pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang
merupakan kebutuhan pokok yang minimum itu, ialah pangan sedang
kebutuhan-kebutuhan yang lain disesuaikan dengan kemampuan dari orang-orang
yang berkewajiban memenuhinya.
Selain
dari maksud dan pengertian tersebut di atas, nafkah mengandung arti sesuatu hak
dan kewajiban, sebagaimana hak kebendaan yang lain. Hak nafkah merupakan hak
kebutuhan yang bisa dimiliki oleh seseorang terhadap yang lain. Hal salah satu
pihak untuk minta belanja (biaya kebutuhan pokok). Sebaliknya merupakan suatu
kewajiban nafkah ini maka seseorang bertanggung jawab atas kesejahteraan
keluarga dalam rumah tangga.
[1] W.J.S. Poerwodarminta,
Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
PN Bakri Pustaka, 1976, hlm. 667
[2] Zaid ibn Husain Hamid,
Kamus Muyassar, Pekalongan: Raja Murah, 1982, hlm. 533
[3] Drs. Sudarsono, SH., Kamus
Hukum, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 289
[4] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 1281
[5] Taqiyyudin Abi Bakar, Kifayatul
Akhyar, juz II, Semarang:
Alawiyyah, t.t., hlm. 141
[6] Abdur Rahman al
Jaziri, Fiqh ala Madzahibil Arba’ah, juz 4, Beirut, Libanon: Dar al Kitab al Ilmiyah,
tt., hlm. 485
[7] Drs. Kamal Muchtar, Asas-asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974, hlm. 119