Pengertian Penguasan Materi Bagi Seorang Guru Agama

1.      Pengertian Penguasan Materi
Penguasaan materi berarti pemahaman atau kesanggupan untuk menggunakan pengetahuan yang menjadi bahan untuk diujikan, dipikirkan, dibicarakan.[1] Dimana guru agama dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga pengajar dituntut untuk dapat dan sanggup menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam proses pembelajaran.
2.      Masalah Penguasaan Materi yang Dihadapi Guru Agama dalam Pembelajaran PAI
Seperti yang telah dipaparkan pada pendahuluan bahwasannya tugas guru tidaklah ringan dan mudah. Namun profesi sebagai guru dituntut untuk menguasai beberapa kemampuan. Bila guru tidak demikian maka proses pembelajaran akan mengalami banyak masalah.
Seperti kita tahu bahwa perkembangan masyarakat yang pesat membawa implikasi kepada peningkatan pendidikan, artinya pelaksanaan pendidikan yakni guru dituntut untuk mampu mengantarkan anak didiknya sehingga dapat mengimbangi perkembangan masyarakat tersebut.[2]
Dengan demikian guru harus selalu meningkatkan profesinya, jika guru memiliki kemampuan yang memadai maka problema proses pembelajaran dapat dihindari atau paling tidak dapat dikurangi.
Sehubungan dengan keharusan guru untuk meningkatkan kemampuannya, AG. Soejono menjelaskan :

“Tiap guru wajib selalu memelihara dan mengembangkan ilmu keguruannya, sebagai penyalur ilmu guru sendiri wajib memiliki ilmu yang khas dan dalam, jauh lebih melebihi yang diperlukan muridnya. Ia wajib mempunyai sifat cinta pada ilmu, bersikap obyektif terhadapnya dan suka mengadakan penyelidikan secara kritis dan mendalam”.[3]

Seorang guru yang benar-benar menyadari bahwa tugasnya sebagai pendidik merupakan amanat yang harus dijunjung tinggi dan dipelihara dalam rangka mencetak kader-kader yang tangguh, yang adaptis dan dinamis, maka ia sanggup melaksanakan hal tersebut di atas, namun dalam mewujudkan keinginannya guru seringkali dihadapkan pada beberapa faktor penghambat yang mengakibatkan tertunda bahkan sama sekali tidak tercapai maksud dan tujuannya tersebut.
Faktor-faktor tersebut data digolongkan menjadi dua faktor yaitu internal dan eksternal guru.
1.       Faktor Internal Guru
Dalam kegiatan pembelajaran guru merupakan faktor figure sentral, karenanya proses belajar mengajar akan mengalami hambatan atau problem manakala guru sendiri kurang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Kemampuan mengajar bagi guru merupakan modal dasar untuk keberhasilan  siswa yang sedang belajar. Namun jika seorang guru kurang mampu dalam profesinya, maka proses belajar mengajar akan terhambat dengan sebab yang berasal dari faktor pribadi guru itu sendiri.
a)      Latar Belakang Pendidikan Guru
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh guru sebelum menjadi tenaga pendidik  adalah memiliki ijazah keguruan. Dengan memiliki ijazah tersebut maka secara tidak langsung membuktikan bahwa guru yang bersangkutan telah memiliki bekal kemampuan pengetahuan di bidang pendidikan yang sangat besar gunanya dalam membantu guru untuk melaksanakan tugasnya, sebaliknya tanpa memiliki pengetahuan di bidang pendidikan, guru akan dihadapkan pada masalah beraneka ragam.
Sejalan dengan uraian ini dalam sebuah buku Didaktik dijelaskan :
“Persyaratan intelektual atau akademis yaitu mengenai pengetahuan dan ketrampilan khusus yang diperoleh dari lembaga pendidikan, guru yang memberi bekal untuk menunaikan tugas sebagai pendidik formal di sekolah. Jelasnya adalah ijazah guru yang memberikan hak dan wewenang menjadi guru yang mengajar dimuka kelas”.[4]

Penyampaian bahan di depan kelas oleh guru belum tentu dapat membuahkan hasil yang berarti bagi siswa. Apalagi pada masa sekarang ini pendidik tidak hanya berorientasi pada pembentukan afektif dan psikomotorik anak didik. Malahan dalam pendidikan Islam menurut Muhaimin, selain tersebut di atas ditambah lagi yaitu penumbuhan rasa keimanan anak didik untuk lebih jelasnya sebagai berikut :
“Pendidikan Islam tidak mengenal empiris sensual (empiris yang dapat ditangkap oleh indra) dan empiris logis (empiris yang dapat ditangkap rasio) tetapi lebih dari pendidikan dalam Islam mengenal empiris trasendental yang dapat ditangkap oleh domain iman manusia”.[5]

Untuk itu dengan ilmu keguruan yang memadai dapat mengantarkan anak didiknya pada tujuan yang dinginkan dengan baik.
b)      Pengalaman Mengajar
Kemampuan guru untuk melaksanakan tugasnya dalam kependidikan tidak hanya ditentukan oleh pengalamannya selama masih pendidikan (calon guru) akan tetapi ditentukan oleh lamanya mengajar di lapangan, bagi guru yang berpengalaman mengajarnya baru saja satu tahun atau lebih misalnya, akan berbeda dengan guru yang mempunyai pengalaman tiga tahun atau lebih. Dengan demikian lama seorang menjadi guru kian pula bertambah baik dalam menjalankan tugasnya untuk menuju kesempurnaan.[6]
Pengalaman guru dilakukan di lapangan dapat dijadikan pertimbangan berfikir dalam menentukan kebijaksanaan selanjutnya demi  perbaikan pengajaran yang akan datang. Dari pengalaman guru tersebut setidaknya guru dapat belajar dan dapat mencermati penyebab ketidakberhasilannya dari pengajarannya. Penggunaan metode misalnya, jika dalam proses belajar yang lalu hanya menggunakan metode ceramah saja, murid cenderung pasif dan mengantuk, maka dalam pertemuan selanjutnya guru harus berusaha dapat menentukan sikap dan tindakan sehingga anak didik dapat bersemangat dan bergairah untuk mengikuti pelajaran. Dengan kata lain ketidak berhasilan pengajaran yang lalu tidak terulang lagi, sehingga proses pembelajaran akan dapat berjalan atau berlangsung dengan baik.
Pengalaman bukanlah jawaban yang pasti dalam mendukung keberhasilan proses pembelajaran. Karena guru yang bersangkutan tidak mau dan terdorong untuk senantiasa memperbaiki atau membenahinya, maka pengalaman tinggalah pengalaman yang tiada arti. Dengan demikian guru-guru yang lama mengajarnya relatif sedikit atau kurang berpengalaman akan menghadapi problem yang lebih banyak, bila dibandingkan dengan guru yang berpengalaman mengajarnya lebih lama.
c)      Lemahnya Motivasi untuk Meningkatkan Kemampuan
Motivasi merupakan suatu dorongan untuk melakukan pekerjaan tertentu baik yang timbul dari dalam diri sendiri maupun dari rangsangan luar. Dorongan untuk meningkatkan kemampuan sebagai profesi guru sepatutnya muncul dari dalam diri guru itu sendiri. Adanya dorongan demikian ini akan lebih berarti bila dibandingkan dengan dorongan yang muncul akibat dari orang lain atau dorongan dari luar. Demikian juga dorongan ini tidak bersifat sementara dan menjadikan meningkatnya kemampuan. Bila dorongan itu ada, maka rintangan atau hambatan apapun yang ada akan dapat diatasi.
Adapun dorongan dari luar dapat dimunculkan melalui pemberian penghargaan kepada guru-guru yang menunjukkan dedikasi atau prestasi atau hal-hal yang dapat dipandang sebagai upaya mendorong gairah untuk memperbaiki mutu pengarahan. Cara-cara tersebut merupakan sarana untuk mendorong kreatifitas para guru. Dorongan dari luar ini sifatnya sementara.
Dengan demikian dorongan yang timbul dari diri pribadi guru dapat menjadikan ia sendiri dalam menjalankan tugasnya sebagai suatu tanggung jawab yang menyenangkan. Dengan motivasi ini, seorang guru tidak merasa puas jika tugasnya sebagai pendidik terganggu atau terhambat. Karenanya ia senantiasa berusaha untuk meningkatkan kemampuannya. Demikian pula dengan motivasi yang timbul dari luar diri, hanya saja motivasi ini biasanya muncul jika ada sesuatu yang diharapkan misalnya penghargaan hadiah dan lain sebagainya.
d)     Orientasi Guru Terhadap Profesinya
Seperti yang telah diuraikan bahwa tugas guru sangat berat dan suci karena tanggung jawab yang ia pikul berat dan besar. Guru dengan penuh usaha memberikan sejumlah bekal kepada anak didiknya agar dapat hidup secara dewasa dan mampu mengembangkan kehidupan masyarakatnya. Demikian pula guru membawa misi untuk menanamkan kebenaran yang berguna untuk kebenaran yang berguna untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Penerimaan tugas yang berat dan suci ini tidak sama. Sebagian guru ada yang menanggapi bahwa tugas sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik, adalah amanat yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Amanat Allah bagi orang yang beriman dan berilmu adalah menyampaikan ilmunya kepada semua orang dalam hal ini guru dan muridnya.
Orientasi guru tersebut di atas dapat dijadikan semangat untuk meningkatkan mutu pengajarannya. Namun bila seorang menjadi guru dengan latar belakang seperti tersebut di atas, maka biasanya cenderung ingin mendapatkan imbalan, pelaksanaan tugasnya ditujukan untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Lain halnya dengan orang-orang yang bekerja sebagai guru karena penggilan hati nurani akan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan proses pembelajaran.
2.      Faktor Eksternal Guru
Faktor eksternal guru adalah suatu hal yang dapat menyebabkan seseorang terhambat dalam melaksanakan tugasnya secara baik, yang berasal dari luar dirinya sendiri.
Faktor eksternal meliputi :
a)      Sarana yang Terbatas
Dalam dunia pendidikan atau dalam proses pembelajaran, sarana merupakan faktor yang menunjang tercapai tidaknya tujuan pengajaran. Tersedianya sarana yang memadai akan mempengaruhi keberhasilan dalam pencapaian tujuan, sedang terbatasnya sarana akan dapat menghambat kelancaran pengajaran, sebagaimana dijelaskan oleh Vembrianto. Masalah kekurangan gedung, mebeler, teks boks, alat-alat peraga, buku-buku perpustakaan, alat-alat praktikum, ruang laboratorium dan terutama biaya semuanya merupakan problem pendidikan yang sulit.[7]
Keterbatasan sarana tersebut dapat menimbulkan permasalahan bagi guru untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Guru akan mendapatkan hambatan apabila mengajar memerlukan peralatan.
b)      Beban Tugas Guru
Dalam lembaga pendidikan, antara bidang administrasi dan edukasi tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menunjang dalam keberhasilan pendidikan. Namun dalam pelaksanaan seharusnya tidak dikelolah oleh satu orang, agar mencapai hasil yang optimal dalam pengelolahannya. Beban tugas edukatif yang diberikan pada guru merupakan beban yang cukup berat apabila guru yang bersangkutan mempunyai jam mengajar yang cukup banyak, beban ini akan lebih berat lagi bila guru juga memegang tugas administrasi. Sebagai akibat “tuntutan beban tugas personalia admistrasi pendidikan pada guru akan menentukan beban pelajaran  guru terhadap murid, dan secara keseluruhan keduanya akan menentukan kemajuan sekolah pada umumnya.”[8]
c)      Pengawasan Kepala Sekolah
Pengawasan kepala sekolah terhadap guru adalah amat penting untuk mengetahui perkembangan guru dalam melaksanakan tugasnya. Tanpa adanya pengawasan ini maka kepala sekolah tidak dapat mengetahui problema yang dihadapi oleh guru untuk menciptakan kegiatan pembelajaran yang baik dan akibatnya ia tidak dapat memberikan bantuan terhadap guru tersebut sehingga problem profesionalnya akan terus berlarut-larut.
Dalam pengawasan ini kepala sekolah hendaknya bersifat fleksibel, artinya kepala sekolah senantiasa memberikan kesempatan kepada guru untuk mengemukakan masalah yang sedang dihadapinya, serta memberikan kesempatan untuk menyumbangkan ide-ide demi perbaikan dan peningkatan hasil pendidikan.
Conny Semiawan dalam bukunya “CBSA, bagaimana membina guru secara profesional” memberikan wawasan tentang sikap yang harus dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahan. Yang antara lain menyatakan “sikap untuk menonjolkan kedudukan sebagai atasan dan menganggap guru sebagai bawahan semata-mata akan melahirkan hubungan yang kaku”.[9]
Sebagai akibat guru akan merasa tertekan dan kurang bergairah untuk menjalankan tugasnya dan meningkatkan kemampuannya sebagai tenaga didik.



[1]Tim Penyusun Kamus Besar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal. 534.
 [2]Zuhairini et.al, Metodologi Pendidikan Agama, Ramadhani, Solo, 1993, hal. 23.
[3]Soejono, Pendahuluan Deduktif Metodik Umum, Bina Aksara, Jakarta, t.th, hal. 45.
[4]Team Dedaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, Pengantar Deduktif Metodik Kurikulum PBM, Rajawali, Jakarta, 1991. hal. 10.
[5]Muhaimin, Konsep Pendidikan Islam, Ramadlani, Solo, 1993, hal. 73.
[6]Amir Daein Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan, Malang, Fakultas Ilmu Pendidikan, hal. 87.
[7]Vembrianto, Kapita Selekta Pendidikan, Yayasan Pendidikan Paramita, Yogyakarta, 1981, hal. 35.
[8]Ali Saifullah, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hal. 29.
[9]Conny Semiawan, et.al, CBSA, Bagaimana Membina Guru Secara Profesional, Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Departemen P dan K, Jakarta, 1985, hal. 14.