Urgensi Pertimbangan Psiko-Pedagogis dalam Penerapan Pendidikan Agama Pada Anak Usia Dini

Ilmu  jiwa menaruh perhatian terhadap kajian berbagai fase dalam proses perkembangan anak, karakteristik umum dari rase-fase tersebut. Dan sebagai  faktor yang mempengaruhinya ini semua membuat kita telah memahami sosok anak secara totalitas sehingga bisa mengarahkan dan mendidiknya.

Ketika lahir, seorang anak tidak mengetahui apa-apa namun tidak lama kemudian fungsi tubuh dan jiwanya mulai merealisasikan fungsinya. Inilah kemudian yang menjadi landasan kesadaran dan pengetahuannya tentang alam luar. Dalam perkembangan anak dikemukakan fungsi tubuh dan jiwanya saat itu, sehingga kita dapat mengarahkan dan mendidiknya, khususnya di dalam menanamkan nilai agama.

Menurut imam Al-Ghozali, anak adalah amanat dari Allah, kepada kedua orang tuanya. Hatinya yang masih suci, bersih, dari segala noda dan kotoran (ketika ia dilahirkan) merupakan permata yang amat bernilai. Oleh karena itu, fitrah (kesucian) yang melekat pada dirinya harus dikembangakan dengan baik. Sebab dengan kondisi tersebut, anak akan mudah menerima setiap goresan yang ditunjukkan.[1]

Dalam bab III telah dikaji tentang upacara-upacara yang disunnahkan agama disaat menerima kelahiran yaitu berupa adzan, tehnikah, tasniyah dan tahliyah/dicukur sampai kepada khitan. Semuanya itu kalau dikaitkan dengan kajian psikologi (khususnya psikologi perkembangan). Mengumandangkan adzan di telinga sebelah kanan dan iqomah di sebelah kiri ketika bayi baru saja lahir. Yang demikian telah dilakukan Rasulullah ketika Husain bin Ali lahir. Sahabat Abu Rafi’ mengetengahkan kesaksian terhadap apa yang dilakukan Rasulullah dengan mengatakan :
رايت رسولالله صلي الله عليه وسلم اذن الحسن ابن علي حين ولدته فاطمة رضيالله عنها (رواه ابو دوود والترميذسي) [2]

Artinya :”Aku melihat Rasulullah saw mengumandangkan adzan di telinga Husain bin Ali pada saat Fatimah melahirkannya”. (HR. Abu Daud dan Tarmidzi)

Tentang mengadzani bayi yang baru lahir Syekh Ibnu Qayyim Al-Jauzi memberikan komentar bahwa rahasia yang tersimpan di balik dikumandangkannya adzan pada telinga bayi yang baru lahir, pada hakekatnya hanya Allah sendiri Yang Maha Tahu.[3] Tapi secara analisis bahwa kalimat yang pertama didengar oleh bayi yang baru lahir adalah ungkapan pernyataan yang mengandung makna pengagungan terhadap Allah. Serta memuji atas kebesaran-Nya. Ungkapan tersebut diikuti kalimat sahadat, sebagai kalimat yang pertama kali ketika seseorang pertama kali memeluk agama Islam.

Kedudukan adzan merupakan talkin (pelajaran) buat sang bayi tentang perihal syiar Islam sewaktu dia mulai memasuki alam dunia yang fana ini. Di dalam adzan terkandung makna lain, yakni ajaran untuk mengenal Allah, agama serta ajakan untuk beribadah kepadanya. Dan selayaknya ajakan itu terlebih dahulu diperdengarkan kepada sang bayi sebelum dia mendengar ajaran bisikan setan yang selalu menyesatkan manusia. Allah menciptakan manusia menurut fitrah sehingga fitrah itu lebih dahulu sampai pada sang bayi.

Rahasia mengadzani dan mengiqomati sebagaimana disebut oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya Tahfadzul Maudut. Ialah agar getaran pertama yang didengar manusia itu kalimat panggilan agung yang mengandung kebesaran dan keagungan Allah dan kesaksian pertama masuk Islam.[4] Tidak diingkari lagi bahwa pengaruh adzan itu akan sampai ke hatinya dan akan mempengaruhinya meski ia sendiri tidak menyadarinya. Di dalam adzan terkandung makna yaitu ajakan terhadap Allah SWT dan kepada agamanya, lebih dahulu sampai kepada sang bayi.

Di dalam adzan juga terkandung makna lain yakni ajakan untuk mengenal Allah dan sedapat mungkin bayi selalu mendengarkan kata-kata yang baik. Secara psikologis kenapa adzan itu dilakukan di awal pertumbuhan, hal ini disebabkan bahwa pertumbuhan alat indera lainnya dengan adanya rangsangan dari luar melalui adzan yang dikumandangkan di telinga anak akan diolah secara sensoris yang disalurkan menuju ke pusat saraf dalam otak. Di dalam otak rangsangan disimpan sebagai chazanah, ingatan anak yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali dimana otak anak pada awal pertumbuhannya masih belum banyak rangsangan yang mempengaruhinya sehingga adzan yang dikumandangkan ke telinga anak yang mengandung kalimat tauhid disimpan lebih awal di dalam otak anak.

Sehingga pada gilirannya juga akan sangat mempengaruhi perkembangan daya pikir anak. Oleh karena itu pengisian otak anak dengan sesuatu yang baik (adzan) melalui rangsangan di alat indera pendengaran anak, akan memberikan arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya, khususnya Pendidikan Agama.

Ketika adzan berikut kalimat yang terkandung di dalamnya, di antaranya adalah kalimat takbir dan tauhid, akan menyentuh pendengaran sang bayi, maka kalimat adzan itu ibarat teteasan air jernih yang mengalir ke dalam telinga sang bayi sesuai dengan fitrah dirinya. Saat itu sang bayi belum bisa merasakan apa-apa, hanya saraf memori yang mampu merekam bunyi adzan yang sedang diperdengarkan kepadanya. Kalimat ini akan mampu mencegah nafsunya dari kecenderungan melakukan kemusyrikan serta memelihara dirinya dari kemusyrikan itu sendiri.[5] Kalimat adzan seakan-akan memberikan didikan psikomotoris terhadap pendengaran sang bayi, agar terbiasa mendengarkan panggilan nama yang baik serta pengertian makna dan pengaruh yang terkandung di dalamnya.

Kelemahan dalam menyikapi serta memperlakukan anak yang baru lahir telah digariskan dalam sunnah Rasulullah, seperti memberi nama kepada bayi pada minggu pertama dari kelahirannya. Sebagai figur Rasulullah memberikan nama kepada putera puteri dan keluarga, sanak kerabat dan para sahabatnya pada minggu pertama dari kelahiran sang bayi. Beliau selalu memilih nama yang mengandung makna yang baik serta redaksi yang enak didengar telinga. Maksud dan harapan dari pemberian nama yang baik adalah sebagai pengantar yang  positif di awal pertubuhannya.

Sedang mengenai tahnik (mengoles langit-langit dengan buah korma yang terlebih dahulu dilumatkan). Hal ini memiliki pengaruh positif terhadap otot-otot, sedang otot-otot langit mulut bayi yang baru saja lahir membutuhkan aktifitas pergerakan. Dan kelezatan buah korma yang manis alami tentu lebih mampu merangsang saraf-saraf mulut daripada makanan lain yang secara lahiriah mudah dicerna.[6]

Sekilas memang kaitan antara buah korma dan mulut bayi berkesan serba materi. Tapi efek yang membekas dari pencicipan makanan buah korma ini akan diabadikan oleh memori kesadarannya. Seiring dengan tumbuh kembangnya seorang manusia maka dampak tahnik akan memerikan dorongan tersendiri untuk mencintai hal-hal yang serba manis. Dia terbiasa untuk memberikan dan menerima hal-hal yang serba manis dalam arti luas, ia akan menentang segala hal yang buruk. Dia hanya akan menerima hal-hal yang baik, sehingga terjauh dari kekejian. Dan dia akan selalu cenderung kepada hal-hal yang baik.

Tentang aqiqah yang diberi makna sebagai pengajaran untuk bersyukur dan bermurah hati. Aqiqah adalah penyembelihan kambing sebagai selamatan bayi yang baru lahir lalu membagikan daging sembelihan yang telah dimasak kepada fakir miskin. Jadi pengertian mengalirkan darah hewan sembelihan di sini adalah sebagai amal taqarrub kepada Allah. Peristiwa ini dilangsungkan setelah bayi dicukur rambutnya yaitu pada hari ke tujuh setelah kelahiran.

Sesuai dengan fitrahnya, anak yang baru lahir belum mampu merasakan dan belum menyadari apa yang terjadi di sekitarnya. Namun seiring dengan berlalunya masa dan bertambahnya usia, maka setelah dewasa nanti dia akan menyaksikan peristiwa serupa, sehingga ia akan melaksanakan hal yang sama untuk orang lain. Kesadaran tentang disunnahkannya aqiqah akan semakin berakar dalam sanubari, di samping dia akan mengetahui hakekat serta tujuan yang tersimpul dalam peristiwa itu. Dia semakin memahami bagaimana harus berbuat ikhlas kepada Allah, seiring dengan pemahaman terhadap inayah yang diberikan kepadanya.

Tentang aqiqah yang diberi makna sebagai pengajaran untuk bersyukur dan bermurah hati. Cerita mengenai dia, anak telah diaqiqahi dengan menyembelih kambing yang dibagikan kepada jiran, tetangga akan didengar oleh anak sejak kecil akan membekas dalam jiwanya.

Sejak awal telah menumbuhkan benih rasa solidaritas bagi anak. Sebab secara teoritik bahwa prilaku sosial anak menggambarkan adanya proses sosialisasi yang pada gilirannya bisa menimbulkan kerjasama di antara mereka. Di dalam interaksi sosial mereka maka dalam menumbuh suburkan rasa solidaritas sosial anak dibutuhkan penciptaan suasana yang mampu membangkitkan citra rasa sosial tersebut bagi anak, sehingga wajarlah makna aqiqah adalah salah satu upaya menuju ke arah itu.

Selaku orang tua yang berpegang teguh pada ajaran Islam, menjalankan sunnah mulia ini pada hakekatnya merupakan proses pembangunan anak sejak dini. Menanamkan nilai fitrah kemanusiaan pada diri seorang bayi. Berarti dia sedang menumbuh kembangkan berbagai ciri khas seorang muslim yang berbeda, yakni membiasakan sang bayi respek terhadap hal yang mempuyai maksud luhur lagi mulia.

Sesungguhnya bayi yang terlahir dari keluarga muslim, dan menjalankan petunjuk ilahi serta sunnah Rasul, maka dia akan tumbuh sejalan dengan fitrah yang telah digariskan oleh Allah untuk dirinya. Yakni menjadi manusia yang sempurna di dalam kecenderungannya dan tabiatnya menjadi sosok yang mampu berdiri sebagai contoh bagi kesempurnaan manusia, baik sebagai anak, pemuda ataupun sebagai penanggung jawab keluarga.

Maka mengumandangkan adzan, pemberian nama yang baik, tahnikah, tahliyah adalah usaha memberikan situasi yang positif dalam pertumbuhan dan perkembangan. Sebab secara positif dalam pertumbuhan dan perkembangan, anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor yang bersifat pembawaan namun juga dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lingkungan.

Kedua faktor itu selalu berintegrasi di dalam mempengaruhi perkembangan anak. Oleh karena itu diperlukan penataan lingkungan yang baik bagi pertumbuhan anak, dengan ini diharapkan supaya anak tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang baik pula kelak di kemudian hari.

Penjelasan kajian secara teoritik tersebut di atas, dapat memperkuat alasan ajaran Islam yang diberikan pada awal pertumbuhan anak, sebab anak yang tumbuh dimulai dengan hal-hal yang positif yang diawali dengan pengembangan keagamaan sebagai bagian yang integral. Dari pertumbuhan dan perkembanagan bagi pembentukan kepribadiaannya. Dengan melalui dasar agama yang dimiliki anak akan memberi makna dan nilai terhadap perjalanan hidupnya kelak di kemudian hari.

Dari sisi inilah untuk mengisi jiwa anak dan menumbuhkan potensi keberagamaannya yang fitri ketika jiwanya masih suci dan belum dikotori oleh bujuk rayu setan, merupakan dasar-dasar yang elementer edukatif dari ajaran Islam yang seharusnya ditanamkan pada anak.

Penanaman atau penyediaan lingkungan Islam semacam ini, sifatnya alamiah, sebab jika tidak demikian si anak akan mencari atau menerima alternatif nilai dan suasana lingkungan yang lain. Sebagaimana diisyaratkan oleh hadits nabi, bahwa kemungkinan ia akan menjadi penganut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Maka menurut hemat penulis, metode yang sesuai dengan anak-anak dalam menanamkan nilai-nilai agama, antara lain adalah melalui keteladanan, penciptaan lingkungan yang mendidik, dan juga pemberian nafkah yang halal dan baik. Dengan keteladanan maka anak-anak akan belajar dengan meniru, kemampuan seorang anak kecil untuk mengamati dan meniru merupakan suatu sifat yang menakjubkan.[7] Semakin banyak si anak mendapat sentuhan latihan-latihan keagamaan waktu kecil, sewaktu dewasanya nanti akan semakin terasa kebutuhannya kepada agama dalam pembinaan kepribadiaannya.

Dalam hal ini ibu Zakiah Daradjat menyatakan “Sesungguhnya kekaguman dan penghargaan terhdap bapaknya  adalah penting untuk membina jiwa, moral, dan pikiran. Sampai umur + 5 tahun, dan inilah bibit yang akan menumbuhkan kepercayaan kepada Allah dalam masyarakat beragama. [8]

Perkembangan sikap keagamaan anak sangat erat hubungannya dengan sikap percaya kepada Tuhan yang telah ditanamkan ke dalam lingkungan keluarga dan lingkungan pergaulan. Sikap tersebut senantiasa mendapatkan dorongan dari orang tuanya dan juga kawan sebayanya sampai kepada pengamatan ajaran agama serta penghayatan terhadap nilai-nilai spiritual agama dalam kegiatan hidupnya di kemudian hari. [9]

Pembentukan pribadi  yang utuh dan terpuji menjadi tanggung jawab orang tua. Keluarga adalah tempat pendidikan   yang pertama, karena sejak anak lahir dididik di dalam keluarga. Selain itu lingkungan keluarga juga disebut lingkungan pendidikan yang utama, artinya yang paling penting dan sangat menentukan. [10]

Materi yang sangat penting diberikan kepada anak usia dini adalah pendidikan budi pekerti. Bentuknya bukan mata pelajaran, tetapi menanamkan nilai, harkat dan martabat kemanusiaan, nilai moral, watak, dan pada akhirnya pembentukan manusia yang berkepribadian. Budi pekerti bertujuan untuk mengatur hidup manusia. Akhlak sama dengan moralitas yang berisi adat istiadat, sopan santun, dan prilaku, yang dapat membentuk sikap terhadap manusia, Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan alam sekita. Jika kelima sikap dan prilaku di atas sudah ditanamkan, maka seseorang akan menjadi manusia yang berbudi luhur dan mulia.

Cara membentuk kelima unsur itu disesuaikan dengan perkembangan dan usia anak didik. Pendekatan yang baik dan tepat adalah apabila anak tidak merasa bahwa sikapnya sedang dibentuk. Contoh teladan, dapat digunakan untuk membentuk sikap itu. Oleh karena itu orang tua perlu diberikan penyuluhan agar bersikap dan berprilaku sopan dihadapan anaknya atau diajak berdiskusi tentang sikap dan prilaku anak yang baik. [11] Melakukan pengenalan dan pengalaman prinsip norma agama dengan memberikan bimbingan dan praktek keagamaan. Tujuannya memberi sikap dan kesadaran akan pentingnya kegiatan keagamaan. Bagi keluarga selain itu bisa juga melakukan kunjungan ke tempat beribadah berbentuk mini dan gambar-gambar yang bernafaskan agama. Manfaatnya adalah untuk menanamkan nilai agama dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sesungguhnya pemikiran si anak tentang Allah (Tuhan) tidaklah sekedar arti yang disimpulkannya secara sadar dari kata Allah. Akan tetapi hal tersebut mempunyai dasar yang jauh ke alam tidak sadar atau dengan perkataan lain ia mempunyai permulaan-permulaan kejiwaan yang mendahuluinya, yang dalam hal ini perlu kita kenal pertumbuhan pikiran anak-anak.

[1] Muhammad Jamaluddin al Qasimi ad Dimasyqi, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mu’min, (Mau’izatil Mukminin Min Ihya’ Ulumuddin), Moh. Abdai Rathomy, Pendidikan Islam. CV. Diponegoro, Bandung, 1975, hlm. 534.
[2] Muhammad Abduh Salam,  Abduh Syafi’I,  Musnad Imam Ahmad Ibnu Hambali, Beirut Libanon, 241 H, hal 420.
[3] Abu Firdaus Al-Halwani, Melahirkan Anak Shaleh (Kajian Psikologi dan Agama), Mitra Pustaka, Yogyakarta,  2000, hal. 38.
[4] Prof. Dr. MD. Dahlan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Remaja Rosdakarya, Bandung,  1996, hlm. 55.
[5] Abu Firdaus, Loc. Cit., hlm. 41.
[6] Prof. Dr. MD. Dahlan, Loc. Cit., hlm. 55.
[7] Sal Several. Ph.D,  Bagaimana Bersikap Baik Pada Anak Agar Anak Bersikap Baik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 82.
[8] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta,  1979, hlm. 50
[9] HM. Arifin, M.Ed, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Golden Terayan Pres Igge, Jakarta,  hlm. 51.
[10] Prof. Dr. Soegong Santosa, M.Pd, Pendidikan Anak Usia Dini, Citra Pendidikan, Jakarta, 2002, hlm. 67.
[11] Ibid. hlm.