Dalil-dalil Syar’i yang diperselisihkan Ulama

Yang dimaksud dalil-dalil syar’i yang tidak disepakati (ikhtilaf) ialah sesuatu yang terjadi dalam penentuan mencari alasan atau dalil oleh para mujtahid. Hal ini terjadi karena tidak didapati dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ maupun Qiyas. Adapun macam-macamnya ialah :

1.      Istihsan
a.       Pengertian
Istihsan menurut bahasa adalah anggapan baik atas sesuatu, sedangkan menurut istilah adalah meninggalkan hukum sesuatu peristiwa yang bersandar pada dalil syara’ pada hukum lain yang bersandar pada dalil syara’ pula, karena ada dalil yang mengharuskan atas peninggalan tersebut.

b.      Kehujjahannya
Para ulama yang menggunakan hujjah istihsan adalah kebanyakan ulama Hanafiah, Hanabilah dan Malikiyah, sedangkan ulama Syafi’iyah mengingkari istihsan dan menganggap bahwa seseorang yang berpegang pada istihsan maka ia mengadakan syari’at sendiri.[1]

2.      Maslahah Mursalah
a.       Pengertian
Maslahah mursalah adalah kebaikan yang tidak disinggung-singgung oleh syara’ untuk melaksanakan atau meninggalkan, sedang kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.
b.      Syarat-syarat maslahah mursalah
1)      Hanya berlaku dalam muamalat, karena soal ibadah tidak pernah berubah
2)      Tidak berlawanan dengan syari’at
3)      Karena adanya kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.[2]

c.       Kehujjahan maslahah mursalah
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah merupakan hujjah syari’at dalam pembentukan hukum. Dalil yang mendukung pendapat tersebut adalah :

1)      Bahwa maslahah manusia selalu baru dan tidak ada habis.
2)      Bahwasanya orang yang meneliti pembentukan hukum para sahabat, tabi’in dan mujtahid maka jelaslah bahwa mereka telah mensyari’atkan beberapa hukum untuk merealisir masalah secara umum.[3]

3.      Istihshab
a.       Pengertian
Istihshab menurut bahasa adalah diambil dari perkataan artinya “Saya membawa serta apa yang telah ada pada waktu yang telah lalu sampai sekarang, sedangkan menurut istilah ushul adalah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada, sampai ada dalil yang lain yang mengubah hukum tersebut.[4]
 
b.      Kehujjahannya
Istihshab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seseorang mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, oleh karena itu ulama ushul berkata : “Sesungguhnya istihshab adalah akhir tempat beredar fatwa”. Yaitu mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah ada ditetapkan baginya selama tidak ada dalil yang mengubahnya.[5]

4.      Urf (Adat Kebiasaan)
a.       Pengertian
Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi, baik berupa ucapan, perbuatan.

b.      Macam-macam Urf
Urf ada 2 (dua) macam yaitu urf shohih dan urf fasid

5.      Syar’u man qablana
Apabila Al-Qur’an atau sunnah yang shahih itu telah disyari’atkan oleh Allah kepada umatnya yang telah mendahului kita melalui para Rasul, dan telah dinash bahwasanya syari’at itu diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka.[6]

6.      Madzhab Sahabi
Setelah Rasul wafat, maka tampilah untuk memberi fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum untuk mereka sekelompok sahabat yang telah mengenal fiqh dan ilmu dan merekalah yang lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya.

Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah sebagai suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath’i (pasti) atau zhanni (relatif).
Telah ditetapkan suatu ketetapan bahwa dalil syar’i yang dipergunakan oleh hukum amaliah itu, dikembalikan kepada empat hal yaitu Al-Qur’an, sunah, ijma’ dan qias. Keempat dalil ini sudah disepakati oleh umat Islam. Orang sepakat atas bentuk susunan dalil tersebut untuk mengambil sebagai dasar hukum. Artinya, apabila orang mengemukakan suatu soal, mula-mula dilihat dalam Al-Qur’an, kalau terdapat hukumnya maka lalu dijalankan, kalau tidak terdapat dalam Al-Qur’an, maka dilihat kepada sunah. Kalau terdapat hukumnya dalam sunah ini, lalu dijalankan. Kalau tidak terdapat maka diperhatikan, apakah mujtahid itu pernah bersidang untuk memecahkan masalah ini. Kalau terdapat hukumnya, maka dijalankan, kalau tidak, maka dalam hal ini kita melakukan ijtihad sendiri yaitu dengan kias (memperbandingkan) kepada keputusan-keputusan yang berdasarkan nash.

Bila terdapat dasar hukum yang lain harus dikembalikan kepada dasar hukum yang empat itu. Ulama-ulama kenamaan belum sependapat selain dari yang empat itu dijadikan dasar hukum. Ada diantara Ulama itu yang berpendapat bahwa keempat dasar hukum itu hanya untuk hukum syar’i. Dan ada pula diantara mereka itu yang menentang. Yang masyhur mengenai dasar hukum itu adalah enam perkara, yaitu istihsan, muslahah marsalah, al istishhab, al arfu, mazhab sahabat, dan syari’at dari yang sebelum kita.

[1]Ibid, hlm. 142.
[2]Ibid, hlm. 144.
[3]Abdul Wahab Khollaf, Op.cit, hlm. 130.
[4]Chaerul Umam, et.al, Op.cit, hlm.
[5]Abdul Wahab Khollaf, Op.cit, hlm. 138.
[6]A. Hanafie, Op.cit, hlm. 133.