Akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi
merupakan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Daya yang didalamnya
Al Qur’an digambarkan memperoleh ilmu pengetahuan dengan memperhatikan alam
sekitarnya.[1]
Akal adalah potensi gaib yang tidak dimiliki oleh
makhluk lain, yang mampu menuntun kepada pemahaman diri dan alam. Ia juga mampu
melawan hawa nafsu. Sehingga dengan akalnya manusia bersedia menerima berbagai
macam ilmu pengetahuan yang memerlukan pemikiran. Ilmu akal ini meliputi ilmu
yang duniawi dan ilmu ukhrawi.[2]
Oleh karena itu ada sebuah hadits yang dikutip oleh Imam Ghozali yang berbunyi
:
ما خلق الله عز وجل خلقا أكرم عليه من العقل
Artinya:
“Tidak dijadikan oleh Allah suatu makhluk yang lebih mulia daripadanya
kecuali daripada akal”.[3]
Juga pada hadits yang lain:
اذا
تقرب الناس بأبواب البر والا عمال الصا لحة فتقرب انت بعقلك
Artinya:
“Apabila manusia menghendaki Tuhan dengan pintu-pintu kebajikan dan amal
shaleh, maka dekatilah Tuhanmu dengan akalmu”.[4]
Selain itu banyak ayat Al Qur’an yang menyatakan
betapa pentingnya akal bagi pemahaman agama, alam, ilmu pengetahuan dan
hubungan diantaranya. Diantara ayat itu adalah:
ان فى خلق السموات والارض واختلا ف اليل
والنهاروالفلك التي تجرى فى البحر بما ينفع الناس وما انزل الله من السماء من ماء
فأحيا به الارض بعد موتها وبث فيها من كل دابه وتصر يف الريح والسحا ب المسخر بين
السماء والارض لأيت لقوم يعقلون.
Artinya:
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan
malam, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia
hidupkan bumu sesudah mati (keringnya) dan ia sebarkan di muka bumi berbagai
jenis hewan dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi sungguh terdapat tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan”.[5]
Dengan hadirnya hadist dan ayat di atas menjadi
jelas, bahwa kedudukan akal dalam Islam sangat penting untuk realitas baik yang
kongkrit ataupun yang gaib seperti: hidup sesudah mati. Surga, neraka, jin dan
yang lainnya. Akal dalam unsur kerjanya tidak terlepas dari unsur yang lain.
Qalbu yang merupakan bagian rohani ikut juga membantu akal dalam memahami
rahasia alam. Akal pikiran untuk mencari pemahaman realitas yang kongkrit
sedang qalbu untuk memahami realitas spiritual.
Manusia sebagai satu kesatuan jasmani dan rohani
secara garis besar kehidupannya banyak dipengaruhi oleh pikiran dan kemampuan
akalnya. Bagaimana ia mengarahkan akal dan kepada siapa akal tersebut
disandarkan, akan menentukan jalan hidupnya.
Karena akal sebagai anugerah Tuhan yang terbesar
bagi manusia pada dasarnnya adalah bebas, dan kebebasannya hampir mutlak. Oleh karena
itu anugerah itu agar digunakan sebaik-baiknya, biar manusia tidak kehilangan
jati dirinya sebagai manusia. Akal tidak difungsikan dengan baik akan mudah
terjatuh kekuasaan hawa nafsu.
1. Akal Merdeka
Bebas atau merdeka bukan berarti tanpa batas. Dalam kehidupan
sehari-hari kita bebas untuk berbuat, tetapi banyak hal yang harus kita
perhatikan ketika kita hendak berbuat sesuatu. Kebebasan untuk berbuat bukan
berarti bebas sama sekali sehingga orang lain harus terganggu, dan orang lain
juga bebas untuk mengganggu kita. Untuk itu harus ada peraturan yang membatasi
kebebasan tersebut. Peraturan ini bukan untuk membatasi kemerdekaan, bahkan
untuk menjamin kebebasan itu sendiri. Sebab kebebasan yang tanpa batas akan
membawa pada kekacauan dan bahkan memusnahkan kebebasan itu sendiri. Bagimana
dengan kebebasan akal ….?
Sebagaimana telah dijelaskan di depan akal adalah daya rohani
untuk memahami kebenaran, baik relatif atau yang mutlak. Kebenaran relatif
merupakan hasil pemikiran akal. Sedangkan untuk kebenaran mutlak, masih butuh
bantuan atau guide.
Akal merdeka ada pada sisi si pintar, juga si bodoh. Si
pintar berakal merdeka secara pintar, si bodoh berakal merdeka secara bodoh.[6]
Akal merdeka akan memperdalam dan memperteguh iman kita,
menambah khusyu’ tawadhu kita terhadap kebenaran Illahi, mungkin bisa membantu
kita mencari rahasia-rahasia firman Tuhan, menolong kita memahamkan
hikmah-hikmah suruhan dan ajaran agama, mempertinggi dan memperhalus perasaan
keimanan kita.[7]
Demikian halnya pencarian terhadap Tuhan, akal merdeka akan
mencari Tuhan yang dapat dirasionalkan, ia tidak mau menerima Tuhan yang tidak
dapat dirasionalkan akal. Sebagaimana dikatakan R. Paryana dalam “alam
pikirannya”, sebagai berikut:
“ ….akan tetapi
alat yang dipakai untuk mencari Tuhan adalah akal, dan tujuan akal adalah yang
riil dan korporil, maka hasilnya adalah Tuhan yang mempunyai rupa dan bentuk.
Ketuhanan yang didasarkan pada akal dengan sendirinya akan mencari Tuhan yang
mempunyai bentuk dan rupa manusia (anthromorphic religion). Apabila
dengan intelektualis dan logika bukti Tuhan tidak diketemukan, maka Tuhan
dianggap tidak ada”.[8]
Pendapat ini kiranya cukup beralasan, karena disebutkan juga
dalam Al Qur’an surat Al Jatsiyah ayat 23:
افرأيت من تخذ الهه هوه واضله
الله على علم وختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعد الله افلا
تذكرون.
Artinya:
“Maka apakah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhan dan Allah membiarkan sesat berdasarkan ilmunya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya, maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkan sesat. Maka
mengapa kamu tidak mengambil pelajaran”.[9]
Dengan akal bebas itu pula mereka lemparkan hukum-hukum
Islam, sehingga tidak dapat membedakan mana yang manfaat dan mana yang
mudhorat, tertutup pintu hatinya untuk memperoleh hidayah yang membawanya
kepada kebenaran sejati. Tidak selayaknya jika akal pikiran berdiri sendiri
dalam mencari kebenaran.
2. Akal Bebas Yang Terpimpin
Apabila kita berpikir semata-mata hanya dengan pikiran,
seperti telah disebutkan, hasilnya adalah kekacauan dan kesesatan. Keberhasilan
yang menyilaukan mata itu membuat manusia tidak dapat membuat manusia
mengetahui keadaan halus di depan matanya. Sesungguhnya di dalam diri manusia
itu terdapat hal-hal halus yang sangat rumit seperti; ruh, hati, qalbu dan akal
yang kesemuanya saling terkait.
Ahli-ahli pikir adalah mereka yang tergabung dalam kalangan
para filosof. Aliran-aliran filsafat dalam pemikirannya hanya sampai pada
tingkatan intuisi, artinya ilmu filsafat baru mengetahui bahwa berpikir
sebenarnya harus menggunakan bagian pusat akal yang menerima ilham atau
intuisi.[10]
Bagian pusat akal yang mengarah kepada qalbu atau budi
merupakan sumber iman yang juga menjadi mistik. Mistik yang tidak ditujukan
kearah qalbu atau budi akan menghasilkan pendapat yang dipengaruhi oleh hawa
nafsu syetan.[11]
Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran yang berdasarkan pada
intuisi beliau dapat dikatakan sebagai pemikir yang benar. Al Ghozali dalam
‘ajaibul qulub, yang dikutip oleh R. Paryana menyatakan:
“Apabila
pikiran kita dialirkan ke arah budi, maka syahwat (keinginan) maka keinginan
akan berubah menjadi daya yang dinamakan iradat, yakni kemauan (karsa) yang
tinggi derajatnya, sedangkan ghodlob (nafsu marah)akan berubah menjadi kodrat,
yakni kekuasaan berupa budi luhurnya”.[12]
Dalam ajaran Islam, akal tidak dibiarkan lepas begitu saja
bagaikan binatang ternak yang dilepaskan di padang rumput, sehingga ia dapat
bebas berkeliaran di alam pikiran. Dalam berbagai hal Islam datang kepada akal
sebagai supplemen atau pelurus dan penyambung kekuatan, dimana akal tidak lagi
mampu bekerja dalam arti mencari kebenaran. Bahwa jika seseorang mengatakan akal
dapat mencapai semua kebenaran, bukanlah ia termasuk orang yang menggunakan
akal dengan sesungguhnya.
Dari golongan mutakkalimin, Mu’tazilah adalah aliran yang
terkenal dengan kekuatan rasionalnya, banyak argumen yang ia keluarkan tentang
berbagai hal dan semua bisa diterima oleh akal. Betapapun demikian, seseorang
Mu’tazilah seperti Al Juba’i sebagai tokoh kalangan atas dari alirannya,
terpaksa harus mengaku ketika mendapat permasalahan dari seorang murid tentang
tiga orang bersaudara yang nasibnya berlainan, bahwa banyak hal yang tidak
mungkin dicampuri oleh akal merdeka.[13]
Dan akhirnya ia hanya dapat berkata “Wallahu a’alam”.
Masih banyak lagi tokoh pemikir yang akhirnya membantah akan
ketakwaan terbatasan akal. Betapa terkenalnya nama Immanuel Kant, seorang ahli
akal besar, namun ia pula membantah faham, bahwa semua permasalahan dapat
dikembalikan pada akal dan diputuskan berdasarkan kemauan akal semata.[14]
Sejalan dengan hal di atas Al Ghozali menyatakan:
“….akal pikiran
tidak berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang yang
mendukung taklid dengan tanpa memakai ilmu pengetahuan, intelektual adalah
orang yang bodoh dan hanya puas dengan ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya dari Al
Qur’an dan sunnah, adalah orang yang sombong”.[15]
Betapapun demikian pendapat dari para tokoh berbagai
golongan, namun dalam kenyataan bagai para pencari kebenaran, kedua sumber yang
saling melengkapi itu masih sering dipertentangkan. Seperti yang dialami oleh
Imam Ghozali sendiri, pada suatu saat ia percaya penuh pada doktrin agama, dan
disaat lain ia berpaling kepada kekuatan akal semesta, sehingga ia sempat
menjadi orang yang skeptis.
Ajaran Islam tidak membenarkan penempatan kedua kekuatan ini
saling terpisah. Untuk apa agama diturunkan jika tidak untuk membimbing manusia
sebagai makhluk yang berakal.
[1] Harun Nasution, Op. Cit., Hal. 13. [2] Imam Ghozali, Op. Cit., Juz. 4, Hal. 102. [3] Ibid, Hal. 102. [4] Ibid, Hal. 102. [5] Depag, OP. Cit., Hal. 40. [6] M. Natsir, Kebudayaan Islam Dalam Perspektif Sejarah, Giri Mukti Pustaka, Hal. 243. [7] M.Natsir, OP. Cit., Hal. 240. [8] R. Paryana Suryadipura, Op. Cit., Hal. 193. [9] Depag, Op.Cit., Hal. 818. [10] R. Paryana Suryadipura, Op. Cit., Hal. 195. [11] Ibid, Hal. 195. [12] Ibid, Hal. 196. [13] M. Natsir, Op. Cit., Hal. 243. [14] Ibid, Hal. 244. [15] Imam Ghozali, Op. Cit., Hal. 137.