Pengertian Kepribadian Akhlak Mulia

Pengertian Kepribadian

a.       Pengertian secara etimologis

Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris personality. Sedangkan istilah personality secara etimologis berasal dari bahasa latin. “Person” (kedok) dan “Personare” (menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribadi tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan persone adalah bahwa para pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu. Jadi, persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dari tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.

b.      Pengertian secara terminologis

1)      MAY mengartikan kepribadian sebagai “ a sosial stimulus volve”. Jadi menurutnya cara orang lain mereaksi, itulah kepribadian individu. Dalam kata lain, pendapat orang lainlah yang menentukan individu itu.

2)      MC Dougal dan kawan-kawan berpendapat, bahwa kepribadian adalah “tingkah sifat-sifat di mana biasanya sifat yang tingi tingkatannya mempunyai pengaruh yang menentukan.

3)      Gordon W. Allport mengemukakan kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisis yang  menentukan caranya yang khas dalam menyesuiakan diri terhadap lingkungan.[1]

4)      Kepribadian adalah dinamis dari sistem-sistem psikofisik dalam individu yang turut menentukan cara-caranya yang unik (khas) dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan.[2]

5)      Kepribadian adalah suatu perwujudan keseluruhan segi manusiawinya yang unik, lahir batin dan dalam antar hubungannya dengan kehidupan sosial dan individualnya.[3]

Dari beberapa pendapat di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepribadian adalah perwujudan dari keseluruhan segi manusiawinya serta bersifat unik (khas) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia tinggal dan dipengaruhi.



Aspek-aspek Kepribadian

Kebanyakan para psikolog mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua aspek yaitu fisik dan psikis. Oleh Utsman Najati dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia dari materi dan ruh.[4]

Firman Allah SWT yang artinya : “Ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat-Malaikat : Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Apabila Allah sempurnakan kejadiannya dan kutiupkan roh-Ku (kepunyaan-Ku) kepadanya meniarapkan kamu sujud (tunduk) kepadanya”. (QS Shaad : 71-72).[5]

Dari ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa penciptaan manusia terdiri dari dua aspek yaitu materi dan roh, sedang kebanyakan para ahli ilmu jiwa cenderung nafs yang diterjemahkan, sedang yang sebenarnya “nafs berbeda dengan roh dalam pengertian Al-Qur’an”.

Roh dalam ayat di atas adalah roh ciptaan Allah yang membuat manusia siap menerima sifat-sifat yang luhur dan mengikuti kebenaran adalah unsur tinggi yang di dalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealissikan hal-hal yang paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa roh merupakan sikap psikis yang siap menerima ajaran yang positif, baik dan luhur.

Oleh Al. Syailany dikatakan bahwa “Insan mempunyai tiga srata (dimensi). Persis seperti “segitiga” sama panjang sisinya yaitu badan, akal, dan roh. Ketiganya merupakan srata pokok dalam kepribadian manusia. Kemajuan kebahagiaan dan kesempurnaan bergantung pada keselarasan dan keharmonisan tiga srata itu sendiri. Akal sendiri adalah psikis atau jiwa.

Adapun pakar ilmu jiwa yang lain mengatakan bahwa “aspek kepribadian manusia ada tiga yaitu kejasmanian, aspek kejiwaan dan aspek keharmonisan yang luhur.[6]

Dalam penulisan ini penulis menetapkan bahwa aspek kepribadian manusia ada tiga yaitu :

a.       Aspek kejasmanian

Aspek kejasmanian meliputi tingkah laku yang mudah nampak dan ketakwaan dari luar.

1)      Yang dikerjakan oleh lisan, seperti membawa Al-Qur’an, mempelajari ilmu yang bermanfaat, dan mengerjakannya.

2)      Yang dikerjakan oleh anggota tubuh lain, seperti berbakti pada orang tua, memenuhi kebutuhan, sholat, puasa, menetapkan sesuatu berdasarkan musyawarah, mematuhi peraturan, menghormati orang lain dan sebagainya.

b.      Aspek kejiwaan

Aspek kejiwaan meliputi aspek-aspek yang tidak dapat dilihat dan tidak ketahuan dari luar, contoh mencintai Allah dan Rosul, mencintai dan memberi karena Allah, Ikhlas dalam beramal, sabar, tidak sombong, pemaaf, tidak pendendam, tawadlu, dan lain-lain.

c.       Aspek kerohanian yang luhur

Aspek kerohanian yang luhur meliputi aspek-aspek kejiwaan yang lebih abstrak yaitu filsafat hidup dan keperibadian, meliputi sistem nilai-nilai yang telah meresap di dalam kerpibadian yang mengenal dan memberi corak seluruh kehidupan individu. Bagi orang beragama aspek inilah yang menuntunnya ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat.



    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Kepribadian

Menurut Andi Mappiare keunikan sifat pribadi seseorang itu terbentuk karena peranan tiga faktor penting, yakni : pembawaan (hereditas) yang melekat pada organisme, citra diri (self compect) dan faktor dari luar yaitu lingkungan (enviroment) .[7]

a.       Faktor pembawaan (hereditas)

Pembawaan ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifat kejiwaan maupun yang bersifat keturunan.[8] Anak merupakan warisan dari sifat-sifat pembawaan orang tuanya yang merupakan potensi-potensi tertentu.

Beberapa ahli ilmu pengetahuan menekan pentingnya faktor keturunan ini bagi pertumbuhan fisik, mental maupun sifat kepribadian yang diinginkan.[9]

b.      Faktor lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang melingkungi atau mengelilingi individu sepanjang hidupnya, baik lingkungan fisik maupun nonpersonan.

Di dalam lingkungan yang juga merupakan subkebudayaan itu “bekerja” nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan yang bersumber dari kebudayaan yang luas, kesemuanya mempengaruhi individu.[10]

Meskipun kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap kepribadian seseorang namun kadang pengaruhnya berbeda menurut umur dan fase pertumbuhan.

Faktor keturunan pada umumnya lebih kuat pengaruhnya pada tingkat bayi sedang faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila insan telah meningkat dewasa.[11]

c.       Faktor diri (Self)

Faktor penting yang sering diabaikan dalam memahami prinsip pertumbuhan anak ialah faktor self, yaitu kehidupan kejiwaan seseorang yang kehidupan kejiwaan itu sendiri atas perasaan, usaha, pikiran, pandangan penilaian, keyakinan, sikap dan anggapan yang semua akan berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari.

Seringkali kita mengiterpretasikan pengaruh pembawaan dan lingkungan secara mekanis tanpa memperhitungkan faktor yang lain yang tidak kurang pentingnya bagi pertumbuhan anak, yaitu self. Memang pengaruh pembawaan dan lingkungan bagi pertumbuhan anak saling berkaitan dan saling melengkapi, tetapi masalah pertumbuhan belum berakhir tanpa memperhitungkan peranan self : yakni bagaimana seseorang menggunakan potensi yang dimiliki dan lingkungannya. Di sinilah pemahaman tentang self atau pola hidup dapat membantu memahami seseorang.

Self mempunyai pengaruh yang besar untuk mengiterpretasikan kuatnya daya pembawaan dan kuatnya daya lingkungan. Contoh yang ekstrim ada anak yang cacat fisik beberapa fungsinya tetap berdaya guna, sedang anak cacat yang lain menggunakan kecacatannya sebagai suatu “excuse” untuk ketidak mampuannya. Ini tidak lain karena self, self beriteraksi dengan pembawaan dan lingkungan yang membentuk kepribadian seseorang.[12]

    Konsep Akhlak yang Mulia

a.       Pengertian akhlak

Akhlak berasal dari bahasa Arab, yaitu jama’ dari khulq, yang mengandung segi-segi persesuaian dengan kholqun serta erat hubungannya dengan kata kholiq dan makhluq. dari sinilah asal rumusan yang menyatakan bahwa ilmu akhlak itu merupakan ilmu yang mencakup hubungan makhluk dengan kholik dan makhluk dengan makhluk.[13]

Sedangkan Al-Imam Al-Ghozaly dalam kitabnya yang termasyhur “Ihya Ulumuddin” Juz III halaman 52 memberikan definisi akhlak, sebagaimana terjemahan  dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut :

“Bawaan sifat jiwa yang mengendap di dalam, mendorong atau melahirkan perbuatan-perbuatan tanpa disengaja. Jika perbuatan-perbuatan yang lahir itu baik menurut akal dan agama, maka orangnya dinamakan beraklak mulia. Sebaliknya jika perbuatan-perbuatan yang lahir itu jelek menurut akal dan agama, maka orangnya dinamakan berakhlak bejat”.



Akhlak mencakup segala pengertian tingkah laku, tabiat, peranan karakter manusia, baik dan buruk, dalam hubungannya dengan khalik atau dengan sesama makhluk.

b.      Sifat dan perbuatan mulia

Adapun yang termasuk dalam akhlaqul mahmudah atau akhlak yang mulia itu antara lain :

1)    Takwa

Takwa atau takut semata-mata hanya kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Takwa merupakan puncak dari segala akhlak mulia. Ciri-ciri orang yang takwa itu ialah :

a)       Orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rosul-Nya, serta hal-hal ghaib, yang tercakup dalam rukun iman.

b)      Orang-orang yang mengerjakan amal ibadat yang diperintahkan, seperti : sholat, puasa, zakat, sedekah, dan lain-lain yang tercakup dalam rukun Islam.

c)       Orang-orang yang menerapkan akhlaq mulia, baik hubungannya dengan khalik maupun dengan sesama makhluk.

d)      Orang-orang yang hidupnya tenang dalam menghadapi segala macam problem dan gejolak kehidupan, tidak pernah sedih, susah dan takut.

2)    Ikhlas

Pengertian ikhlas dalam Islam ialah orang yang beramal hanya mengharap keridlaan Allah semata, bukan karena ingin mendapat surga atau takut neraka, bukan pula ingin mengharap pujian manusia. Firman Allah dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus”. (QS Al-Bayyinah : 5).[14]

Ikhlas dituntut dalam segala hal perbuatan, terutama dalam kaitannya dengan peribadatan yang diperintahkan Allah, karena orang yang ikhlas tidak dapat diperdayakan setan.

3)    Sabar

Sabar artinya tahan menderita, tahan menderita dari hal-hal yang negatif atau tahan menderita karena hal-hal yang positif.

Al-Imam Ali karromallahu wajhah berkata sebagaimana terjemahan dalam bahasa Indonesia, sabar itu ada dua, sabar atas apa-apa yang tidak engkau sukai, dan sabar atas apa-apa yang engkau sukai,  atau bisa juga dibagi menjadi :

a)        Sabar meninggalkan larangan agama.

b)       Sabar menjalankan perintah agama.

c)        Sabar menerima ujian dan cobaan dari Allah.

Yang dimaksud dengan ujian Allah ialah, sebagaimana telah difirmankan-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 155.

Artinya : “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan”. (QS Al-Baqoroh : 155).[15]

Selain itu juga ujian atau cobaan itu kadang-kadang berupa harta, anak, pangkat, kedudukan, ilmu dan lain-lain. Jadi cobaan itu ada kalanya berupa hal-hal yang menyedihkan dan adakalanya berupa hal-hal yang menyenangkan menurut masing-masing individu yang menerimanya.

4)    Syukur

Syukur adalah suatu sifat mulia yang wajib dimiliki oleh setiap individu muslim, yaitu menyadari bahwa segala nikmat-nikmat yang ada pada dirinya itu merupakan karunia dan anugerah dari Allah semata, dan kemudian menggunakan nikmat itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Nya.

Adapun tindakan yang dilakukan dalam syukur ialah dengan mengagungkan kepada yang memberikan nikmat, perbuatan tersebut   erat kaitannya sebagai yang memberikan nikmat, dan sukur bisa dilakukan dengan lisan, hati atau anggota badan.

Syukur ialah menggunakan segala nikmat karunia Allah menurut batas-batas yang telah ditetapkan-Nya, dan menjaga atau memeliharanya dari penyelewengan atau melakukan larangan yang telah diharapkan-Nya.







5)    Ridlo

Ridlo artinya rela, yaitu menerima dengan baik apa saja yang diperbuat atas dirinya tanpa diiringi dengan motivasi apa pun di belakangnya.

Ridlo kepada Allah ialah rela menerima karuniaNya, walaupun sedikit atau sabar atas cobaan-Nya.

Adapun ciri-ciri orang yang ridlo :

a)        Bersukur atas nikmat karunia Allah

b)       Sabar atas coban dan ujian Allah bagaimana beratnya

6)      Qona’ah

Qona’ah artinya menerima apa adanya. Sebenarnya yang dimaksud dengan qona’ah ialah suatu sifat terpendam dalam hati yaitu:

a)       Sabar menerima ketentuan Tuhan.

b)       Ridlo dengan segala pemberianNya banyak atau sedikit.

c)       Tawakkal kepadaNya.

Dan dibuktikan dengan perbuatan dhohiriyyah, yaitu :

a)        Tidak mudah terpengaruh oleh tipu daya dunia.

b)       Memohon tambahan yang pantas kepada Allah Ta’ala

c)        Berusahan dengan giat.

7)      Az-Zuhdu

Dalam kitab “Risalah Qusyairiyah” halaman 56, Imam Junaidi memberikan definisi zuhud sebagaimana terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut : Zuhud ialah menganggap remeh dan menghapus cinta keduniawian dalam hati.

Orang-orang yang zuhud itu ialah orang-orang yang tidak gembira kalau dunia ada padanya dan tidak duka cita kalau dunia menjauh darinya.

Adapun zuhud dibagi menjadi tiga macam :

a)       Zuhud orang awam, yaitu menjauhi harta yang haram.

b)       Zuhud orang khawas, yaitu memalingkan muka dari harta yang halal yang melebihi dari kebutuhan.

c)       Zuhud orang arif, yaitu meninggalkan segala harta benda dunia yang mengganggu akhiratnya, atau meninggalkan segala sesuatu selain mengingat Allah.

8)      Ar-Rohman

Ar-Rohman artinya belas kasih, belas kasih terhadap sesama manusia atau belas kasih terhadap sesama makhluk Allah yang  lain. Abdullah bin Umar r.a berkata, bahwasanya Rosullah SAW telah bersabda yang artinya : “Orang yang belas kasih itu disayang Allah, maka sayangilah semua penghuni bumi, engkau akan disayangi penghuni langit”.

Ada pepatah yang mengatakan bahwa “Yang tua dihormati, dan yang muda disayangi”. Orang yang merasa dirinya “lebih”, lebih tua, lebih berharta, lebih kuat, dan lain-lain hendaklah menyayangi yang kurang dan lemah. Dengan demikian akan terciptalah suatu kerukunan dan kebahagiaan yang dilandasi oleh sifat saling membantu, saling menghormati dan saling menyayangi.

9)      Al-Haya’

Al-haya’ atau malu ialah sifat atau perasaan yang menimbulkan keengganan untuk mengerjakan sesuatu yang rendah atau kurang sopan.

Abul Qosim Al-Junaidi r.a berkata sebagai berikut “Malu ialah karena memandang budi kebaikan dan melihat kekurangan diri, dari kedua pandangan itu timbul sifat tersebut”.

Ciri-ciri malu sebagaimana bagian dari iman ialah :

a)       Memelihara panca indera dari perbuatan haram.

b)       Memelihara perut dan parji dari hal yang diharamkan.

c)       Mementingkan kehidupan akhirat dari kelezatan dunaiwi.

10)  Khusyu’

Khusyu’ ialah perasaan hati yang konsentrasi tertuju pada sesuatu, misalnya khusyu’ kepada Allah, maka kosentrasinya hanya tertuju kepada Allah semata tidak diganggu oleh pikiran-pikiran lainnya.

Khusyu’ dalam peribadatan merupakan syarat mutlak. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al Mukminun ayat 1-2, yang artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya”. (QS. Al-Mukminun 1-2).[16]

Khusyu’ baru dapat timbul bila seseorang telah memiliki unsur-unsur rasa takut kepada Allah, yaitu takut akan siksaan-Nya takut akan kemurkaan-Nya.

11)  Al-Hilmu

Al-Hilmu ialah berlaku sabar atas gangguan orang lain serta memaafkan kesalahan mereka. Sifat hilmu ini termasuk salah satu sifat-sifat, yaitu Al-Halim, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 22, yang artinya : “Hendaknya mereka memaafkan dan merelakan, tiadalah kamu suka, bahwa Allah mengampuni dosamu, Allah pengampun lagi penyayang”. (QS An-Nur : 22).[17]

Allah memuji kepada orang yang memiliki sifat hilmu ini dengan firmannya surat Asy-Syu’araa ayat 43, yang artinya : “Barang siapa yang sabar (atas kesalutan dari seorang kepadanya), dan suka memaafkan, sungguh demikian itu masuk perbuatan yang dituntut (agama)”. (QS. Asy-Syu’araa : 43).[18]



[1]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2000, hlm. 126.



[2]W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, PT. Eresco, Bandung, 1988, hlm. 26.

[3]Tim Dosen FIKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 110.



[4]Ustman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Ahmad Rafi’ Usmani, Pustaka,  Bandung, 1997, hlm, 242.



[5]Al-Qur’an, Surat Shaad Ayat 71-72, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Departemen Agama, 1989, hlm.741.

[6] H.M. Arifin, Op. Cit, hlm.67.

[7]Andi Mapiare, Psikologi Remaja, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm.67.



[8]Agus Sujanto, Psikologi Kepribadian, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hlm. 5



[9]Tim Dosen FIKIP Malang, Op. Cit, hlm.108.



[10]Sanaplah Faisal, et.al, Dimensi-Dimensi Psikologi, Usaha Nasional, Surabaya, t.t. hlm,

[11] Omar Muhamad Al-Toumy, Op. Cit, hlm.137.



[12] Tim Dosen FIKIP Malang, Op. Cit, hlm.109.

[13]Idrus, Menuju Insan Kamil Profil Manusia Berkualitas, Aneka Solo, Surabaya, 1996, hlm. 14.

[14]Al-Qur’an, Surat Al-Bayyinah Ayat 5, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  Departemen Agama, 1989, hlm. 538.

[15]Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah Ayat 155, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hlm. 39.

[16]Al-Qur’an, Surat Al-Mukminun Ayat 1-2, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hlm. 526.



[17]Al-Qur’an, Surat An-Nur Ayat 22, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hlm. 546.



[18]Al-Qur’an, Surat Asy-Syu’araa’ Ayat 43, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1989, hlm. 576.