Pembentukan Insan Kamil Antara Cita Dan Fakta Dalam Pendidikan Islam

Cita-cita ideal pendidikan Islam adalah membentuk suatu kepribadian yang utuh, yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, yang didalamnya berisi ilmu dan amal shaleh, yang selanjutnya disebut sebagai manusia sempurna atau insan kiamil. Siapapun tidak akan bisa membantah kalau cita-cita ideal tersebut akan dapat direalisasikan oleh pendidikan Islam, karena secara teoritios pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bersumber pada nilai-nilai ajaran Islam, dan umat Islam percaya bahwa Rasulullah dalam sejarah telah mampu mengemban amanat untuk menggiring umatnya pada saat itu menjadi umat yang berkepribadian dan berakhlak mulia.
Secara teoritis pendidikan Islam juga berkeyakina bahwa dengan berhasilanya menginternalisasi program-program pendidikan yang telah ditelurkan dan dicanangkan kepada anak didik telah mampu membentuk suatu kepribadian utuh yaitu kepribadian yang dimiliki insan kamil. Namun disebabkan oleh persoalan apa dan kenapa sehingga ketika kita hendak melihat fakta dan realita yang terjadi, antara cita dan fakta jauh berbeda. Artinya pada kenyataan kelahiran pribadi yang bermentalitas insan kamil yang merupakan hasil perkawinan dan pengintegrasian antara iman dan akal yang telah diangan-angankan dan dinantikan muncul kepermukaan terasa sulit diwujudkan. Yang telah terjadi di lapangan justru banyak kader-kader muslim yang tampil dengan membawa wajah-wajah yang bermentalitas pecah, tidak utuh sebagaimana yang diharapkan.

Kader-kader muslim sering mucul dalam pribadi-pribadi yang pecah dalam masyrakat Islam dan menampilkan wajah-wajah ganda yang samar serta sulit ditebak. Di Masjid dan di Surau kader-kader muslim bersikap alim, sementara di pasar dan di tempat-tempat keramaian orang sedang beraktifitas, kader-kader muslim sering tampil sebagai orang asing sama sekali.[1] Sementara disisi lain kader-kader muslim kadangkala juga menampilkan pola hidup jauh dari ikatan norma agama yang tidak mengenal dan terasing dengan dirinya dan Tuhannya, daya spiritualitasnya telah tercabut dari kehidupannya sehingga merasa krisis tentang makna dan tujuan hidupnya sebagai akibat dari dampak modernisasi.[2]

Kegagalan mewujudkan pengintegrasian antara dimensi iman (spiritualitas ) dan ilmu ( intelektualitas ) dalam pribadi kader muslim sebagai perwujudan pembentukan insan kamil merupakan tujuan umat Islam secara keseluruhan. Di samping itu pula suatu ketegangan antara kenyataan dengan apa yang seharusnya, antara cita dan fakta juga menjadi tugas pendidikan Islam untuk mencari penyelesaiannya.

Lembaga pendidikan Islam betapapun tidak sempurnanya pada tataran teoritik maupun praktiknya, tetapi ia mempunyai peranan penting dalam membentuk sebuah pembangunan peradaban umat manusia. Untuk Indonesia dengan jumlah penganut Islam yang terbesar diseluruh dunia, maka peranan pendidikan yang bercorak Islam haruslah ditempatkan pada posisi untuk kepentingan bangsa secara menyeluruh.[3] Agar terbentuk insan kamil yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan, meskipun hanya dalam jumlah yang relatif sedikit.

Sampai saat ini, hampir sebagian besar para pakar dan ahli pendidikan, intelektual, dan cendikiawan muslim masih merasakan bahwa sistem pendidikan Islam di negara Indonesia baik dalam sistem pendidikan pesantren, madrasah maupun sekolah atau perguruan tinggi umum masih menampakkan permasalahan. Pendidikan Islam cenderung disintegratif, eksklusif dan ambivalen. Pengaruh pendidikan Barat yang sekuler yang berakibat pada penyakit pendikotomian antara ilmu pengetahuan masih sangat kental dalam mewarnai corak pendidikan Islam.
Sebagian pakar pendidikan mengeluhkan sistem pendidikan di negara kita dan memberikan kesimpulan bahwa di negara kita tidak ada pendidikan Islam. Anggapan ini berawal dari kenyataan di lapangan bahwa pendidikan kita belum mencerminkan ajaran Islam secara keseluruhan yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Karena dalam ajaran Islam tidak mengenal pembagian, pemilahn, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama. Menjadikan ilmu agama sebagai fardhu ain dan ilmu-ilmu yang dianggap sekuler ( ilmu umum ) sebagai fardhu kifayah, [4] atau sebaliknya.

Kondisi ini memang sangat dilematis, disatu sisi dari pendidikan Islam diharapkan dapat mewujudkan manusia yang berkepribadian utuh, tetapi disatu sisi yang lain pendidikan kita masih berputar pada sistem pendidikan yang kurang Islami. Permasalahan-permasalahan tersebut di atas timbul bisa jadi disebabkan kelemahan-kelemahan orang Islam sedikit yang kurang serius dalam menafsirkan dan menterjemahkan Al qur’an dan hadits secara benar. Lemahnya filterasi umat Islam terhadap budaya luar yang berusaha merusak dan mencabik-cabik ajaran Islam dengan ajaran sekuler yang berimbas pada sistem pendidikan Islam dapat berpengaruh pada penentuan materi, sistem pembelajaran, kurikulum dan sebagainya.

Dalam rangka untuk menghindari dan menepis ajaran sekuler yang dikotomik tersebut, para pakar lebih setuju dengan melakukan proses Islamisasi sains dan teknologi, yaitu suatu proses integrasi ilmu dengan nilai-nilai ajaran-ajaran Islam, dan dengan proses ini akan mengeluarkan pendidikan yang memilah-memilah ilmu pengetahuan. Di samping itu, upaya melakukan reformulasi dalam pendidikan yang meliputi: arah, tujuan, dan pendekatan pendidikan Islam harus jelas yakni dapat menyentuh aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun muatan materinya harus secara utuh tentang Islam yang meliputi hablumminallah, hablumminanas dan hablumminal alam.[5]
Jadi tidak bertemunya antara dunia cita dan dunia nyata dalam pembentukan insan kamil boleh jadi disebabkan sisitem pendidikan Islam sendiri yang masih perlu pembenahan, dan faktor internal pada diri pribadi manusia didik yang menjadi obyek pendidikan Islam, karena sesempurna apapun sistem pendidikan yang diformulasikan apabila siterdidik tidak berkehendak membantu proses pembentukan dirinya maka adalah sangat mustahil terwujud insan kamil yang dicita-citakan.

Pembahasan tersebut di atas tidak bermaksud memberikan jawaban yang tepat dan memuaskan atas fenomena yang terjadi di atas, namun paling tidak deskripsi singkat ini mudah-mudahan menjadi kajian lebih lanjut bagi peneliti lannya..

[1] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam Diindonesia, (Bandung:Mizan, 1995), cet.III, Hlm.146
[2] Syamsul Arifin, Op.Cit,Hlm.36
[3] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Ibid, Hlm.153
[4] Ahmad Syafi’I Ma’arif, Ibid, Hlm.151
[5] A.M Syifuddin, Op.Cit, hlm.116-120