Analisis Terhadap Penerimaan dan Pemeriksaan Perkara No. 336/ Pdt.G/ PA. Kudus

Penerimaan Perkara

Undang-Undang No.14 Tahun 1970 pasal 2 ayat (1) mengatakan bahwa: Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-Undang dengan tugas pokok untuk menerima memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dan dalam penjelasannya peselesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya menyelesaikan masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.

Kata yang terpenting dalam pasal tersebut di atas, adalah “mengadili” sebenarnya dengan kata mengadili sudah tercantum pula kata-kata yang lainnya, karena perbuatan mengadili adalah bertujuan untuk memberikan suatu keadilan. Tugas menerima dan memeriksa perkara adalah rangkaian tugas yang harus dilaksanakan untuk tujuan memberikan keadilan.

Perkara cerai gugat No. 336/Pdt.G/PA/Kudus telah terdaftar di Pengadilan Agama Kudus pada tanggal 9 Agustus 1998 dalam buku register untuk perkara gugatan. Ditinjau dari para pihak yang berperkara dalam perkara tersebut terdiri dari dua pihak, yaitu penggugat dan tergugat sehingga sudah barang tentu termasuk perkara contencius. Maka sudah semestinya didaftarkan dalam buku register perkara gugatan dan ini harus diberikan kode P.dt.G. Adapun penyebutan para pihaknya adalah penggugat dan tergugat.
Menurut Pasal 148 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwald atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya hukum banding dan kasasi. Ini berarti perkara No. 336/Pdt.G/1998/PA.Kudus, dimulai dengan permohonan oleh istri dan dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara yang melibatkan para pihak untuk memberikan tanggapan, sehingga termasuk perkara contencius. Namun pada akhirnya pengadilan memberikan izin kepada suami untuk ikrar talak sebagai penetapan tanpa upaya hukum banding dan kasasi. Maka sudah semestinya perkara tersebut juga adalah termasuk perkara voluntair.

Menurut penulis, Pengadilan Agama Kudus sudah sesuai dalam meregister perkara ini yang memberi kode Pdt.G terhadap perkara yang dianalisanya, karena terdapat para pihak yang bersengketa dan lebih dari itu pemohon (istri) sudah sepantasnya disebut sebagai penggugat dan suaminya sebagai tergugatnya sebagaimana disebutkan dalam putusannya.

Pemeriksaan Perkara

Proses pemeriksaan perkara perdata di depan sidang dilakukan melalui  tahab-tahab dalam hukum acara perdata, setelah hakim terlebih dahulu berusaha mendamaikan para pihak. Tahab-tahab pemeriksaan perkara tersebut adalah; pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian, kesimpulam para pihak dan putusan hakim.[1]

Dalam kasus pemeriksaan perkara No. 336/Pdt.G/1998/PA.Kudus tampak jelas didahului dengan Majlis Hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak (penggugat dan tergugat) walaupun akhirnya tidak berhasil.
Perdamaian dalam perkara perdata pada umumnya diatur dalam Pasal 130 HIR, pasal 154 RBg dan Pasal 14 ayat (2) UU.No.14 Tahun 1970.[2] Sedang perdamaian dalam Kompilsi Hukum Islam disebutkan pada Pasal 148 sebagai berikut:

1)      Dalam pemeriksaan gugatan perceraian hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
2)      Selama perkara belum diputus usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.[3]

Sehingga pada setiap sidang, sebelum pemeriksaaan perkara hakim diwajibkan untuk mengusahakan perdamaian antara pihak-pihak yang berperkara, karena usaha ini bersifat imperatif, sehingga apabila usaha perdamaian tidak dilakukan oleh Majlis Hakim maka berakibat putusan dapat dibatalkan.

Dalam perkara perceraian, hal ini diatur oleh pasal 56 ayat (2), pasal 65, pasal 82, pasal 83, UU.No.7 Tahun 1989, pasal 31, pasal 32, PP.No 9 Tahun 1975, pasal 143, pasal 144, pasal 145 Kompilasi Hukum Islam. dalam sengketa yang berkaitan dengan setatus seseorang (perceraian) maka tindakan hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa untuk menghentikan persengketaannya adalah mengupayakan tidak terjadinya perceraian.[4] Terutama jika sudah ada anak, maka hakim harus lebih sungguh-sungguh dalam upaya mendamaikan suami istri tersebut.

Damai yang ingin dicapai sesuai nasehat Majlis Hakim yaitu sudah barang tentu supaya istri mencabut gugatannya dan mengurungkan niatnya untuk bercerai, dan perlu membina keharmonisan dengan suaminya membentuk keluarga.      

Adalah tidak benar jika Majlis Hakim dalam mengusahakan perdamaian menasehati kepada pihak suami (tergugat) agar menyetujui dan membenarkan gugatan penggugat (suaminya) untuk bercerai.

Penggugat dalam surat gugatanya (tanggal 19 Agustus 1998) menggugat kepada suaminya (tergugat) menyampaikan dengan dalih bahwa penyebab/alasan permintaan cerainya diawali dari penggugat dimadu atau sebagai istri kedua (suami poligami) tidak mendapat perlakuan dari tergugat secara adil baik masalah waktu gilir maupun nafkah lahir. Dan kemelut rumah tangga antara penggugat dan tergugat semakin tajam sejak bulan Juni 1998 timbul kejadian/peristiwa yaitu tergugat tidak pernah memberi nafkah bathin selama lebih dari 14 hari. Kejadian/ peristiwa tersebut akibatnya antara penggugat dan tergugat hidup berpisah sendiri-sendiri selama 14 hari, bahkan penggugat telah melalaikan kewajibanya dengan membiarkan dan tidak mempedulikan penggugat tanpa memberi nafkah selama  14  hari.

Tergugat dalam jawabannya ternyata mengakui semua dalil-dalil penggugat bahkan penggugat menyampaikan tidak keberatan apabila harus bercerai dengan penggugat.

Setelah semua dalil-dalil penggugat diakui oleh tergugat, maka kewajiban untuk membuktikan dengan sendirinya gugur, karena berdasarkan pasal 174 HIR  pengakuan dimuka sidang merupakan bukti yang sempurna terhadap yang melakukannya, dan bersifat menentukan karena tidak memungkinkan pembuktian lawan. Mengenai istilah “bukti yang sempurna“, yang ada pada pengakuan ini, kiranya lebih tepat jika penulis menggunakan istilah “bukti yang menentukan”, sebab pengakuan ini tidak dapat ditarik kembali, kecuali didalam  hal adanya kekeliruan tentang fakta-fakta yang dijadikan dasar pada pengakuan tersebut. 5

Pengakuan tergugat sebagaimana dinyatakan diatas, merupakan bukti terkuat, disebutkan dalam kitab “I’anatut Tholibin” Juz 4, hlm.258.

اذااقر المد عى عليه ثبت الحق. 6


Artinya   :  “Apabila tergugat mengakui atas kebenaran dakwaan penggugat, maka tetaplah kebenaran dakwaan itu”.[a1]

Pemeriksaan perkara berakhir setelah kedua belah pihak tidak mengajukan bukti dan telah mohon putusan.

Dilihat dari kesempatan yang diberikan Majlis Hakim kepada para pihak telah dilihat proposional dan sesuai dengan azas trialjustis atau peradilan yang tidak memihak.

Untuk menegakkan hukum material yang menjadi kompetensi Pengadilan Agama,  undang-undang No 7 Tahun 1889 telah  mengatur bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkunan Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

Hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan Umum pada dasarnya terdapat dalam HIR untuk daerah Jawa dan Madura serta RBg untuk daerah seberang.

Hukum acara yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang No.7 Tahun 1989 adalah hal-hal dalam sengketa keluarga, dimana sebenarnya sebagaian telah diatur dalam peraturan pemerintah No 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang No.1 Tahun 1974. tentang perkawinan.

Hukum acara mengenai tata cara perceraian secara khusus telah diatur dalam PP. No 9 Tahun 1975 yaitu Bab V pasal 14 sampai dengan pasal  36, kemudian diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam Bab XVI pasal 113 sampai dengan pasal 114.

Menurut hemat penulis, penanganan Majlis Hakim terhadap perkara cerai gugat perkara No.336/Pdt.G/1998/PA.Kudus tersebut telah memperhatikan hukum acara yang berlaku, baik yang secara umum berlaku di Pengadilan Umum maupun yang secara khusus berlaku di bidang hukum perkawinan di Pengadilan Agama.

Namun dalam perkara ini, ada permasalahan/ kejanggalan dimana alasan yang diajukan penggugat untuk  mengajukan perceraian dengan jalan khuluk adalah karena ia dimadu atau sebagai istri kedua (suami poligami) tidak mendapat perlakuan dari tergugat secara adil baik masalah waktu gilir dan nafkah lahir. Padahal alasan tersebut sama sekali tidak disebutkan secara tekstual dalam perundang-undangan. Permasalahan ini akan penulis ulas scara khusus pada bagian berikutnya.

[1]A. Mukti Arto, Praktek-praktek Perkara Perdata, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 81.
[2]Ibid, hlm. 92.
[3]Kompilasi Hukum Islam, Inpres RI, No. 1 Tahun 1991, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998/ 1999, hlm. 66.
[4]A. Mukti Arto, Op.cit, hlm. 1993.
5Ali Afandi, Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 219.
6Abu Bakar Bin Muhammad Syato’atdhimyati, I’anatut Tholibin, Semarang, t.th., hlm. 258.