Pendidikan secara umum adalah usaha secara sadar yang
mengarah kepada kedewasaan. Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi; yaitu dari
segi masyarakat dan dari segi individu.[1]
Dari segi masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan kepada generasi
muda agar hidup tetap berlangsung. Sedangkan dari segi individu, pendidikan
adalah pengembangan potensi-potensi yang terpendam.
Dari pengertian di atas ternyata pendidikan bertugas
mengembangkan potensi dasar yang ketika dibiarkan belum digunakan secara
optimal. Bila pendidikan dipandang sebagai suatu proses, maka proses itu akan
berakhir pada tercapainya tujuan. Tujuan yang akan dicapai oleh pendidikan pada
hakekatnya merupakan perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam
pribadi manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang
dirumuskan dalam GBHN, bahwa:
“Pendidikan
nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat keimanan kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan
agar dapat membuahkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab atas pembangunan”.[2]
Sedangkan tujuan pendidikan dalam Islam dirumuskan
dalam surat Adz Dzariat ayat 56:
وما خلقت الجن والانس الا ليعبد
ون (الذاريت:56)
Artinya:
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu”.[3]
Menyembah kepada Allah dalam arti luas, bukan sekedar
dzikir, sholat, puasa, zakat dan haji. Namun, juga beramal shaleh yang
perwujudannya memerlukan pemikiran.[4]
Kedudukan khalifah di bumi memaksa manusia untuk
selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan segala macam peristiwanya yang
menuntut adanya suatu kekuatan, baik kekuatan fisik atau kekuatan mental. Jika
kekuatan fisik merupakan bagian pokok dari tujuan pendidikan, maka pendidikan
Islam juga harus mempunyai tujuan yang mengarah kesana.
Tujuan ini ditunjukkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:
عن ابى
هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صعم المؤمن القوى خير واحب الى الله من
المؤمن الضعيف وستعد باالله ولا تعجر
Artinya:
“Dari Abu Hurairah, beliau berkata: Rasul bersabda; orang mukmin yang kuat itu
lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah ketimbang orang yang lemah. Dan pada
masing-masing itu terdapat kebaikan, maka bersemangatlah dalam hal yang
dapat mendatangkan manfaat bagi kamu dan mintalah pertolongan pada Allah,
janganlah kamu menjadi orang yang lemah”. (HR. Muslim).[5]
Disamping itu kebiasaan-kebiasaan yang mengarah
pada perkembangan dan pertumbuhan fisik, seperti kebersihan, latihan jasmani
dan juga penampilan yang baik dapat dicatat sebagai hal yang sangat diharapkan.
Pendidikan Islam dalam hal pendidikan jasmani mengacu pada pemberian fakta
terhadap jasmani yang relevan dengan kekuatan jasmani.
Suatu kewajiban yang tak boleh dilupakan dalam
mendidik anak adalah mengarahkan mereka kepada hidayah Allah (Al Qur’an) dan
menanamkan ajaran-ajarannya ke dalam hati sanubari mereka. Tiada alasan yang
meragukan, sebab dari kemerosotan moral masyarakat adalah lemahnya pendidikan
agama. Padahal di dalam keluarga, masyarakat atau sekolah.
Telah diakui, bahwa orang yang benar-benar menerima
ajaran agama akan dapat menerima tujuan-tujuan yang terdapat dalam Al Qur’an
sebagai pengisian dan peningkatan jiwa kesetiaan pada Allah. Rohani yang
merupakan bagian dalam dari manusia tidak boleh kosong, ia harus diisi dengan
nilai-nilai qur’ani dan menjadikan Nabi Muhammad sebagai top figur.
Terhadap pemasalahan rohani atau roh, sulit kiranya
untuk memahami hakekat dasar ruh yang sesungguhnya, karena hal itu merupakan
permasalahan Tuhan. Walaupun demikian, tujuan-tujuan rohaniah dalam Al Qur’an
harus dirumuskan tersendiri untuk segera ditanam dalam diri anak didik, karena
persatuan antara badan dan rohani yang terisi oleh tujuan rohaniah akan membawa
pada perubahan yang mendasar.
Sebab untuk mengerjakan suatu perbuatan harus
terlebih dulu percaya akan ajaran yang diyakininya, baru timbullah amalan yang
dikerjakan oleh anggota lahir. Kalau hati telah tunduk, diiringi oleh perbuatan
berhasil apa yang dimaksud dengan iman dan Islam.[6]
Manusia yang terdiri dari tiga komponen; badan ruh
dan akal, maing-masing membutuhkan pendidikan, dua yang pertama telah
dibicarakan. Tentang pendidikan akal perhatian utama adalah perkembangan
intelegensi.[7] Karena
dengan kemajuan akalnya seseorang akan dapat menemukan kebenaran. Pendidikan
yang dapat membantu tercapainya tujuan akal ini, seharusnya disertai dengan
bukti yang relevan dan dapat diterima oleh akal.
Mendidik akal, karena ketika ia diberikan akal pada
manusia masih berupa potensi yang belum sipa pakai, maka pendidikan akal adalah
mengaktualkan potensi tersebut. Potensi ada bersama dengan keberadaan manusia
di dunia, namun dalam perkembangannya ada dua alternatif. Jika potensi akal
dibiarkan begitu saja, ia akan mudah masuk dalam perangkap hawa nafsu dan
jalannya menjadi sesat. Akal yang terdidik akan mampu mengadakan telaah tehadap
tanda-tanda kebesaran yang adikodrati. Dan akhirnya ia akan dapat menemukan
hakekat Sang Pencipta Alam.
Dalam kaitannya dengan pendidikan akal, Islam hadir
dengan ajarannya yang antara lain menyangkut masalah tujuan pendidikan akal.
Menurut konsep Islam, tujuan pendidikan akal adalah terciptanya akal yang sempurna
menurut ukuran ilmu dan takwa.[8]
Setelah mendapatkan didikan, diharapkan akal dapat mencapai perkembangan yang
optimal, sehingga sampai pada keseimbangan antara pikir dan dzikir atau dapat
menyeimbangkan pemikiran yang bersifat duniawi dan ukhrawi.
Menurut Hamka dalam Tasawuf Modern, kesempurnaan
ibadat seseorang tergantung pada kesempurnaan budi dan otak (akal).
Kesempurnaan orang terletak dalam dua arti, yaitu keutamaan otak dan keutamaan
budi.[9]
Orang yang dapat mencapai keutamaan otak adalah mereka yang telah dapat
membedakan jalan kebahagiaan dari jalan kehinaan. Sedangkan keutamaan budi
mampu menghilangkan perangai buruk, adat istiadat yang rendah diganti dengan
perangai terpuji.
[1] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka AL Husna, Jakarta, 1987, Hal. 3.[2] GBHN, 1993, Hal. 4. [3] Depag, Op. Cit., Hal. 826. [4] Imam Bawani, Op. Cit., Hal. 109. [5] Ibnu Hajar Asqolani, Bulughul Maram, Darul Ihya’, Indonesia, Hal. 308. [6] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern, Pustaka Panji Mas, Jakarta, Tahun 1990, Hal. 59. [7] Dr. Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, Tahun 1990, Hal. 144. [8] Imam Bawani, Op. Cit., Hal. 208. [9] Hamka, Op. Cit, Hal. 116.