Relevansi Kurikulum PAI dengan Dimensi Praktek Agama

Dimensi praktek agama ini, mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.[1] Dalam istilah agama Islam, dimensi praktek agama ini disebut dengan istilah ubudiyah (ibadah). Ibadah merupakan bagian yang sangat penting sebagai pelaksanaan kehidupan beragama, atau peribadatan merupakan realisasi penghayatan dan keimanan, atau iman tanpa ibadah akan sulit untuk memperkuat kepercayaannya kepada Allah. Secara garis besar, ibadah dibagi menjadi dua macam, yaitu: pertama, Ibadah Mahdhah, yaitu ibadah yang ketentuan dan pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Nas dan merupakan sari ibadah kepada Allah SWT, seperti: shalat, zakat, puasa dan haji. Kedua, Ibadah Ghairu Mahdhah, yaitu ibadah yang ketentuannya tidak pasti. Seperti dalam hal sosial, politik, budaya, ekonomi, pendidikan, lingkungan hidup, kemiskinan dan lain sebagainya.[2]
Pelaksanaan praktek agama merupakan bentuk ekspresi keagamaan, dan merupakan kelanjutan logis dari sistem iman. Karena keimanan itu harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi penghambaan seseorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Allah SWT.  Dalam melakukan tindakan ubudiyah harus disertai sikap ikhlas dan pasrah yang tulus, karena tanpa keikhlasan dan ketulusan akan membatalkan makna tindakan ubudiyah itu sendiri. Yaitu pengalaman kedekatan dan keakraban dengan Allah SWT. Dengan demikian, dimensi praktek agama atau ubudiyah ini menunjukkan kepada kepatuhan Muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ibadah ritual maupun ibadah sosial, sebagaimana yang diajarkan oleh agama Islam.
Dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Sekolah Menengah Umum (SMU), dimensi praktek agama atau dimensi ibadah dapat kita lihat pada unsur pokok ibadah. Unsur pokok ibadah ini ditekankan pada kemampuan anak didik dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya, seperti kemampuan anak didik dalam melaksanakan shalat-shalat sunat, kemampuan menjadi imam dan khatib dalam shalat jum’at, tata cara menyelenggarakan jenazah, dan lain sebagainya.

Relevansi antara kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan dimensi ibadah atau praktek agama ini juga dapat kita temukan dalam Tujuan Pembelajaran yang termuat dalam kurikulum / GBPP PAI Sekolah Menengah Umum (SMU), yaitu diharapkan semua siswa, tidak hanya mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap Allah SWT, tetapi juga mampu menghayati kewajiban-kewajiban tersebut. Adapun Tujuan Pembelajaran tersebut adalah:
Kelas satu: “Siswa memahami, menghayati dan mampu shalat berjama’ah menjadi imam, shalat fardhu ‘ain dalam berbagai keadaan, macam-macam sujud dan khutbah jum’at”.

Kelas dua: “Siswa memahami, menghayati dan mengamalkan shalat sunat, zikir dan do’a serta mampu menyelenggarakan jenazah”.

Kelas tiga: “Siswa memahami ketentuan, kedudukan dan hikmah shalat, zakat dan pajak, haji dan umrah”.[3]
Dengan demikian, antara dimensi praktek agama (ibadah) dan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) terdapat suatu kesesuaian (relevansi), khususnya dalam unsur pokok ibadah. Antara keduanya sama-sama menekankan tidak hanya pada kemampuan melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah SWT, tetapi juga pada kemampuan menghayati kewajiban-kewajiban Allah SWT tersebut. Disamping itu, dengan penghayatan dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban  ibadah tersebut, merupakan bentuk kepatuhan Muslim atau realisasi dari keimanan  seseorang.

Daftar Pustaka 
[1] R. Stark dan C.Y. Glock, Agama : dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, dalam Roland Robertson, ed., Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995,  hal. 295.[2] Fakhrur Razi, S.Ag., Pengajaran Ibadah, dalam Drs. Chabib Thoha, M.A., dkk., (tim perumus), Op. Cit., hal. 172. [3] Depdikbud., Op. Cit. hal. 4, 14 dan 23.