Aspek Perkembangan Pendidikan Anak

Perkembangan Fisik

Pada saat anak mencapai tahapan pra sekolah (3 – 6 tahun) ada ciri yang jelas membedakan antara anak usia bayi dan anak usia pra sekolah. Perbedaan tersebut dapat pada proporsi tubuh (postur tubuh, berat, dan gerakan-gerakan yang dimiliki anak). Melalui pengamatan perkembangan jasmani, pertumbuhan bersifat cephalo candal (mulai dari kepala menuju tulang ekor) dan proximo distal (dari bagian tengah ke arah tepi tubuh).[1]

Pertumbuhan fisik, baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi prilaku anak sehari-hari, secara langsung pertumbuhan fisik seorang anak akan menentukan ketrampilan anak dalam bergerak, secara tidak langsung pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisik akan mempengaruhi bagaimana anak itu memandang dirinya sendiri dan bagaimana ia memandang orang lain. Syamsu Yusuf LN, menyatakan bahwa: “perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Dengan meningkatnya pertumbuhan kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan ketrampilan fisiknya dan eksplorasinya terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orang tuanya.[2]

Untuk membantu perkembangan fisik anak sangat dibutuhkan gizi yang cukup, baik protein, vitamin dan mineral. Kekurangan gizi pada anak akan mengakibatkan cacat tubuh dan kelemahan mental sehingga proses perkembangannya akan terganggu, yang akibatnya akan mempengaruhi aspek perkembangan lain pada diri anak.

Perkembangan Bahasa

Sesuai dengan fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam pergaulan atau hubungannya dengan orang lain. Menurut Soemiarti Patmonodewo mengatakan bahwa perkembangan bahasa pada anak, banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak prasekolah biasanya telah mampu mengembangkan ketrampilan berbahasa melalui percakapan yang memikat orang lain, mereka menggunakan bahasa dengan berbagai cara, misalnya melalui bertanya, berdialog dan bernyanyi.[3]

Perkembangan bahasa yang dimiliki anak prasekolah banyak dipengaruhi lingkungannya, sehingga untuk membantu perkembangan bahasa atau kemampuan berkomunikasi, maka pendidik harus memberi fasilitas dan kemudahan bagi anak. Menurut Sunarto dan Agung Hartono mengatakan bahwa perkembangan bahasa ini terkait dengan perkembangan intelektual anak, yang berarti anak yang rendah kemampuan berfikirnya akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keinginan melalui komunikasi atau bahasa.[4]

Perkembangan Intelektual atau Kognitif

Intelektual atau kognitif seringkali diartikan sebagai kecerdasan atau berfikir. Perkembangan kognitif menunjukkan perkembangan dari cara anak berfikir. Ada beberapa ciri dan karakteristik yang menandai masa ini di antaranya :

1)   Egosentrisme yaitu anak cenderung menafsirkan sesuatu berdasarkan sudut pandang sendiri. Salah satu implikasinya, anak tidak dapat memahami persepsi konseptual orang lain.

2)   Kaku dalam berfikir, berfikir yang bersifat centration (memusat) yaitu kecenderungan berfikir atas dasar satu dimensi baik mengenai obyek maupun peristiwa dan tidak menolak dimensi-dimensi lainnya.

3)   Semilogical rentoning, anak-anak mencoba untuk menjelaskan peritiwa-peristiwa alam yang misterius yang dialaminya sehari-hari, salah satu pemecahannya dalam menjelaskan itu dianalogikan dengan tingkah laku manusia.[5]

Melalui peningkatan perkembangan intelegensi anak, mereka akan memiliki kemampuan untuk berfikir belajar dan mendapatkan pengalaman. Oleh sebab itu pendidik harus berusaha membantu anak agar kualitas intelegensinya senantiasa berkembang. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan demi peningkatan kualitas intelegensi anak, di antaranya :

1)   Setiap pertanyaan yang diajukan anak harus diberi jawaban mudah tidak berbohong dan tidak berbelit.
2)   Jauhkan anak-anak dar cerita-cerita fiksi yang manfaatnya tidak jelas.
3)   Latihlah anak berfikir logis dan melibatkan mereka dalam permasalahan-permasalahan sederhana melalui dialog.
4)   Hindarkan anak-anak dari keterlibatan mereka dalam percekcokan orang dewasa, karena itu akan berpengaruh dan berbahaya bagi pribadi anak-anak.
5)   Cermatilah perbedaan individual anak-anak dalam hal prestasi belajar, kecerdasan respon atau hapalan-hapalan.
6)   Jagalah anak-anak jangan sampai terkena penyakit karena hal itu menyebabkan keterbelakangan atau gangguan intelegensi.
7)   Tangani berbagai kelemahan indra penglihatan pandangan, penciuman, perasa dan lisan sejak dini.[6]

Perkembangan Sosial

Pada saat berusia 3 tahun, anak mulai belajar mengenal lingkungan di luar keluarga dimulai melakukan hubungan sosial dengan orang lain, mereka belajar menyesuaikan diri dan bersikap sesuai dengan kelompoknya. Anak mulai mengetahui aturan-aturan baik lingkungan keluarga maupun di lingkungan tempat bermain. Mereka mulai aktif bermain dengan anak-anak lain atau teman sebayanya.

Untuk membantu perkembangan sosial, anak dapat dimasukkan ke Taman Kanak-kanak (TK). TK merupakan tempat yang memberikan peluang bagi anak sebagai ajang bergaul yang akan memperluas pergaulan sosialnya. TK dipandang mempunyai kontribusi yang baik bagi perkembangan sosial anak, karena alasan-alasan berikut :

1)      Suasana TK sebagian besar seperti suasana keluarga.
2)      Tata tertibnya masih longgar, tidak terlalu mengikat keterbatasan anak.
3)      Anak berkesempatan untuk aktif bergerak, bermain, dan riang gembira yang kesemuanya mempunyai nilai padagogis.
4)      Anak dapat mengenal dan bergaul dengan teman sebaya yang beragam, baik etnis, agama dan budaya. [7]

Dengan bergaul dan bermain bersama-sama, pergi dan pulang bersama-sama, bercakap-cakap dan bernyanyi bersama-sama yang terdapat di TK tersebut, maka perasaan sosial anak itu telah mulai dilatih sejak dini, sehingga perkembangan sosial anak akan meningkat dengan baik.

Perkembangan Emosi

Perkembangan emosi berhubungan dengan seluruh aspek perkembangan anak, setiap anak mempunyai perasaan rasa senang, marah, jengkel, dalam menghadapai lingkungannya sehari-hari. Pada masa ini anak berada pada masa ketidak seimbangan, dalam arti bahwa anak-anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Perilaku yang muncul sehubungan dengan masa ini adalah perilaku melawan otoritas orang tua, agresif, kasar, merusak, memikirkan diri sendiri. Ciri-ciri emosional pada anak usia prasekolah dan TK yaitu : 1) anak TK cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka ; 2) irihati pada anak prasekolah sering terjadi, mereka sering memperebutkan perhatian guru.[8] Beberapa jenis emosi yang berkembang pada usia ini, seperti rasa takut, marah, rasa cemas, kegembiraan, kesenangan, cemburu, dan lain sebagainya.

Perkembangan Moral

Pada masa ini, anak telah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya orang (tua, teman sebayanya dan saudaranya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain yang ada di sekitarnya, anak belajar memahami kegiatan atau perilaku mana yang baik, boleh, disetujui atau buruk, tidak boleh, dan yang tidak disetujui. Menurut Elisabeth B. Hurlock yang mengatakan :

“Perkembangan moral mempunyai aspek kecerdasan dan anak impulsif. Anak harus belajar apa saja yang benar dan yang salah. Selanjutnya, segera setelah mereka cukup besar, mereka harus diberi penjelasan mengapa ini benar dan itu salah, mereka juga harus mempunyai kesempatan untuk mengambil bagian dalam kegiatan kelompok. Lebih penting lagi, mereka harus mengembangkan keinginan untuk melakukan hal yang benar, bertindak untuk kebaikan bersama dan menghindari yang salah”.[9]

Berdasarkan pemahamannya tersebut, maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia harus bertingkah laku, berbuat dan bergaul. Pada saat mengenalkan konsep-konsep baik buruk, benar salah, hendaknya pendidik memberi alasan dan jawaban yang baik dan sederhana. Apabila penanaman kedisiplinan tidak diiringi dengan penjelasan tentang alasannya atau bersifat doktriner, biasanya akan lahir disiplin buta dan anak tidak tahu maksudnya, yang berakibat anak bertindak karena takut bukan karena kesadaran sendiri.

Perkembangan Keagamaan Anak Prasekolah

Pada dasarnya anak yang baru lahir ke dunia belum beragama, namun dia telah dibekali suatu potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia yang beragama. Dalam Islam mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada pada diri setiap insan, dan hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) yang diberikan Allah kepada manusia sejak asal kejadiannya, seperti dalam firman Allah SWT yaitu :

فاقم وجهك للدّ ين حنفا فطرة الله التى فطر النّاس عليها لا تبد يل لخلق الله ذ لك الدّ ين القيّم ولكنّ اكثرالنّاس لا يعلمون (الروم : 30)


“Maka hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) (tataplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidaklah ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[10]

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa agama telah berkembang pada diri anak sejak manusia itu diciptakan oleh Allah, selanjutnya pendidikan agama yang akan membawa anak menjadi orang yang taat beragama atau tumbuh menjadi anak yang tidak memiliki kesadaran agama.

Untuk memahami dan mengetahui keagamaan pada anak prasekolah atau TK, tentunya tidak dapat terlepas dari sifat-sifat dan ciri-ciri dari keagamaan yang dimiliki oleh anak. Kesadaran beragama yang dimiliki anak usia ini, ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut :

1)      Sikap keagamaannya bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya.
2)      Pandangan ketuhanannya bersifat anthropolmoph (dipersonifikasikan)
3)      Penghayatan secara rohaniah masih superfical (belum mendalam)
4)      Hal ketuhanan dipahamkan secara ideasyncritic (menurut khayalan pribadinya) sesuai dengan taraf berfikirnya yang masih bersifat egosentrik (memandang suatu dari sudut dirinya).[11]

Selaras dengan perkembangan kepribadian, maka keagamaan seseorang juga menunjukkan adanya kelangsungan (kontinuitas) dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan keagamaan seseorang itu berlanjut, namun sikap fase perkembangan menunjukkan adanya sifat-sifat tertentu yang membedakan dari setiap fase tersebut. Sejalan dengan ciri-ciri keagamaan di atas, maka dapat diketahui beberapa sifat keagamaan yang melekat pada diri anak, di antaranya :
1)   Unreflektive (tidak mendalam)
Kebenaran tentang agama yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dari mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.

2)   Egosentris
Tidak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan bertambahnya pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri sendiri mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjol kan kepentingan dirinya.

3)   Anthromorpis
Kepercayaan anak-anak tumbuh dan berkembang melalui latihan-latihan dan pendidikan yang ia terima dalam lingkungan. Biasanya kepercayaan yang dimiliki anak berdasarkan konsep-konsep nyata, misalnya cara pandang tentang Tuhan, surga, neraka, malaikat, jin dan sebagainya adalah dalam bentuk dan gambaran yang pernah dilihat dan didengarnya dari tempat tingalnya (lingkungannya).

4)   Verbalis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan), mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari alamiah yang mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif.

5)   Imitatif
Pada dasarnya tindak keagamaan yang dilakukan anak-anak diperoleh dari meniru. Berdo’a dan sholat misalnya mereka melaksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan baik berupa pembiasaan maupun pengajaran yang intensif.

6)   Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan salah satu sifat keagamaan yang melekat pada diri anak. Berbeda dengan orang dewas, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Meraka hanya kagum pada lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.[12]

Footnote

[1]Soemiarti Patmodewo, Pendidikan Anak Prasekolah (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 19.
[2]Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm. 50.
[3]Soemiarti Patmodewo, Op.cit, hlm. 29.
[4]Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 140.
[5]Syamsu Yusuf LN, Op.cit, hlm. 166.
[6]Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak secara Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 32.
[7]Syamsu Yusuf LN, Op.cit, hlm. 17.
[8]Soemiarti Patmodewa, Op.cit, hlm. 35.
[9]Elisabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, Terj. Meitasari Tjandrasa (Jakarta: Erlangga, 1989), hlm. 75.
[10]Soenarjo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 645.
[11]Syamsu Yusuf LN, Op.cit, hlm. 176-177.
[12]Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 68-71