Kata tayammum dalam kamus Idris al-Marbawy demikian pula dalam al-Munjid diartikan menyengaja. Sedang menurut syara’ ialah menyengaja tanah untuk penghapus wajah dan kedua tangan dengan maksud dapat melakukan shalat dan lain-lain. Sementara Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini mengatakan: tayammum menurut istilah syara’ merupakan istilah untuk menyatakan suatu pekerjaan mendatangkan debu pada wajah dan kedua tangan dengan syarat-syarat tertentu. Sedang Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, merumuskan:
Artinya: Menurut syara’, tayammum ialah menyampaikan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan sebagai gantinya wudlu, mandi atau membasuh anggauta disertai syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Di samping rumusan di atas masih ada rumusan lain misalnya dari Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany bahwa tayammum adalah sengaja memakai tanah debu untuk menyapu wajah dan kedua tangan dengan niat pembolehan shalat dan semacamnya. Rumusan lain dikemukkan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa tayammum adalah menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci sesuai aturan tertentu.
Artinya: Menurut syara’, tayammum ialah menyampaikan debu yang suci ke wajah dan kedua tangan sebagai gantinya wudlu, mandi atau membasuh anggauta disertai syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Di samping rumusan di atas masih ada rumusan lain misalnya dari Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany bahwa tayammum adalah sengaja memakai tanah debu untuk menyapu wajah dan kedua tangan dengan niat pembolehan shalat dan semacamnya. Rumusan lain dikemukkan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri bahwa tayammum adalah menyapu wajah dan kedua tangan dengan debu yang suci sesuai aturan tertentu.
Madzhab Maliki (al-Malikiyyah) dan madzhab Syafi’i (al-Syafi’iyyah), dalam memberikan pengertian tayammum, mereka menambahkan kata “dengan niat”, karena menurut mereka niat itu termasuk rukun tayammum.
Sebagai landasan hukum tayammum ialah al-Qur’an dan as-Sunnah. Al-Qur’an surat 5 (al-Maidah) ayat 6 berbunyi:
Artinya : … dan jika kamu dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempunakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Dasar as-Sunnah dapat dijumpai dalam beberapa hadits di bawah ini:
Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: Dari Imran bin Hushain ia berkata: pernah kami bersama Rasulullah SAW dalam satu bepergian, lalu ia sembahyang bersama orang banyak, tiba-tiba ada seorang laki-laki menyendiri, lalu ia bertanya: “Apa yang menghalangi engkau sehingga engkau tidak sembahyang?” Ia menjawab: Saya sedang junub, padahal tidak ada air. (kemudian) Nabi Muhammad SAW bersabda: “Gunakanlah debu, karena sesungguhnya ia cukup bagimu.” (H.R.Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda:”Saya telah diberi lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun sebelumku; Aku ditolong dengan ketakutan musuh sejauh perjalanan sebulan, bumi dijadikan untukku sebagai tempat sujud (shalat) dan sebagai alat bersuci, maka barang siapa yang sudah sampai padanya waktu shalat, hendaklah ia shalat, dan Jabir menuturkan kelanjutan hadits,H.R.Muttafaq alaih.
Sabda Rasulullah SAW:
Artinya: Dari Ammar ibn Yasir ra., ia berkata: “Nabi SAW telah mengutus aku dalam suatu hajat, padahal aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku bergulingan dalam tanah sebagaimana binatang berguling, kemudian aku menghadap kepada Nabi SAW, aku ceritakan hal itu kepadanya”. Nabi bersabda: “sesungguhnya cukup bagimu bertindak demikian dengan kedua tanganmu”. Lalu Nabi SAW menepukkan kedua tangannya ke tanah sekali dan menyapukan tangan kiri ke atas tangan kanan, bagian belakang kedua telapak tangan dan wajahnya. Hadits muttafaq alaih dan lafaz hadits bagi Imam Muslim. Dalam riwayat lain bagi Imam Bukhari disebutkan:”Rasulullah menepukan kedua telapak tangannya ke bumi/tanah , kemudian ditiupnya dan diusapkannya ke wajah dan kedua telapak tangannya.
Hadits ini menerangkan cara bertayammum sebagai gantinya mandi jinabat yaitu tidak harus meratai debu tanah ke seluruh tubuh dengan bergulingan sebagaimana yang dilakukan oleh Amr Bin Yassir, akan tetapi cukup menepukkan kedua telapak tangan ke tanah (debu), lalu ditiup dan diusapkan telapak tangan yang satu ke atas telapak tangan yang lain hingga ke siku dan menyapu wajah. Pada lahirnya, hadits ini menerangkan bahwa tayammum cukup satu kali pukulan/tepukan untuk menyapu kedua tangan dan wajah, menyapu tangan cukup sampai batas telapak tangan dan tidak mengharuskan tertib.
Sedangkan yang menjadi sebab diperbolehkannya tayamum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sedangkan yang menjadi sebab diperbolehkannya tayamum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama karena tidak ada air, yaitu apabila seseorang sama sekali tidak mendapatkan air atau mendapatkan air akan tetapi tidak cukup untuk bersuci. Dalam hubungan ini Madzhab Syafi’i berkata : Apabila seseorang tidak mendapatkan air yang cukup untuk bersuci, maka ia wajib menggunakan air tersebut pada anggauta yang terjangkau oleh air itu. Kemudian ia bertayammum sebagai pengganti dari anggauta yang tidak terjangkau oleh air tersebut. Kedua, tidak mampu menggunakan air atau membutuhkan air artinya bahwa seseorang dapat menemukan air yang cukup untuk bersuci, akan tetapi ia tidak mampu menggunakannya (misalnya karena sakit), atau mampu menggunakannya akan tetapi ia sendiri membutuhkan air tersebut untuk minum atau sebagainya. Adapun orang yang tidak mendapatkan air, maka ia tayammum untuk tiap-tiap perbuatan yang mewajibkannya bersuci, seperti shalat lima yang limawaktu, shalat janazah, shalat ied, shalat jum’ah, thawaf, shalat nafilah dan lain sebagainya.
Tidak ada perbedaan pada orang yang tidak mendapatkan air ini, baik orang itu sehat atau sakit, baik dalam bepergian yang boleh qoshor atau tidak, baik bepergian itu sebagai perbuatan maksiat atau melakukan maksiat dalam bepergian tersebut. Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang melakukan maksiat dengan bepergiannya itu, apabila ia tidak mendapatkan air sama sekali, maka ia bertayammum dan mengerjakan shalat. Akan tetapi ia harus mengulangi shalatnya.Apabila ia tidak mampu menggunakan air karena sakit atau lain sebagainya, maka tidak sah tayammumnya, kecuali apabila ia telah bertaubat dari maksiatnya. Apabila ia bertayammum setelah bertaubat dan mengerjakan shalat, maka ia tidak harus mengulangi shalatnya.
Adapun orang yang mendapatkan air akan tetapi tidak mampu menggunakannya karena satu dari beberapa sebab syar’iy, maka orang tersebut sama dengan orang yang tidak mendapatkan air. Ia bertayammum untuk tiap-tiap amal perbuatan yang disertai bersuci. Termasuk sebab-sebab ketidakmampuan adalah adanya dugaan bahwa apabila ia menggunakan air maka akan tertimpa sakit atau bertambah sakit atau semakin lambat untuk sembuh. Semua ini apabila berdasarkan pada percobaan atau petunjuk dokter ahli yang muslim.
Juga termasuk ketidak mampuan adalah adanya kekhawatiran terhadap musuh yang menghalangi antara seseorang dengan air. Kekhawatiran ini bisa terjadi atas dirinya sendiri, hartanya atau harga dirinya. Musuh tersebut dapat berupa manusia atau binatang buas. Juga termasuk sebab-sebab ketidak mampuan adalah adanya kebutuhan terhadap air baik seketika atau untuk waktu yang akan datang. Apabila seseorang takut atas dirinya untuk menggunakan air “menurut dugaannya dan bukan karena ragu-ragu” terhadap rasa dahaga yang dideritanya sendiri atau diderita orang lain, atau diderita oleh binatang yang tidak halal dibunuh walaupun berupa anjing yang tidak buas, dan rasa dahaga itu dapat berakibat kerusakan atau sakit yang sangat, maka orang tersebut boleh melakukan tayammum dan tetap memelihara air yang ada padanya.
Demikian pula halnya kebutuhan air untuk meremas-remas tepung dan untuk memasak. Atau kebutuhan terhadap air untuk menghilangkan najis yang tidak diampuni. Temasuk sebab-sebab ketidak mampuan adalah tidak adanya alat yang digunakan untuk mendapatkan air seperti tali atau timba. Sebab dengan tidak adanya alat tersebut menjadikan air yang ada di dalam sumur bagaikan tidak ada. Sebab-sebab lain adalah kekhawatiran terhadap sangat dinginnyaair sehingga ia menduga akan terjadi bahaya apabila menggunakan air tersebut. Yang demikian ini adalah apabila ia tidak mampu memanaskan atau menghangatkan air itu. Dalam keadaan seperti ini boleh bertayammum.
Referensi
Idris al-Marbawy, Kamus Idris al-Marbawy, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, tt, hlm. 121. Luwice Ma’luf, al-Munjid, Beirut Libanon: al-Ijtimaiyah, tt, hlm. 118.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1,Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm.76.
Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hall Ghayat al-Ihtisar,Semarang:Maktabah Alawiyah, tt, hlm. 51.
Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab, al-Arabiyah, tt, hlm. 8.
Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany, Subul al-Salam, Sarah Bulugh al Maram, Min Jami’i Adillaty al-Ahkam, Juz 1,Semarang: Maktabah Wa Matbaah Toha Putra, tt, hlm. 93.
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, Semarang: Maktabah wa Matbaah, Toha Putera, tt, hlm.148.
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, al-Umm, juz 1,Kairo: Dar al-Turas, tt, hlm. 63. Cf. Abd al-Rahman al-Jaziri, loc. cit.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an , al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1986, hlm. 158.
Al-Imam Abu Abdilah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal asy-Syaibani al-Mawarzi, Musnad Ahmad, Jilid I, Tijariyyah Kubra, tt, hlm. 20. Vide, Al-Imam al-Alammah Muhmmad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autar min Asrari Muntaqa al-Akhbar Juz I,Beirut Libanon: Dar al-Kitab, al-Arabi, tt, hlm. 380.
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi,Sahih Muslim, Jilid I, Tijariah Kubra, tt, hlm. 80. Vide, al-Hafiz ibn Hajar al-Asqalaniy, Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt, hlm. 25.
al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz I, Tijariyah Kubra, tt, hlm. 90. Vide, al-Hafiz ibn Hajar al-Asqalaniy, hlm. 26. Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany, Subul al-Salam, Sarah Bulugh al Maram, Min Jami’i Adillaty al-Ahkam, Juz 1, Semarang: Maktabah Wa Matbaah Toha Putra, tt, hlm. 95.
Abd al-Rahman al-Jaziri, op. cit, hlm. 153
Ibid, hlm. 153.
Ibid, hlm. 154.
Ibid, hlm. 153-156. Vide, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 77-78.
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1,Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm.76.
Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar Fi Hall Ghayat al-Ihtisar,Semarang:Maktabah Alawiyah, tt, hlm. 51.
Syekh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab, al-Arabiyah, tt, hlm. 8.
Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany, Subul al-Salam, Sarah Bulugh al Maram, Min Jami’i Adillaty al-Ahkam, Juz 1,Semarang: Maktabah Wa Matbaah Toha Putra, tt, hlm. 93.
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Juz 1, Semarang: Maktabah wa Matbaah, Toha Putera, tt, hlm.148.
Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, al-Umm, juz 1,Kairo: Dar al-Turas, tt, hlm. 63. Cf. Abd al-Rahman al-Jaziri, loc. cit.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an , al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama, 1986, hlm. 158.
Al-Imam Abu Abdilah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal asy-Syaibani al-Mawarzi, Musnad Ahmad, Jilid I, Tijariyyah Kubra, tt, hlm. 20. Vide, Al-Imam al-Alammah Muhmmad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autar min Asrari Muntaqa al-Akhbar Juz I,Beirut Libanon: Dar al-Kitab, al-Arabi, tt, hlm. 380.
Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi,Sahih Muslim, Jilid I, Tijariah Kubra, tt, hlm. 80. Vide, al-Hafiz ibn Hajar al-Asqalaniy, Bulug al-Maram min Adillat al-Ahkam, Beirut Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt, hlm. 25.
al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz I, Tijariyah Kubra, tt, hlm. 90. Vide, al-Hafiz ibn Hajar al-Asqalaniy, hlm. 26. Sayyid al-Imam Muhammad Ibn Ismail Assanany, Subul al-Salam, Sarah Bulugh al Maram, Min Jami’i Adillaty al-Ahkam, Juz 1, Semarang: Maktabah Wa Matbaah Toha Putra, tt, hlm. 95.
Abd al-Rahman al-Jaziri, op. cit, hlm. 153
Ibid, hlm. 153.
Ibid, hlm. 154.
Ibid, hlm. 153-156. Vide, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 1, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, tt, hlm. 77-78.