1. Tujuan
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa tujuan belajar menurut an-Nawawi itu bermuara pada aktivitas ibadah kepada Allah swt, walaupun pada awal prosesnya bertujuan untuk memperoleh kemahiran dalam belajar, misalnya membaca. Sedangkan belajar menurut Thorndike hanya bertujuan adanya perubahan tingkah-laku dalam belajar, misalnya anak yang pada mulanya belum bisa membaca menjadi bisa.
2. Peranan otak dalam belajar
Behaviorisme adalah suatu paham yang mementingkan tingkah-laku dalam belajar. Oleh karena itu implikasi dalam belajar pun hanya menyangkut tingkah-laku yang dapat dilihat saja.
Adapun dalam pandangan an-Nawawi belajar selain menyinggung tentang tingkah-laku juga menyinggung tentang otak. Dalam hal tingkah-laku misalnya membiasakan diri bersikap baik terhadap guru, berlaku sopan di tempat pengajaran dan ketrampilan dalam membaca. Sedangkan dalam hal otak dapat ditunjukkan oleh adanya belajar dengan menghapal dan merenungi makna ayat-ayat al-Qur’an.
3. Kematangan
Dalam masalah ini an-Nawawi menyebutkan bahwa pengajaran terhadap murid harus proporsional; yakni mengajar anak didik sesuai dengan kemampuan.[1]) Demikian ini dapat ditafsirkan sebagai perlunya kematangan murid dalam belajar baik menyangkut usia maupun tingkat kemampuan dalam berpikir. Adapun contohnya, anak berusia 5 tahun layaknya mengenyam dalam pendidikan Taman Kanak-Kanak bukan di Sekolah Dasar dan murid yang belum bisa ilmu penjumlahan sebaiknya tidak boleh diajar ilmu perkalian sebab secara psikologis, dalam ilmu pendidikan murid harus diajar secara bertahap dari sesuatu yang lebih mudah menujuyang lebih sukar atau dari yang lebih sederhana menuju yang lebih kompleks.
Pandangan tidak seperti ini tidak dikenal dalam teori Thorndike. Oleh karena itu Sumadi Suryabrata dalam komentarnya menyebutkan bahwa istilah “readiness” sebagaimana yang dikemukakan Thorndike tidak digunakan dalam istilah lain, misalnya “reading-readiness”, yaitu taraf kematangan dalam mulai belajar membaca. [2])
4. Peran manusia
Dalam belajar melibatkan peran seorang guru dan murid. Pandangan an- belajar Nawawi menunjukkan peran yang aktif baik guru maupun murid. Mereka dapat berperan semaksimal mungkin untuk meningkatkan hasil belajar sesuai yang menjadi tujuan sebelumnya. Demikian ini tidak ditemui dalam pemikiran Thorndike, sebab peran murid dalam belajar bersifat pasif.
[1])Drs. Tarmana Ahmad Qosim, loc. cit.
[2])Sumadi Suryabrata, loc. cit.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa tujuan belajar menurut an-Nawawi itu bermuara pada aktivitas ibadah kepada Allah swt, walaupun pada awal prosesnya bertujuan untuk memperoleh kemahiran dalam belajar, misalnya membaca. Sedangkan belajar menurut Thorndike hanya bertujuan adanya perubahan tingkah-laku dalam belajar, misalnya anak yang pada mulanya belum bisa membaca menjadi bisa.
2. Peranan otak dalam belajar
Behaviorisme adalah suatu paham yang mementingkan tingkah-laku dalam belajar. Oleh karena itu implikasi dalam belajar pun hanya menyangkut tingkah-laku yang dapat dilihat saja.
Adapun dalam pandangan an-Nawawi belajar selain menyinggung tentang tingkah-laku juga menyinggung tentang otak. Dalam hal tingkah-laku misalnya membiasakan diri bersikap baik terhadap guru, berlaku sopan di tempat pengajaran dan ketrampilan dalam membaca. Sedangkan dalam hal otak dapat ditunjukkan oleh adanya belajar dengan menghapal dan merenungi makna ayat-ayat al-Qur’an.
3. Kematangan
Dalam masalah ini an-Nawawi menyebutkan bahwa pengajaran terhadap murid harus proporsional; yakni mengajar anak didik sesuai dengan kemampuan.[1]) Demikian ini dapat ditafsirkan sebagai perlunya kematangan murid dalam belajar baik menyangkut usia maupun tingkat kemampuan dalam berpikir. Adapun contohnya, anak berusia 5 tahun layaknya mengenyam dalam pendidikan Taman Kanak-Kanak bukan di Sekolah Dasar dan murid yang belum bisa ilmu penjumlahan sebaiknya tidak boleh diajar ilmu perkalian sebab secara psikologis, dalam ilmu pendidikan murid harus diajar secara bertahap dari sesuatu yang lebih mudah menujuyang lebih sukar atau dari yang lebih sederhana menuju yang lebih kompleks.
Pandangan tidak seperti ini tidak dikenal dalam teori Thorndike. Oleh karena itu Sumadi Suryabrata dalam komentarnya menyebutkan bahwa istilah “readiness” sebagaimana yang dikemukakan Thorndike tidak digunakan dalam istilah lain, misalnya “reading-readiness”, yaitu taraf kematangan dalam mulai belajar membaca. [2])
4. Peran manusia
Dalam belajar melibatkan peran seorang guru dan murid. Pandangan an- belajar Nawawi menunjukkan peran yang aktif baik guru maupun murid. Mereka dapat berperan semaksimal mungkin untuk meningkatkan hasil belajar sesuai yang menjadi tujuan sebelumnya. Demikian ini tidak ditemui dalam pemikiran Thorndike, sebab peran murid dalam belajar bersifat pasif.
[1])Drs. Tarmana Ahmad Qosim, loc. cit.
[2])Sumadi Suryabrata, loc. cit.