Yang Membatalkan Pernikahan Dalam Islam

Dalam hukum Islam  kita menghenal adanya nikah yang dibatalkan difasidkan. Batal disini berarti perkawinan yang telah dilakukan itu tidak terpenuhi atau mengalami rusaknya hukum yang ditetapkan.[1] Yaitu berupa rukun perkawinan, sehingga yang bersangkutan dalam hal ini wajib mengulang kembali dan memeuhi persyaratan hukumnya agar terlepas dari kewajiban hukum yang berlaku atasnya serta mendapatkan pahala dari Allah S.W.T., jika hal ini tidak dilaksanakan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Sedang pengertian fasid disini adalah perkawinan yang telah dilasanakan itu mengalami kerusakan, tidak sah atau cacat karena tidak terpenuhi syarat dan rukunnya. Jadi pada prinsipnya antara batal dan fasid substansinya yang terkandung didalamnya adalah sama, yakni tidak sah pernikahannya. Akan tetapi antara batal dan fasid menurut Abdurrohman al-Jaziry adalah nikah yang tidak terpenuhi salah satu rukunnya dan nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari nikah (kurang), sedangkan  hukum nikah batal danfasid adalah sama yaitu tidak sah keduanya.

Terlepas dari pengertian batal atau fasid sebagaimana yang telah dipaparkan diatas, maka pada dasarnya ada dua unsur yang mempengaruhi terjadinya fasid atau batanya perkawinan, dua unsur tersebut adalah syarat dan rukun.

Syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam pernikahan. Hanya saja salah satu dari syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah (batal) demi hukum. Syarat sah nikah adalah dasar dari sahnya nikah bila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka akad nikah itu diakui keberadaannya secara hukum dan berlaku segala akibat hukum.Adapun rukun nikah adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri. Jadi tanpa adanya salah satu rukunnya maka perkawinan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan. Hal ini berarti jika suatu perkawinan dilakukan tanpa unsur pokoknya yaitu syarat dan rukun perkawinan, maka akan batal menurut hukum. Karena rukun merupakan pokok, sedangkan syarat merupakan pelengkap dari suatu perbuatan hukum. Rukun dan syarat perkawinan telah ditentukan oleh hukum syar’I dimana seorang mukallaf tidak boleh  mengantungkan suatu akad perkawinan kepada rukun dan syarat yang dikehendakinya sendiri. Karena itulah perkawinan yang syarat nilai dan tujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahma, perlu diatur dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan di syari’atkan perkawinan tercapai

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terdapat pada pasal 22 menegaskan bahwa “ Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak tepenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Selain itu terdapat penegasan pada Pasal 71 tentang suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila terdapat adanya :

1.       Seorang suami melakukan poligami tanpa seizin pengadilan agama

2.       Perempuan yangt dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi pria lain yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya)

3.       Perempunan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain.

4.       Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 undang-undang No.1 Tahun 1974.

5.       Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

6.       Perkawianan yang dilaksanakan dengan paksaan.[2]

Menurut Sayyid Abu Al Hasan pernikahan dapat dibatalkan, Bahwa untuk sahnya suatu akad disyaratkan adanya kehendak sendiri pada kedua mempelai, kalau keduanya atau salah satu diantaranya dipaksa, maka akad itu tidak sah. Tetapi kalau paksaan itu kemudian diikuti dengan kerelaan dari orang yang di paksa, maka menurut pendapat yang lebih kuat akad tersebut menjadi sah.[3]

Berdasarkan itu, maka kalau pengantin laki-laki dan perempuan menyatakan dirinya di paksa tetapi mereka berdua bergaul sebagaimana layaknya suami istri atau duduk bersanding sebagaiamana mestinya dua orang penganti baru, atau mahar diterima sikap-sikap lain yang menunjukan kerelaan, maka pernyataan terpaksa itu ditolak dan ucapan-ucapan mereka tak perlu didebgarkan juga tak perlu diperhatikan bukti-bukti sesudah adanya petunjuk yang mengisyaratkan kerelaan tersebut.
____________
[1]  Belum di Ketahui
[2]  Ahamad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 145-148.
[3]  Muh. Jawad Mughniya, Fiqih Lima Mazhab, PT. Lentera Basritama, Jakarta, 1996, hal, 316