Yang dimaksud pengalaman disini adalah pengalaman religius atau penghayatan terhadap agama. Penghayatan adalah pengalaman religius yang terwujud dengan perasaan dekat dengan Allah SWT., khusyu’, tenteram, bahagia, perasaan do’anya sering terkabul, dan ikhlas dalam beribadah sholat, bertawakal kepada Allah SWT, apabila dibacakan al-Qur’an bertambah imannya, apabila mendengar sebutan Asma Allah hatinya merasa bergetar, dan lain sebagainya. Hal ini disebut oleh Nabi Muhammad SAW sebagai perwujudan ihsan, yaitu ajaran tentang penghayatan dekat akan hadirnya Tuhan dalam hidupnya, melalui penghayatan diri sebagai hamba yang sedang menghadap dan berada di depan kehadirat-Nya ketika beribadah.[1] Dimensi ini menunjukkan bahwa, seseorang beragama selalu menguji keimanannya melalui pengamatan-pengamatan keagamaan sehingga menemukan keyakinan yang lebih tepat. Peribadatannya selalu dievaluasi dan ditingkatkan agar menemukan kenikmatan penghayatan “kehadiran” Tuhan.
Pada hakikatnya relevansi antara dimensi pengalaman atau dimensi penghayatan dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), terdapat dalam keseluruhan materi kurikulum PAI tersebut. Karena seluruh perilaku beragama seseorang (baik berupa ibadah, mu’amalah, syari’ah, al-Qur’an dan lain-lain) menunjukkkan pengalaman beragamanya. Akan tetapi pengalaman beragama seseorang, yaitu antara individu yang satu dengan individu yang lain, masing-masing berbeda, tergantung dari tingkat keimanan dan ketaqwaannya. Seseorang yang mempunyai keimanan dan ketaqwaan yang kuat, akan mempunyai penghayatan terhadap agama lebih tinggi, karena ketika beribadah dia merasa dekat dengan Allah SWT, merasa tenteram, merasa bahagia, merasa do’anya sering terkabul, apabila dibacakan ayat suci al-Qur’an bertambah imannya, apabila disebut asma Allah hatinya bergetar dan lain sebagainya. Berbeda dengan orang yang mempunyai keimanan yang lemah, maka dalam beribadah dia hanya sekedar melaksanakan atau menggugurkan kewajibannya, tidak sampai pada penghayatan terhadap kewajiban tersebut, sehingga dalam beribadah dalam hatinya tidak muncul perasan-perasan yang aneh.
Kaitannya dengan relevansi antara dimensi pengalaman atau penghayatan dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), dapat kita temukan antara lain dalam unsur pokok keimanan. Dalam unsur pokok keimanan ini, anak didik diharapkan tidak hanya mengetahui tentang iman kepada rukun iman, tetapi juga memahami, meyakini dan menghayati makna keimanan kepada ke-enam rukun iman tersebut. Disamping itu, dengan mempelajari unsur-unsur pokok yang lain (seperti: ibadah, syari’ah, mu’amalah, akhlak, al-Qur’an dan tarikh), diharapkan akan menambah keimanan dan ketaqwaan anak didik, sehingga akan mempengaruhi pengalaman atau penghayatan keagamaannya.
[1] Nurcholish Madjid, Masalah Simbol dan Simbolisme Dalam Ekspresi Keagamaan, dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, hal. 463-482.
Pada hakikatnya relevansi antara dimensi pengalaman atau dimensi penghayatan dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), terdapat dalam keseluruhan materi kurikulum PAI tersebut. Karena seluruh perilaku beragama seseorang (baik berupa ibadah, mu’amalah, syari’ah, al-Qur’an dan lain-lain) menunjukkkan pengalaman beragamanya. Akan tetapi pengalaman beragama seseorang, yaitu antara individu yang satu dengan individu yang lain, masing-masing berbeda, tergantung dari tingkat keimanan dan ketaqwaannya. Seseorang yang mempunyai keimanan dan ketaqwaan yang kuat, akan mempunyai penghayatan terhadap agama lebih tinggi, karena ketika beribadah dia merasa dekat dengan Allah SWT, merasa tenteram, merasa bahagia, merasa do’anya sering terkabul, apabila dibacakan ayat suci al-Qur’an bertambah imannya, apabila disebut asma Allah hatinya bergetar dan lain sebagainya. Berbeda dengan orang yang mempunyai keimanan yang lemah, maka dalam beribadah dia hanya sekedar melaksanakan atau menggugurkan kewajibannya, tidak sampai pada penghayatan terhadap kewajiban tersebut, sehingga dalam beribadah dalam hatinya tidak muncul perasan-perasan yang aneh.
Kaitannya dengan relevansi antara dimensi pengalaman atau penghayatan dengan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI), dapat kita temukan antara lain dalam unsur pokok keimanan. Dalam unsur pokok keimanan ini, anak didik diharapkan tidak hanya mengetahui tentang iman kepada rukun iman, tetapi juga memahami, meyakini dan menghayati makna keimanan kepada ke-enam rukun iman tersebut. Disamping itu, dengan mempelajari unsur-unsur pokok yang lain (seperti: ibadah, syari’ah, mu’amalah, akhlak, al-Qur’an dan tarikh), diharapkan akan menambah keimanan dan ketaqwaan anak didik, sehingga akan mempengaruhi pengalaman atau penghayatan keagamaannya.
[1] Nurcholish Madjid, Masalah Simbol dan Simbolisme Dalam Ekspresi Keagamaan, dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Paramadina, Jakarta, 1995, hal. 463-482.