Syarat adalah sesuatu yang tergantung adanya hukum
atas adanya syarat dan lazim dari tidak adanya syarat tidak ada hukum.[1]
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat jual beli dalam KUH Perdata adalah
sesuatu yang tergantung adanya hukum jual beli atas adanya syarat dan lazim
dari tidak ada syarat jual beli tidak ada hukum jual beli.
Syarat jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata
memang tidak disebutkan secara khusus, akan tetapi syarat jual beli itu
termasuk di dalamnya tentang syarat-syarat perjanjian pada umumnya. Sebab
syarat-syarat perjanjian secara umum juga meliputi sewa menyewa, tukar menukar,
persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam meminjam dan lain sebagainya
yang berkenaan dengan perjanjian.
Syarat sah perjanjian dalam KUH Perdata disebut dalam
pasal 1320 yang berbunyi :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat
syrat :
- Sepakat mereka yang meningkatkan dirinya.
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
- Suatu hal yang tertentu.
- Suatu sifat yang halal.[2]
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dalam
perjanjian adalah harus disertai dengan ijab qabul baik itu dengan cara
terang-terangan (sarih) atau dengan cara samar-samar (kinayah) sebagaimana
dikatakan Ibn Rusyd dalam kitab Bidayatul al-Mujtahid sebagai beikut :
انه
يقع البيع بالمالفا ظ الصريحة وبالكنا ية .
Artinya :
Sesungguhnya
jual beli itu terjadi dengan sah harus disertai dengan ucapan, baik dengan cara
terang-terangan atau dengan cara kinayah.[3]
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya juga
telah digambarkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
يا ايّهاالّذ ين امنوا لاتأ كلوا اموالكم بينكم بالباطل إلاّ ان تكون تجارة عن تراض منكم.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batal, melainkan
dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu”.[4]
Demikian juga Rosulullah SAW telah bersabda melalui
riwayat dari Ibn Hibban sebagai berikut :
عن
ابن حبان ان رسول الله قال انما البيع عن تراض منكم .
Artinya :
Dari Ibnu Hibban sesungguhnya
Rosulullah SAW bersabda : “Akad jual beli itu yang berlangsung suka sama suka
(ridha).[5]
Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan, kerelaan
dalam hukum Islam adalah suatu perbuatan yang di dalamnya tidak adanya unsur
memadharatkan (membahayakan, merugikan) diantara pihak yang melakukan
perikatan. Dengan kata lain, dalam KUH Perdata dan hukum Islam tidak ada
oerbedaan prinsip dalam hal kesepakatan ini.
Sedangkan dalam kaitannya dengan kecakapan untuk
membuat suatu perikatan dalam KUH Perdata dijelaskan bahwa kedewasaan seseorang
didasarkan pada pasal 330 KUH Perdata yang berbunyi.
“Belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak
lebih dahulu telah kawin.
Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua puluh satu tahun, maka
mereka tidak kemali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Mereka yang
belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua berada di bawah perwalian
atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat,
kelima dan keenam bab ini.
Penentuan arti
istilah “belum dewasa” yang dipakai dalam beberapa peraturan Ordonansi 31
Januari 1931, LN 1931 – 54 :
(1)
Apabila peraturan-peraturan undang-undang memakai
istilah “belum dewasa”, maka sekedar mengenai bangsa Indonesia, dengan istilah
itu yang dimaksudkan adalah “Segala orang yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
(2)
Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mulai umur 22
tahun, maka tidaklah mereka lagi dalam istilah “belum dewasa”.
(3)
Dalam paham tidaklah termasuk perkawinan anak-anak.[6]
Dengan demikian orang yang belum dewasa/ berusia 21
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan adalah dianggap belum dewasa.
Sedangkan dalam Islam, kedewasaan itu sendiri tidak ada batasan umur. Akan
tetapi jika diqiyaskan pada kebolehan berperang sebagaimana dalam hadits :
حد ثنى ابن عمر رضي الله عنهما ان رسول الله صلى الله
عليه وسلم عرضه يوم احد وهو ابن اربع عشرة سنة فلم يجزنى ثم عر ضنى يوم الخنداق
وانا ابن خمس عشرة فا وجا زنى . [7]
Artinya : Saya (Ibn ‘Umar)
diharapkan pada Rasulullah untuk berperang Uhud, dan pada waktu itu saya
berumur 14 tahun, lalu beliau tidak memperbolehkan saya ikut, kemudian saya
dihadapkan beliau untuk perang Khandaq, sedang waktu itu berumur 15 tahun, maka
beliau membolehkan saya ikut.
Maka batas dewasa itu sebenarnya kalau difahami hadits
itu adalah minimal berumur 15 tahun. Akan tetapi kalau dikembalikan pada
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, maka umur 19 tahun untuk laki-laki
dan 16 tahun untuk wanita.[8]
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, disepakati bahwa
kedewasaan untuk dapatnya melangsungkan hibah adalah berumur 21 tahun.[9]
Sedangkan dalam kaitannya dengan orang yang menerima
hibah dalam KUH Perdata berpegang pada Pasal 2 KUH Perdata yang berbunyi :
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah
dilahirkan bilamana jug kepentingan si anak menghendakinya”.[10]
Sementara dalam Islam apabila masih berupa janji, maka dapat mengakibatkan
tidka sahnya hibah.[11]
Sedangkan orang yang tidak cakap dalam KHU Perdata
yang lainnya adalah orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan. Dalam hal ini
KUH Perdata memandang terhadap orang tersebut adalah sama dengan hukum orang
yang belum dewasa yaitu berdasarkan pada Pasal 452 KUH Perdata.
Termasuk di dalam katagori ini adalah setiap orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus
ditaruh di bawah pengampuan. Jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan
pikirannya . seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah apengampuan karena
keborosannya.
Dalam Islam terhadap orang-orang yang demikian ini
adalah digolongkan kepada orang yang dungu (safih). Imam Taqiyuddin berpendapat
bahwa orang tua atauanak kecil, orang gila dan orang dungu (safih)
tidaklah sah apabila mereka membelanjakan (mentasarrufkan).[12]
Di samping itu ada firman Allah yang senada dengan
pernyataan tersebut yaitu :
ولا
تؤ توا السّفهاء اموالكم الّتى جعل الله لكم قيما .
Artinya : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta (mereka) yang ada dalam kekuasaanmu yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan”. (QS. Al-Nisa’ : 5).[13]
Dalam hal ini Ibn al-Munzir berkata sebagian besar
para ulama di negeri Islam berpendapat bahwa pembatasan itu dikenakan kepada
setiap orang yang menghambur-hamburkan hartanya, baik itu anak-anak atau pun
orang dewasa. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi :
عن ابى الضحى عن البى صلىالله عليه وسلم قال رفع القلم
عن ثلا ثة عن النا ئم حتى يستيقظ وعن الصبّحى حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل . [14]
Artinya : Dari Abu al-Duha dari Nabi SAW bersabda : “Telah diangkat
pena dari tiga orang yaitu dari orang yang sedang tidur sampai ia bangun dn dari
anak-anak hingga dewasa dan dari orang yang gila sampai ia berakal”.
Menurut “Abd al-Rahman al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh
‘ala al-Mazahib al-Arba’ah membatasi sebagai berikut :
“Adapun orang
yang berakad disyaratkan harus tamyiz. Maka tidak sah akadnya anak kecil yang
belum tamyiz dan begitu juga orang gila. Adapaun orang gila/ kurang akal/
sinting, keduanya mengerti tentang jual beli serta prinsip-prinsipnya termasuk
akibatnya dan memahami pembicaraan yang berakal mengenai maksud tujuan
pembicaraan serta dapat membuat jawaban yang bagus atasnya maka jual beli
mereka sah tetapi tidak dapat diluluskan, kecuali mendapat izin dari wali pada
sesuatu barang yang dijual atau dibeli secara khusus”.[15]
Sedangkan kaitannya dengan akad perwakilan para ulama
sepakat tentang kebolehannya, sebagaimana pendapat Sayyid Sabiq dalam kitab
Fiqh al-Sunnah sebagai berikut :
“Selain dapat
dengan lisan dan tulisan, akad juga dapat dilakukan dengan perantaraan utusan
dari satu pihak yang berakad, dengan syarat si utusan dari suatu pihak
menghadap kepada pihak lainnya. Jika tercapai kesepakatan antara kedua belah
pihak akad sudah menjadi sah”.[16]
Dengan demikian pada hakekatnya antara hukum Islam dan
KUH Perdata adalah sama-sama bertumpu pada kemampuan akal sebagai landasan
berpijak kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum. Bahkan dalam
Islam sendiri memandang akal adalah alat untuk memahami dan memperoleh sesuatu
(paham) dan dengan akal terarah kemauan (syara’) untuk pelaksanaannya.
Demikianlah masalah kecakapan dalam hal jual beli baik
dalam KUH Perdata maupun hukum Islam. Kesemuanya yang dituju adlah untuk
maslahah sehingga keduanya tidak ada masala.
[1]Dahlan Idhani, Seluk Beluk Hukum Islam, CV. Faizan,
Jakarta, 1990, hlm. 39.
[2]S. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 283.
[3]Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz II, Dar al-Kirab
al-Araby, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 128.
[4]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 177, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Depag RI, 1992. hlm. 161.
[5]Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany, Subul as-Salam, Juz
III, Sahlan, Bandung, t.th, hlm. 56.
[6]R. Subekti, Op.cit, hlm. 98.
[7]Abu ‘Abdillah ibn Isma’il al-Bukhary, Op.cit, hlm.
106.
[8]A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan
Bintang Jakarta, 1981, hlm. 86.
[9]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1992, hlm. 164.
[10]R. Subekti, Op.cit, hlm. 25.
[11]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Dar al-Fikr,
Beirut, Libanon, t.th, hlm. 461.
[12]Imam Taqiy al-Din Abi Bakr, Kifayah al-Akhyar, Juz I,
Al-MA’arif, Bandung, t.th, hlm. 267.
[13]Al-Qur’an, Surat Al-Nisa’ Ayat 5, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Depag RI, 1992. hlm. 115.
[14]Imam Abu Dawud, Sunnah Abu Dawud, Juz IV, Dar al-Fikr,
Beirut, Libanon, t.th, hlm. 141.
[15]Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib
al-Arba’ah, Juz II, Dal al-Arya al-Arabi, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 160.
[16]Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Kitab al-Arabi,
Beirut, Libanon, 1971, hlm. 93.