Sekolah adalah tempat mendidik dan mengajar anak-anak. Sekolah mempunyai undang-undang dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh murid-murid. Tujuan didirikan sekolah adalah melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mendidik anak-anak dengan pendidikan yang sebenarnya, sehingga menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat di kemudian hari.
Orang tua menyerahkan anaknya ke sekolah, supaya sekolah mendidik anak itu dengan sebaik-baiknya. Orang tua tak dapat sepenuhnya melaksanakan pendidikan dengan sendirinya, sehingga di sekolah itulah tempat yang diharapkan dapat menyempurnakan pendidikan anaknya.
Kewajiban sekolah ialah melaksanakan pendidikan yang tak dapat dilaksanakan di rumah tangga. Pengalaman anak-anak yang dijadikan dasar untuk pelajaran di sekolah. Kelakuan anak-anak yang kurang baik diperbaiki. Tabiatnya yang salah dibetulkan. Perangainya yang kasar diperhalus, tingkah lakunya yang senonoh diperbaiki dan begitulah seteusnya. Dengan demikian barulah sekolah menunaikan kewajibannya terhadap pendidikan dan berusaha memperbaiki masyarakat di masa yang akan datang.
Selain itu sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Mungkin orang tua berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan, secara kelembagaan, sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dengan membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberikan pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak didik. Namun demikian besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaiamana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat. Pembentukan kebiasaan ini menurut Whiterington seperti yang dikutip oleh Jalaluddin dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif.[2]
Menurut Mc. Guire, masih dikutip oleh Jalaluddin dikatakan bahwa proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung dan ditandai melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan.[3]
Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan di sekolah untuk membentuk masyarakat madani sangat tergantung dari kemampuan para pendidik menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama di sekolah yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang memungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dan disertai latihan-latihan. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan sematayang efek negatifnya adalah lupa. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik.
[2]Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 206.
[3]Ibid., hal. 207.
Orang tua menyerahkan anaknya ke sekolah, supaya sekolah mendidik anak itu dengan sebaik-baiknya. Orang tua tak dapat sepenuhnya melaksanakan pendidikan dengan sendirinya, sehingga di sekolah itulah tempat yang diharapkan dapat menyempurnakan pendidikan anaknya.
Kewajiban sekolah ialah melaksanakan pendidikan yang tak dapat dilaksanakan di rumah tangga. Pengalaman anak-anak yang dijadikan dasar untuk pelajaran di sekolah. Kelakuan anak-anak yang kurang baik diperbaiki. Tabiatnya yang salah dibetulkan. Perangainya yang kasar diperhalus, tingkah lakunya yang senonoh diperbaiki dan begitulah seteusnya. Dengan demikian barulah sekolah menunaikan kewajibannya terhadap pendidikan dan berusaha memperbaiki masyarakat di masa yang akan datang.
Kewajiban sekolah bukanlah semata-mata mengajar, tetapi juga bertanggung jawab tentang perbaikan masyarakat kemanusiaan, dan kehidupan kemanusiaan. Sekolah harus menjadi sumber kebaikan, menjadi sumber akhlak yang mulia, menjadi tempat untuk kesucian dan kesempurnaan. Sekolah yang tak mencapai kesempurnaan dari segi ilmiah, amal perbuatan, jasmani, ‘akli, akhlaq, kemasyakatan, karohaniaan, dan perasaan berarti belum menunaikan kewajibanya terhadap pendidikan dan pengajaran. Pendidikan sekolah harus berusaha mendidik anak-anak, supaya sampai kepada kesempurnaan masyarakat seluruhnya. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi mementingkan masyarakat seluruhnya. Seseorang belum dapat dikatakan tinggi akhlaqnya, kecuali bila ia melupakan kepentingan dirinya untuk kebaikan masyarakat. Dengan demikian ia menjadi anggota yang hidup dalam masyarakat.[1]
Selain itu sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak, terkadang para orang tua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Mungkin orang tua berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk masuk ke sekolah-sekolah umum. Atau sebaliknya para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan, secara kelembagaan, sekolah tersebut dapat memberi pengaruh dengan membentuk kepribadian anak-anak tersebut.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberikan pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada anak didik. Namun demikian besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaiamana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat. Pembentukan kebiasaan ini menurut Whiterington seperti yang dikutip oleh Jalaluddin dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja dan direncanakan. Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara yang kedua tampaknya akan lebih efektif.[2]
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak didik, antara lain, sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga. Dalam konteks ini, guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang diberikannya.
Menurut Mc. Guire, masih dikutip oleh Jalaluddin dikatakan bahwa proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima berlangsung dan ditandai melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan.[3]
Dengan demikian pengaruh kelembagaan pendidikan di sekolah untuk membentuk masyarakat madani sangat tergantung dari kemampuan para pendidik menimbulkan ketiga proses itu. Pertama, pendidikan agama di sekolah yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang memungkinkan anak-anak memberikan perhatiannya. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini akan lebih mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari dan disertai latihan-latihan. Jadi tidak terbatas pada kegiatan yang bersifat hafalan sematayang efek negatifnya adalah lupa. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan. Penerimaan sangat tergantung dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan anak didik.
[1]Mahmud Yunus, Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, PT. Hindakarya Agung, Jakarta, 1986, hal. 31.
[2]Jalaluddin, Psikologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 206.
[3]Ibid., hal. 207.