Pengertian Akal dan Pendidikan Akal

1.      Pengertian Akal

Belum diketemukannya pengertian yang pasti atau perbedaan pendapat tentang pengertian akal dan hakekatnya. Menurut Al Ghazali hal itu disebabkan karena kebanyakan mereka melupakan bahwa akal itu dicapai untuk bermacam-macam arti.16 Al-Qur’an menghadirkan kata Al’Aql hanya dalam bentuk kata kerja, bukan kata benda, yaitu عقلوه satu ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 75; تعقلون 24 ayat; misalnya; dalam surat Al Baqarah ayat 242; يعقلون  22 ayat; misalnya dalam surat Al Hajj ayat 46; يعقل 1 ayat pada surat Al Mulk ayat 10 dan يعقلها 1 ayat, dalam surat Al Ankabut ayat 43.[1]
Akal secara epistemologis, artinya mengikat, menahan. Orang Arab menjelaskan bahwa akal berarti Al Hijr الحجر) ) menahan.[2] Louwis Ma’ruf dalam kamsunya menyatakan :
العقل نوروحانى به تدرك النفس مالا تدركه بالحواش وقد سمى العقل عقلا لأنه يعقل صاحبه عن التورط فى المها لك اى يحبسه

Artinya: “Akal adalah nur rohaniyah yang dengannya jiwa/ nafsu akan menemukan sesuatu tanpa adanya keraguan. Akal dikatakan akal karena memikirkan pemiliknya dari kekacauan dan keresahan”.[3]

Adapun secara terminologi, banyak terjadi perbedaan dalam memberikan batasan tentang akal.
-          Imam Bawani menyimpulkan: bahwa akal merupakan substansi rohaniyah yang dengannya manusia dapat memahami dan membedakan kebenaran dan kepalsuan.[4]
-          Musa Asy’ari mengartikan akal dengan daya rohani untuk memahami kebenaran yang bersifat mutlak dan kebenaran relatif.
-          Alexander dari Aprodisias, menyatakan bahwa akal terdiri dari tiga macam; akal materi, akal terbiasa dan akal agen.
a.       Akal materi adalah daya murni yang dapat rusak, ia merupakan daya untuk dapat menerima bentuk-bentuk.
b.      Akal terbiasa adalah akal yang memperoleh dan memiliki pengetahuan yaitu akal yang berlaku dari daya menjadi aktual. Untuk memuat daya menjadi aktual membutuhkan agen.
c.       Agen itulah sebagai akal ketiga yang disebut sebagai intelegensia ketuhanan.[5]
-          Harun Nasution dalam bukunya akal dan wahyu dalam Islam, membagi akal menjadi dua; praktis dan akal teoritis.[6]
a.       Akal prakis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada pada jiwa binatang.
b.      Akal teoritis yang menangkap arti-arti murni, arti yang tak pernah ada dalam materi.
-          R. Pariyana membagi akal menjadi dua bagian juga yaitu: akal lahir dan akal batin.[7]
a.       Akal latif dibedakan menjadi 3 akal yaitu akal ajiji dan akal kasabi serta akal atoi.
b.      Akal batin dibedakan menjadi 2 akal juhud dan akal syarofi. Akal juhud tumbuh dari akal atoi, akal juhud tidak tertarik pada dunia kenyataan, seperti harta, tahta dan wanita. Sedangkan akal syarofi adalah akal sempurna atau yang disebut dengan ulul albab.
-          Sedangkan menurut Al Ghazali, akal mempunyai empat pengertian, yaitu:
a.       Akal adalah sesuatu sifat yang membedakan manusia dengan hewan.
b.      Hakekat akal itu adalah ilmu pengetahuan yang timbul ke alam wujud daripada diri anak kecil yang dapat membedakan tentang kemungkinan barang yang mungkin dan kemustakhilan barang yang mustakhil.
c.       Akal adalah ilmu pengtahuan yang diperoleh dari pengalaman dengan berlakunya bermacam-macam keadaan.
d.      Akal adalah kekuatan dari gharizah yang berpenghabisan sampai pada mengetahui akibat dari sebagian hal dan mencegah hawa nafsu yang mengajak pada kesenangan.[8]

Dari beberapa pengertian dan batasan di atas telah jelas dan dapat disimpulkan, bahwa; akal adalah suatu unsur rohaniyah manusia yang dengannya manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, dan sekaligus merupakan kemampuan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dalam mekanismenya, terutama untuk memperoleh pengetahuan dan ma’rifah, pikiran dan qalbu berada dalam dada. Qalbu sendiri mempunyai dua pengertian: pertama dalam bentuk materi ia sering disebut kalbu/ hati atau jantung. Sedang dalam pengertian yang lain adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif.[9]
Dengan demikian qalbu juga merupakan alat untuk mengingat atau dzikir kepada Tuhan, sehingga pengetahuan yang diperolehnya lewat akal pikiran dan qalbu yang tidak terlepas dari mengingat Tuhan akan menghantarkan seseorang kepada keimanan.

2.      Pengertian Pendidikan Akal

Menurut para ahli psikologi, di dalam diri manusia banyak terdapat dorongan-dorongan, yang masing-masing mempunyai daya kekuatan sendiri-sendiri.
Manusia yang pada waktu dilahirkan tidak tahu apa-apa sebagaimana makhluk lain, tidak cukup hanya menggantungkan kepada alam untuk mencapai kesejahteraan hidupnya. Bagi hewan, naluri atau insting yang menentukan adaptasinya terhadap hukum-hukum alam, mereka tidak memerlukan pendidikan dan latihan untuk mengatur kehidupannya. Naluri pada manusia tidak mampu melakukan pengaturan fungsinya seperti pada hewan, sehingga manusia hanya menggantungkan pada nalurinya saja. Hal ini karena kebutuhan manusia beda dengan kebutuhan hewan. Pada manusia akal pikiran yang merupakan petunjuk utama bagi kesejahteraan hidupnya. Melalui akal ini manusia dapat mengenal jalan kebahagiaan.
Berkaitan dengan kehidupan, Islam dating dengan berbagai konsepnya. Dan sesuai dengan keuniversalannya, Islam akan tetap mampu menjadi alternatif petunjuk yang benar dalam kehidupan. Dengan Al Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama, Islam mengatur segala khidupan. Dalam mengatur kehidupan ini ada yang dijelaskan secara rinci dan ada yang hanya disebutkan secara global. Salah satu yang diatur secara global adalah tentang pendidikan.
Karena akal yang diberikan pada manusia ketika dianugerahkan berupa potensi yang belum siap pakai, maka pendidikan akal berarti mengusahakan agar akal tersebut menjadi aktual.[10] Potensi ini akan berkembang menjadi baik jika disertai dengan pendidikan yang baik pula. Sebaliknya bila potensi dibiarkan akibatnya bisa fatal. Disebutkan dalam surat An Nahl: 12
وسخرالكم اليل والنهار والشمس والقمرط والنجوم مسخرت بأمره ان فى ذلك لأيت لقوم يعقلون (النحل: 12)

Artinya: “Dan Dia menundukkan untukmu malam dan siang, matahari dan bulan, bintang-bintang di langit itu tunduk dibawah perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang menggunakan akal”.[11]

Dari ayat ini tampak jelas, bahwa menggunakan akal untuk menyelidiki alam adalah suatu kewajiban dalam Islam, karena hal ini menjadi titik tolak untuk memahami dan mengkaji alam juga untuk membuktikan kebenaran adanya yang Maha Pencipta.
Di depan telah disebutkan, bahwa manusia, terdiri dari unsur jasmani dan rohani, dimana rohani itu sendiri terdiri beberapa unsur-unsur yang lain. Islam sebagai agama fitrah menghormati tenaga-tenaga tersebut secara keseluruhan yang merupakan karunia dari Allah.[12] Dengan demikian, akal yang merupakan tenaga terbesar bagi manusia juga termasuk di dalamnya.
Dalam memberikan bimbingan terhadap akal ini, Islam memberikan batasan-batasan tertentu pada hal-hal yang kongkrit saja, dan kontak akal dengan kebenaran, yaitu menyerahkan yang kongkrit pada indera untuk dipikirkan oleh akal.[13] Bimbingan Islam kepada akal yang mula-mula diberikan adalah untuk memperhatikan kejadian alam, dari sini akan ditemukan adanya yang kuasa. Bukti adalah argumen yang sangat penting dalam menetapkan batas-batas kepastian suatu persoalan.
Disebutkan dalam surat Al Kahfi ayat 15:
هؤلإ قومنا اتخذوا من دونه الهة ط لولا يأتون عليهم بسلطا ن بين .... (الكهف: 15)

Artinya: “Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai Tuhan-Tuhan (untuk dismbah). Mengapa mereka tidak mengemukakan bukti dengan jelas” (QS. Al Kahfi: 15).[14]

16 Al Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Juz. I, Hal. 101[1] Harun Nasution, Op. Cit., Hal. 5-6 [2] Ibid, Hal. 6 [3] Louwis Ma’ruf, Kamus Munjid, Al Mathaba’an, Al Katsuliyah, Beirut, Tahun 1956, Hal. 520. [4] Imam Bawani, Op. Cit., Hal. 205 [5] M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Mizan, Jakarta, Tahun 1989, Hal. 26. [6] Harun Nasution, Op. Cit., Hal. 10. [7] R. Pariyana Suryadipura, Alam Pikiran, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, Hal. 180-181. [8] Al Ghazali, Op. Cit., Hal. 313-315. [9] Musa Ay’arie, Op. Cit, Hal. 109. [10] Imam Bawani, Op. Cit., Hal. 208-209. [11] Depag, Op.Cit., Hal. 403. [12] Imam Bawani, Op. Cit., Hal. 129. [13] Ibid, Hal. 129-130. [14] Depag, Op. Cit., Hal. 445.