Tinjauan Hukum Islam terhadap Pasal 1467 KUH Perdata tentang Larangan Jual Beli antara Suami Istri

Dalam KHU Perdata terhadap larangan jual beli antara suami istri selama perkawinan berlangsung. Hal ini adalah didasarkan pada Pasal 1467 KUH Perdata yang berbunyi :
“Antara suami istri tak boleh terjadi jual beli kecuali dalam ketiga hal yang berikut :

(1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum.

(2) Jika penyerahan yangdilakukan oleh seorang suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual, atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu jika benda-benda atau uang tersebut dikesualikan dari persatuan.

(3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan. Sekedar benda-benda itu dikecualikan dari persatuan” [1]
Studi Komparasi Tentang Jual Beli Antara Suami Istri Menurut Hukum Islam Dan Kuh Perdata Pasal 1467
Ketentuan tersebut hanya mempunyai arti kalau suami istri itu kawin dengan (perjanjian) perpisahan kekayaan. Sebab kalau mereka itu kawin dalam percampuran kekayaan (yang adalah pola normal dalam hukum BW), maka kekayaan kedua pihak dicampur menjadi satu, baik kekayaan yang selama perkawinan. Ketentuan (larangan jual beli antara suami istri) ini dimaksudkan untuk melindungi orang-orang pihak ketiga yang mengadakan transaksi-transaksi dengan si suami atau si istri dimana mereka tentunya menyadarkan kepercayaan mereka kepada kekayaan si suami atau istri itu. Dalam hukum perkawinan juga kita lihat suatu larangan untuk merubah suatu perjanjian perkawinan.[2]

Dalam hal perkawinan tanpa perjanjian perkawinan menurut Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan yang berbunyi “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersam”.[3] Maka tidak ada gunanya bagi suami yang banyak hutangnya menghibahkan benda-benda yang bernilai kepada istrinya agar menyelamatkan benda-benda itu dari penyitaan dan pelelangan oleh Pengadilan untuk pembayaran hutang suami, sebab benda-benda yang dihibahkan itu menjadi harta bersama yang tidak bebas dari penyitaan dan pelelangan untuk membayar utang suami.[4]

Di samping itu keinginan pembentuk undang-undang tentang alasan untuk mengadakan larangan jual beli antara suami dan istri adalah untuk menghindarkan penipuan dan korupsi perihal pemindahan hak milik suami kepada istri atau sebaliknya dengan maksud merugikan orang-orang berpiutang (kreditur).[5]

Pada azasnya pemberian seperti itu kepada salah satu diantara suami istri sepanjang perkawinan masuk dalam harta persatuan, tetapi pembuat undang-undang memberikan kemungkinan penyimpangan artinya apat menjadi hak suami atau istri pribadi atau dengan perkataan lain tak masuk ke dalam harta persatuan.[6]
Faktor-faktor yang Harus Dipertimbangkan dalam Pernikahan
Sedangkan dalam Islam bila mana dua orang suami istri tinggal bersama-sama dalam satu rumah kepunyaan si suami, si suami dapat melakukan pemberian atas rumah tersebut kepada istrinya tanpa betul-betul menyerahkan rumah tersebut kepada istrinya itu. Suatu sikap yang betul-betul menurutkan peratura-peraturan resmi akan mengharuskan si suami berbuat sebagai berikut :

Bahwa si suami dan si istri harus meninggalkan rumah tersebut.
Bahwa si suami haruslah menyerahkan dengan resmi kepada istrinya pemilikan yang telah dikosongkan itu.
Bahwa si istri harus menerima pemilikan tersebut dan memasuki rumah itu sebagai pemilik yang tidak dapat digugat lagi.

Peraturan yang sama juga berlaku bilamana seorang istri melakukan pemberian kepada suaminya. Contoh yang kongkrit dalam Islam pernah terjadi pada masa Rosulullah SAW yaitu pada perkara Aminah dan Khadijah. Seorang suami telah melakukan pemberian atas satu rumahnya dan beberapa petak lainnya kepada istrinya. Dia telah menyerahkan kunci-kuncinya kepada istrinya kemudian meninggalkan rumahnya dalam beberapa hari (untuk memperlihatkan dengan senyata-nyatanya bahwa pemilikan telah diserahkan). Tetapi kemudian kembali ke dalam rumah tersebut dan tinggal bersama istrinya sampai hari matinya. Dalam hal ini dinyatakan bahwa pemberian tersebut adalah sah.
Tujuan dan Macam-macam Pernikahan
Jika suatu pemberian telah dilakukan oleh suami kepada istrinya dan nama si istri telah dimaksudkan sebagai pemilik yang baru ke dalam buku catatan kantor pendaftaran, sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada kenyataan bahwa si suami masih tetap tinggal disana atau tetap menerima sewa rumah tersebut setelah pemberian dilaksanakan, tidaklah mengganggu kesahan pemberian itu. Anggapan dalam suasana yang demikian ialah bahwa si suami bertindak sebagai orang yang dikuasakan oleh si istrinya itu. Selanjutnya, jika surat pemberian menyatakan bahwa si suami telah menyerahkan pemilikan kepada istrinya dan kemudian surat tersebut diserahkan pula kepada si istri dan tetap ada dalam tangannya, maka dalam keadaan ini penukaran nama pemilik tidaklah lagi diperlukan.[7]

Larangan jual beli dalam KUH Perdata ini kalau dicermati lebih lanjut ada tiga hal yang perlu dibahas yaitu yang berkaitan dengan pengecualian. Dalam KUH Perdata pengecualian itu ada tiga yaitu :

Jika sorang suami atau seorang istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya. Dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan. Untuk memnuhi apa yang menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum. Menyerahkan benda dari suami kepada istri adalah ada kemiripan dengan hibah. Dalam KUH Perdata, hibah antara suami istri selama perkawinan berlangsung juga dilarang. Hal ini termuat dalam pasal 1678 KUH Perdata :

“Dilarang adalah penghibahan antara suami istri selama perkawinan. Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah-hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si penghibah”.[8]

Menurut hukum Al-Qur’an, smua orang yang mempunyai hak untuk menerima hibah. Hibah yang diberikan kepada orang-orang yang berada dalam pengawasan walinya seperti orang yang di bawah umur, orang gila, orang mubazir, dan sebagainya, harus diserahkan kepada walinya yang bersangkutan. Orang yang tiak beragama Islam pun dapat menerima hibah dari seoang yang beragama Islam, begitu pula sebaliknya. Begitu pula hukum Al-Qur’an membolehkan seorang istri menerima hadiah dari suaminya, begitu pula sebaliknya. Dan penghibahan antara suami istri ini dilarang oleh hukum perdata dalam Pasal 1678 KUH Perdata.[9]

Dasar penghibahan antara suami istri ini boleh dalam Al-Qur’an adalah surat Al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi :

واتى المال على حبّه ذ وى القربى واليتمى والمساكين وابن السّبيل والسّا ئلين (البقراه : 177)

Artinya :    “…Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anaknya yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta…” (Q.S. Al-Baqarah : 177).[10]

Berpijak pada ayat di atas tersebut dapatlah dipahami bahwa pemberian yang paling utama adalah kepada kerabat-kerabatnya, kemudian setelah itu kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta.

Pengertian kerabat-kerabatnya disini dengan istilah al-qurba ( القر بى) menurut Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuty dimaknakan dengan al-qarabah ( القرابه).[11] Sehingga mengandung arti keluarga, kaum kerabat atau karib.[12] Sedangakan menurut menurut Mahmud Yunus karib kerabat adalah termasuk di dalamnya, anak. Istri dan lain sebagainya.[13]

Sedangkan hibah kepada suami istri yang terdapat dalam hasits adalah di dasarkan pada hadits :

عن ابراهيم قال : قال عمربن عبدالعزيز لا يرجعان واستأ ذن النبى صلىالله عليه وسلم نساء ه فى ان يمرض فى بيت عا ئشة وقال النبى صلىالله عليه وسلم العا ئد فى هبته كالكلب يعود فى قيئه . [14]

Artinya : “Dari Ibrahim, Umar ibn Abdul Al-Aziz berkata : “Tidak anak menarik (hibah yangtelahdiberikan kepada istrinya). Dan Rasulullah SAW mengijinkanistrinya ketika merawat sakitnya di rumah Aisyah. Dan Nabi berkata : “Menarik kembali hibah seperti anjing yang memakan kembali apa yang dimuntahkannya”.

Berdasarkan hadits tersebut maka jelaslah bahwa hibah kepada suami atau istri dalam slam adalah boleh dan bahkan menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada istri itu sama artinya dengan anjing yang sudah muntah kemudian dimakannya kembali.

Di samping itu kebolehan hibah kepada istri itu dalam Islam adalah sama nilainya dengan hibah kepada anak-anaknya. Sedangkan dasar pertimbangannya adalah hibah kepada orang lain saja boleh kenapa hibah kepada istri tidak boleh.

Kalau dasar pelanggaran hibah antara suami istri adalah kekhawatiran terjadi pelimpahan harta yang dapat merugikan orang lain, sebenarnya tidak ada masalah karena apapun yang terjadi yang terjadi harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama, sehingga pelimpahan harta dari suami kepada istri juga merupakan harta bersama, yang mana apabila si suami memiliki utang, si istri juga mempunyai kewajiban untuk membayar hutang suami atau bahkan kepada anak-anaknya memiliki kewajiban untuk membayar hutang orang tuanya.

Tujuan utama hibah kepada kerabat dalam Islam adalah untuk membangkitkan rasa kasih sayang, sehingga hadits Nabi SAW berbunyi :
عن ابى هريرة رضىالله عنه عن النبى صلىالله عليه وسلم قال تهاد وا تحا بّوا (رواه البخارى فى الادب المفرد وابو يعلى با ئسناد حسن).

Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Dari Nabi SAW bwrsbda : “saling memberi hadiah, niscaya kamu saling mencintai” (Diriwayatkan oleh al-Bukhary dalam kitab al-Adab al-Mufrad dan Abu Ya’la dengan isnad yang baik).[15]

Adalah dimaksudkan untuk membangkitkan kasih sayang dan menumbuhkan rasa persaudaraan, karena nilainya adalah kemanusiaan dan qurbah kepada Allah SWT. Padahal nilai qurbah itu harus didahulukan dari pada nilai yang lainnya, sebagaimana qaidah ushuliyah yang berbunyi :

المايثار بالقرب مكروه وفى غير ها محبوب. [16]

Artinya : Mendahulukan (orang lain) dalam hal qurbah adalah makruh dan di dalam yang lainnya adalah dicintai.

Dengan demikian maka berlomba-lomba dalam hal kebaikan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah adalah lebih utama dibandingkan dengan nilai yang lain. Dan keutamaan taqarrub yang lebih utama lagi adalah untuk dirinya kemudian untuk keluarga baru untuk sanak saudara.

Demikian itulah penghibahan antara suami istri selama perkawinan. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah seandainya Pasal 1678 KUH Perdata itu dihapuskan. Karena apapun yang terjadi harta yang diperoleh selama perkawinan atau sebelum perkawinan tetap dapat dipisahkan, yaitu :
  1. Harta yang diperoleh/ dikuasai suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.
  2. Harta yang diperoleh/ dikuasai suami atau istri secara perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.
  3. Harta yang diperoleh/ dikuasai sumami atau istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
  4. Harta yang diperoleh suami atau istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah, yang kita sebut hadiah perkawinan.[17]

Sehingga apabila terjadi pelimpahan antara yang satu dengan yang lain dalam arti suami istri tetap merupakan harta bersama, yang tidak dapat dijadikan alasan ingkar karena kepailitan. Karena hakekatnya adalah harta bersama.

Dengan memperhatikan uraian di atas maka nampak di satu sisi hibah antara suami istri selama perkawinan berlangsung KUH Perdata melarangnya. Namun di sisi lain kaitannya dengan jual beli, hibah/ pemberian antara suami istri itu diperbolehkan. Oleh sebab itu penulis cenderung kepada hukum Islam yang tidak melarang adanya hibah suami istri selama perkawinan.

    Jika penyerahan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari siapa ia tidak dipisahkan, berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan si istri. Demikian itu jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan.

Dalam hal ini tidaklah bertentangan dengan hukum Islam, sebab betapapun mengembalikan barang pinjaman merupakan suatu keharusan. Para Fuqaha’ mengatagorikan hutang itu adalah mal hukumy yaitu :

مايملكه الدا ئن وهو موجود فى شروة المد ين . [18]

Artinya    : “Sesuatu yang dimiliki oleh pemberi hutang, sedang dia itu berada di tangan yang berhutang.

Mengingat definisi itulah maka hutang adalah tergolong harta, sekalipun antara suami istri hutang itu harus dikembalikan. Oleh sebab itu antara hukum Islam dan KUH Perdata ada kesamaan persepsi tentang pengembalian dari suami kepada istri atau sebaliknya. Dengan demikian hal ini secara hukum diperbolehkan. Sejalan dengan kaidah umum :

الاصل فى الاشياء الما باحة.

Artinya : Pada prinsipnya sesuatu itu adlah mubah.[19]

Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan, sekedar benda-benda itu dikecualikan dari persatuan.

Dengan tidak mengurangi, namun demikian dalam ketiga hal ini, hak-hak para ahli waris pihak-pihak yang melakukan perbuatan, apabila salah satu pihak dengan cara demikian telah memperoleh suatu keuntungan secara tidak langsung.[20]

Kekurangan pemberian yang akan diberikan kepada istri merupakan kewajiban. Hal ini ditegaskan dalam kitab I’anah al-Talibin sebagai berikut :

ولود فع لمخطوبته وقال جعلته من الصداق الذى يحب بالعقود او من الكسوة التى ستجب بالعقد والتمكن وقالت بل هى هد يه التى يتجه تصد يقها . [21]

Artinya   : Apabila calon suami menyerahkan hart kepada calon istri dengan mengatakan bahwa harta itu untuk mas kawin (yang awajib karena aqad) dan kiswah yang diwajibkan karena aqad dan tamkin sedang pihak istri menyatakan bahwa harta tersebut adalah hadiah, maka perkataan istrilah yang dibenarkan.

Sementara dalam kitab al-Muhazzab dijelaskan :

وان وقعت فرقة بعد الد خول لم يسقط من الصداق شيئ. [22]

Artinya : Apabila perceraian terjadi sesudah dukhul maka mahar harus dibayar penuh.

Melihat pada permasalahan tersebut maka jual beli antara suami istri kaitannya dengan penyerahan kekurangan harta perkawinan antara hukum Islam dan KUH Prdata adalah tidak ada perbedaan.

Dengan demikian menurut penulis, jual beli anatara suami ostri setelah adanya pemisahan harta suami dan istri adalah tidak ada masalah. Dan hal ini seharusnya juga diperbolehkan dalam KUH Perdata sehingga Pasal 1467 itu dapat dihilangkan.

Footnote

[1]R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 328.
[2]R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Asitya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 100-101.
[3]Arso Sosro Atmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hlm. 94.
[4]RM. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1980, hlm. 70.
[5]Oemar salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 80-81.
[6]J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 63.
[7]Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam (Terj. Arifin Bey), Tintamas, Jakarta, 1966, hlm. 26-27.
[8]R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Op.cit, hlm. 338.
[9]Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm. 129.
[10]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 177, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1992. hlm. 43.
[11]Jalal al-Din al-Suyuti, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Usaha Keluarga, Semarang, t.th, hlm. 25.
[12]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara dan Penafsir Al-Qur’an, Departemen Agama RI,Jakarta, 1973, hlm. 336.
[13]Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim, Pustaka Mahmudiyah, Jakarta, 1957, hlm. 24.
[14]Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhary, Juz II, Dar Al-Fikr, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 90.
[15]Imam Abu al-Fadl Ahmad ibn Hajar al-Asqalany, Bulugh al-Maram, Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, t.th, hlm. 197.
[16]Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuty, al-Asybah wa al-Nazair, Toha Putra, Semarang, t.th, hlm. 80.
[17]Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 157.
[18]T.M. HASby Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 155.
[19]Abd. Al-Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Terj. Moch. Tolchah Mansur)Risalain, Bandung, 1985, hlm. 137.
[20] R. Subekti, Op.cit, hlm. 306-307.
[21] Sayyid Bakri, I’anah al-Talibin, Juz III, Dar Ihya’, Indonesia, t.th, hlm. 340.
[22] Syeikh Abi Ishaq Ibrahim al-Syairazy, Al-Muhazzab, Juz II, Toha Putra, Semarang, t.th, hlm. 61.