Dasar dan Tujuan Pembinaan Keagamaan Pada Diri Anak

Yang menjadi dasar pembinaan adalah ajaran-ajaran yang ada dalam Al-Qur'an dan al-Hadits yang semua telah difirmankan oleh Allah SWT dan telah disabdakan oleh Rasulullah SAW sebagaimana tertulis di dalam          Al-Qur'an Q.S. Ali Imron : 104.
ولتكن منكم امة يدعون الَىالْخيْرويأمرون باالْمعروف وينهون عن الْمنكر قلى واولئك هم الْمفلحون (ال عمران :104)

Artinya :    “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, dan menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.(QS. Ali Imran : 104)[1]

Dengan demikian orang yang beriman harus menyelamatkan dirinya dan warganya sesama manusia dari kerusakan budi pekerti serta untuk mencapai kebahagiaan yang berimbang antara dunia akhirat dengan cara memberi bimbingan agar mereka mempunyai budi pekerti yang luhur, segala perbuatannya berpedoman pada ajaran Islam.

Adapun tujuan dari pembinaan keagamaan ini tidak dapat terlepas dari tujuanf hidup manusia, yakni untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat sebagaimana firman Allah dalam surat Al Qashash : 77.

وابتغ فيما اتك الله الدّا رالا خرة ولاتنس نصيك من الدّنياواحسن الله اليك ولا تبغ الفساذفىالارض قلى ان الله لايحب المفسدين (77)

Artinya :    “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[2]

Dari pengertian pembinaan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembinaan adalah agar tercapainya kesempurnaan, artinya untuk mengadakan peningkatan dari yang sebelumnya. Bila sebelumnya kurang baik dan tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dasar demikian tujuan dari pembinaan keagamaan adalah mewujudkan manusia yang mempecayai dan menjalankan ajaran agama Islam dengan sepenuhnya.

Status ini mengimplikasikan bahwa manusia secara potensial memiliki sejumlah kemampuan yang diperlukan untuk bertindak sesuai dengan ketentuan Tuhan. Sebagai khalifah, manusia juga mengemban fungsi Rububiyah Tuhan terhadap alam semesta termasuk diri manusia sendiri.[3]

Sesuai dengan ajaran agama maka pendidikan Islam bukan saja mengajarkan ilmu-ilmu sebagai materi atau ketrampilan sebagai kegiatan jasmani semata, melainkan menaikkan semuanya itu dengan kerangka praktek (amaliah) yang bermuatan nilai dan moral.

Hal ini mengimplikasikan bahwa tujuan pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada pencapaian materiil untuk kepentingan dirinya melainkan meniscayakan keterpaduan antara aspek jasmaniah (lahiriah) dan rohani (batiniah) antara kehidupan dunia dan akhirat dan antara kepentingan individual dan kepentingan kolektif, dan antara kedudukan sebagai khalifah (wakil Allah) dan tugas sebagai ‘abid (hamba Allah).

Karena pembinaan agama ini ditujukan kepada anak yang nantinya akan berperan dalam pembinaan generasi muda pada umumnya dan kehidupan moral dan agama khususnya sangat penting.

Dan ini lebih banyak terjadi melalui pengalaman hidup dari pada pendidikan formil dan pengajaran. Karena nilai-nilai moral agama yang akan menjadi pengendali dan pengaruh dalam kehidupan manusia itu adalah nilai-nilai masuk dan terjalin ke dalam pribadinya.

Semakin cepat nilai-nilai itu masuk ke dalam pembinaan pribadi, akan semakin kuat tertanamnya dan semakin besar pengaruhnya dalam pengendalian tingkah laku dan pembentukan sikap pada khususnya.[4]

[1] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Jakarta, 1971, hlm. 93.
[2] Ibid, hlm. 623.
[3] Maksum Muktar, Madrasah Aliyah dan Perkembangan, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 29-31.
[4] Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hlm. 134-135.