Sebagai konsekuensi dari keyakinan, penghayatan, ibadah ritual dan pengetahuan adalah akhlak atau budi pekerti keberagamaan yang baik yang dimiliki seseorang. Beragama dengan tulus tidak cukup hanya mengerjakan ritual keagamaan saja, akan tetapi menuntut adanya konsekuensi-konsekuensi dari ibadah yang dilaksanakannya, yaitu berbudi pekerti yang lurus, yang sesuai dengan ajaran agama. Pesan dan seruan untuk menangkap makna yang ada dibalik segi-segi formal dan lahiri dalam praktek ibadah, merupakan konsekuensi dari berbagai penegasan dalam ajaran Islam, bahwa selain formalitas-formalitas atas simbol-simbol, terdapat makna yang lebih hakiki, yang merupakan tujuan yang sebenarnya dalam hidup keberagamaan.
Secara tersirat makna dimensi konsekuensi ini terdapat dalam keseluruhan materi kurikulum PAI. Akan tetapi secara khusus, dimensi konsekuensi (makna dibalik ibadah ritual atau makna sosial), terdapat dalam unsur pokok akhlak dan mu’amalah. Dalam unsur pokok akhlak, diharapkan anak didik memiliki sifat dan sikap tangggung jawab, keadilan, ikhlas, kesetiakawanan, syukur nikmat, disiplin, etos kerja dan terhindar dari penyakit-penyakit masyarakat. Dan dalam unsur pokok mu’amalah, anak didik diharapkan terbiasa dengan bermusyawarah, perdamaian dan kerja sama (syarikat). Hal ini termuat dalam tujuan pembelajarannya, yaitu:
Kelas satu: “Siswa memiliki rasa tanggung jawab, keadilan dan keikhlasan”. (akhlak)
“Siswa memahami dan mempedomani Dinul Islam, sumber-sumber hukum Islam, wakaf, riba dan perbankan”. (mu’amalah)
Kelas dua: “Siswa terbiasa mensyukuri nikmat, cinta damai, setiakawan, bermusyawarah dan hidup rukun sebagai umat beragama”. (mu’amalah)
Kelas tiga: “Siswa terbiasa disiplin, berpikir positif, memiliki etos kerja dan menjauhi penyakit masyarakat”. (akhlak) [2]
Sebagaimana diungkapkan oleh Chabib Toha, bahwa fungsi utama pendidikan adalah untuk menumbuhkan kreatifitas peserta didik, menanamkan nilai-nilai yang baik. Sedangkan persoalan manusia baik adalah persoalan nilai, yang tidak hanya persoalan fakta dan kebenaran ilmiah rasional. Akan tetapi menyangkut penghayatan dan pemahaman yang lebih afektif dari pada kognitif (pengetahuan).[1] Hal ini berarti anak didik diharapkan tidak hanya sekedar mengetahui tentang ajaran agamanya, akan tetapi juga diharapkan mempunyai kesadaran beragama, yang merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang dalam mengadakan tanggapan, realisasi pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar. Semua tingkah laku kesehariannya, seperti, berorganisasi, berekonomi, bekerja, belajar, bermain dan bermasyarakat seharusnya diwarnai dengan nuansa kesadaran beragama. Oleh karena itu, pendidikan Islam tidak hanya sekedar alih budaya atau alih pengetahuan (transfer of knowledge), akan tetapi juga sekaligus sebagai proses alih nilai ajaran-ajaran Islam (transfer of value).
Secara tersirat makna dimensi konsekuensi ini terdapat dalam keseluruhan materi kurikulum PAI. Akan tetapi secara khusus, dimensi konsekuensi (makna dibalik ibadah ritual atau makna sosial), terdapat dalam unsur pokok akhlak dan mu’amalah. Dalam unsur pokok akhlak, diharapkan anak didik memiliki sifat dan sikap tangggung jawab, keadilan, ikhlas, kesetiakawanan, syukur nikmat, disiplin, etos kerja dan terhindar dari penyakit-penyakit masyarakat. Dan dalam unsur pokok mu’amalah, anak didik diharapkan terbiasa dengan bermusyawarah, perdamaian dan kerja sama (syarikat). Hal ini termuat dalam tujuan pembelajarannya, yaitu:
Kelas satu: “Siswa memiliki rasa tanggung jawab, keadilan dan keikhlasan”. (akhlak)
“Siswa memahami dan mempedomani Dinul Islam, sumber-sumber hukum Islam, wakaf, riba dan perbankan”. (mu’amalah)
Kelas dua: “Siswa terbiasa mensyukuri nikmat, cinta damai, setiakawan, bermusyawarah dan hidup rukun sebagai umat beragama”. (mu’amalah)
Kelas tiga: “Siswa terbiasa disiplin, berpikir positif, memiliki etos kerja dan menjauhi penyakit masyarakat”. (akhlak) [2]
Dan dalam unsur pokok syari’ah, tepatnya pada kelas dua caturwulan ketiga, dalam materi tersebut dibahas tentang kerukunan umat beragama, yang meliputi kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antar umat beragama. Dengan demikian, materi ini menunjukkan bahwa kurikulum PAI mengharapkan anak didik mempunyai toleransi dalam kehidupan beragama atau dalam kehidupan sosial. Hal ini juga menunjukkan bahwa antara dimensi konsekuensi (dimensi sosial) mempunyai keterkaitan dan kesesuaian dengan unsur pokok syari’ah.
Disamping itu, unsur pokok tarikh yang membicarakan tentang sejarah perkembangan dan peran umat Islam, baik di Indonesia maupun di beberapa benua, serta peradaban Islam dan ilmu pengetahuan, tidak secara langsung akan membantu dalam meningkatkan dimensi-dimensi keberagamaan dan toleransi beragama, tetapi mampu menanamkan nilai-nilai kepribadian agamanya maupun hubungannya dengan umat beragama lain.[3] Dan dengan mempelajari sejarah anak didik akan mengetahui perkembangan umat Islam, sehingga akan menentukan “corak kehidupan”, yang sesuai untuk kehidupan masa kini dan masa depan.
Artikel Terkait
Pengertian Kurikulum Pendidikan
Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Realitas dan Solusi Relevansi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Dengan Sikap Religiusitas Siswa
[1] Drs. H.M. Chabib Toha, M.A., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 59. [2] Depdikbud., Op. Cit., hal. 4, 14 dan 23. [3] Ibnu Hadjar, Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam Drs. Chabib Toha, M.A. dkk. (tim perumus), Op. Cit., hal. 19.
Pengertian Kurikulum Pendidikan
Pengertian Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Realitas dan Solusi Relevansi Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) Dengan Sikap Religiusitas Siswa
[1] Drs. H.M. Chabib Toha, M.A., Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 59. [2] Depdikbud., Op. Cit., hal. 4, 14 dan 23. [3] Ibnu Hadjar, Pendekatan Keberagamaan Dalam Pemilihan Metode Pengajaran Pendidikan Agama Islam, dalam Drs. Chabib Toha, M.A. dkk. (tim perumus), Op. Cit., hal. 19.