Tulisan ini merupakan kelanjutan dari risalah tayamum seperti yang telah kami share pada artikel sebelumnya. Baca: Benda-Benda Yang dapat digunakan Untuk Tayamum. Alhamdulillah risalah tayamum ini sudah selesai, dan akhirnya untuk menutup materi tersebut kami kembali menerbitkan tulisan Hakikat dan Ketentuan Tayamum.
Untuk mempersingkat kajian ini, baiklah langsung saja silahkan dibaca uraian kami. Semoga bacaan berikut ini bermanfaat bagi kita semua.
Menurut Sayyid Sabiq bagi orang yang telah bertayamum dibolehkan dengan satu kali tayamum itu melakukan shalat, baik yang fardlu maupun yang sunnat sebanyak yang dikehendakinya. Pendeknya hukum tayamum itu sama dengan wudlu, tak ada bedanya sama sekali. Dari Abu Dzar r.a:
Artikel Penunjang: Dalil-dalil Hukum TayamumArtinya : Dari Abu Dzar ia brkata: aku tidak betah tinggal di Madinah, lalu Rasulullah SAW menyuruh mengambil seekor unta untukku, sedang aku di atas unta. Kemudian aku datang kepada Nabi SAW, lalu aku berkata : celakalah Abu Dzar! Nabi bertanya: mengapa? Ia menjawab: aku berjunub, padahal didekatku tidak ada air. Lalu Nabi bersabda: sesungguhnya debu itu suci bagi orang yang tidak mendapati air selama sepuluh tahun. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan al-Atsram. Dan ini adalah lafadh al-Atsram)
Berbeda dengan pandangan di atas adalah apa yang dikemukakan Syeikh Muhammad Ibn Qasim yang menegaskan: tayamumlah untuk tiap-tiap satu fardlu dan satu nadzar. Maka tidak boleh mengumpulkan antara dua shalat fardlu itu dengan satu tayamum dan tidak boleh mengumpulkan antar dua thawaf dan antara dua shalat thawaf dan antara shalat Jum’at dan dua khotbah. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syeikh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malibary bahwa satu kali tayamum itu hanya bisa digunakan untuk satu shalat fardlu dan shalat nadzar dan sah melakukan satu shalat fardlu bersama shalat jenazah. Demikian pula pendapat Imam Abu Ishaq al-Syirazi bahwa tidak boleh melaksanakan shalat dengan tayamum lebih dari satu shalat fardlu, tapi boleh untuk beberapa shalat sunnat. Barang siapa bertayamum untuk shalat fardlu ia boleh menggunakannya untuk shalat sunnat, tatapi barang siapa bertayamum untuk shalat sunnat ia tidak boleh menggunakannya untuk shalat fardlu.
Seorang ulama dari Aceh yaitu TM. Hasbi Ash Shiddiqie dalam mengungkapkan tentang hukum satu tayamum untuk lebih dari satu shalat dapat dikaji dalam bukunya Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Dalam buku tersebut ia memulai uraiannya dengan mencantumkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni yang bunyinya sebagai berikut:
Artinya : Ibnu Abbas r.a berkata: menurut sunnah, tidak boleh seseorang shalat dengan satu tayamum, selain dari satu shalat saja. Kemudian ia bertayamum lagi untuk shalat lain (HR. ad-Daruqutni)
Artikel Penunjang lainnya: Hal-Hal Yang Membatalkan Tayamum dan Sunnah TayamumDalam perspektif TM.Hasbi Ash Shiddiqie, hadits di atas sanadnya sangat lemah karena di dalamnya ada seorang perawi, Hasan ibnu Umrah. Selanjutnya dalam buku tersebut TM.Hasbi Ash Shiddiqie mengungkapkan pendapatnya dengan membentangkan lebih dahulu opini Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i termasuk ulama yang tidak memperkenankan satu kali tayamum digunakan untuk lebih dari satu shalat fardlu. Dalam kitabnya ia menegaskan:
Kalau bermaksud mengumpulkan antara dua shalat, maka ia mengerjakan shalat yang pertama dari keduanya dan mencari air. Kalau tidak diperolehnya air itu, niscaya ia mengulangi tayamum bagi setiap shalat daripadanya, sebagaimana telah saya terangkan. Tidak memadai yang lain dari yang demikian. Kalau ia mengerjakan dua shalat fardlu dengan satu tayamum, niscaya ia ulangi shalat yang penghabisan dari keduanya. Karena tayamum itu memadai bagi shalat pertama dan tidak memadai bagi shalat yang penghabisan.
Pendapat Imam Syafii tidak berbeda dengan pendapat Imam Malik, di mana menurutnya tidak boleh shalat dua fardu dengan satu tayamum. Demikian pula kata Ibnu Qudamah : menurut madzab Ahmad, satu tayamum itu tidak boleh dipergunakan untuk dua shalat di dua waktu. Satu tayamum, untuk satu Fardu, shalat yang diqada dan shalat sunah hingga masuk waktu shalat yang lain. Dan boleh juga untuk menjamakkan dua shalat dalam satu waktu. Kata al-Mawardi : tidak boleh mengumpulkan dua shalat dengan satu tayamum.
Syarat-syarat Melakukan Tayamum Sebagai Pengganti WudhuMenurut Hafid Abdullah: tidak boleh melaksanakan shalat dengan tayamum lebih dari satu shalat fardlu tapi boleh untuk beberapa shalat sunah. Barang siapa bertayamum untuk shalat fardlu, ia boleh menggunakannya untuk shalat sunah, tetapi barang siapa bertayamum untuk shalat sunah, ia tidak boleh menggunakannya untuk shalat fardlu.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Syekh Muhammad bin Qasim, menurutnya dengan satu kali tayamum, hanya diperbolehkan melakukan satu kali shalat fardlu, sekalipun fardlu shalat nadzar. Namun sah untuk melakukan satu shalat fardlu berserta shalat jenazah. Demikian pula pendapat Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, ia mengatakan bagi orang yang bertayamum, maka bertayamumlah untuk tiap-tiap fardlu satu dan nadzar satu, maka tidak sah mengumpulkan dua shalat fardlu dengan satu tayamum.
Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menurutnya tidak ada keterangan dari Nabi saw yang menyatakan bahwa beliau itu bertayamum untuk tiap-tiap shalat, dan tidak pula beliau menyuruh yang demikian. Nabi SAW hanya menyuruh bertayamum dan menyamakan hukumnya dengan wudlu.
Sayyid Sabiq, Op. Cit., hlm. 78.
Al-Imam Abu Abdilah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hambal asy-Syaibani al-Mawarzi, Musnad Ahmad, Jilid I, Tijariyyah Kubra, tt, hlm. 84. Cf. Al-Imam al-Alammah Muhmmad ibn Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Nail al-Autar min Asrari Muhtaqa al-Akhbar Juz I, Dar al-Kitab, al-Arabi, Baerut, Libanon, tt, hlm. 382.
Syeikh Muhammad Ibn Qasim al-Ghazi, Op. Cit., hlm. 9.
Al-Tambih fi Fighi asy-Syaf’i, Terj. Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, CV. As Syifa’ Semarang, 1990, hlm. 12-13.
Sayid al-Imam Muhammad ibn Ismail Asan’ani, Subbul assalam sarh bulug al-Marram min jami’i adilati al-Ahkam, Juz I, Maktabah wa Matba’ah, Toha Putera Semarang, hlm. 100. Vide al-Hafid ibn Hajar al-Asqalni, Bulug al-Marram, al-Alawiyah, semarang, tt, hlm. 148.
TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadit-Hadits Hukum, jilid I, al-Ma’arif, Bandung, 1970, hlm. 328-329. sanad menurut bahasa sandaran, yang kita bersandar padanya. Maka surat hutang juga dinamai sanad yang berarti yang dapat dipegangi, dipercayai…menurut istilah ahli hadits yaitu jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits. Vide TM. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengatar Ilmu Hadits, Cet. 6, Bulan bintang, Jakarta, 1980, hlm. 192. Cf Fatchur Rahman, Ihktisar Mushthalahul Hadits, Cet. 4 PT al-Ma’arif Bandung, hlm. 24.
Al-Syafii, Op. Cit, hlm. 63.
Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, CV Asy Syifa’, Semarang, 1990, hlm. 12-13.
Muhammad bin Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib, Maktabah al-Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia, tt, hlm. 9.
Syekh Zainuddin bin Abd al-Aziz al-Malibari, Fath al-Muin, Bi Sarah Qurata al-Uyun, Karya Toha Putra, Semarang, tt, hlm. 8-9.