Benda-Benda Yang dapat digunakan Untuk Tayamum

Sebelum seorang muslim melakukan ibadah seperti shalat atau membaca al-Qur'an, wajib atas diri mereka bersuci. Baik suci secara hadas maupun dari najis. Bersuci dari najis dapat dilakukan dengan membersihkan najis yang menempel di anggota badan atau pakaian, tentu saja dalam kaitannya dengan hal ini teknik atau tata cara membersihkannya akan berbeda antara najis yang memiliki tingkatan ringan (mukhafafah), tengah (Mutawasitoh), Berat Mugholadzoh). Untuk memahami keterkaitan dengan tingkatan najis tersebut serta tata cara membersihkannya, silahkan baca: Macam-Macam Dan Tingkatan Jenis Najis Serta Tata Cara Menyucikannya.

Sementara untuk membersikan diri dari hadas, maka seseorang tersebut harus melakukan mandi junub atau jinabah jika dalam diri mereka terdapat hadas besar. Sementara bila dalam diri mereka mendapati adanya hadas kecil, maka cukup kiranya dengan berwudlu. Namun yang kerap menjadi kendala adalah, ketika kita hendak berwudlu kemudian kita tidak menemukan air. Maka cara yang digunakan untuk mengganti wudlu dengan bertayamum. Apa itu tayamum? Simak Pengertian Tayamum sebagai pengganti Wudhu
Macam-macam Benda Yang dapat digunakan Untuk Tayamum
Para Fuqaha’ sepakat bahwa tayamum boleh dilaksanakan dengan menggunakan debu bersih pepohonan. Tetapi mereka berbeda pendapat jika pelaksanaan tayamum dengan menggunakan selain debu tapi menggunakan benda yang  muncul dari tanah, misalnya batu. Dalam hubungan ini, menurut Imam Syafi’i tayamum tidak boleh dilakukan jika menggunakan debu murni. Sedang menurut pendapat Malik, tayamum boleh saja dilakukan dengan menggunakan segala sesuatu yang  halus yang  masih masuk bagian dari tanah misalnya kerikil pasir dan debu, bahkan Abu Hanifah menambahkan, boleh saja menggunakan segala sesuatu yang  masih keluar dari tanah, seperti batu, kapur, tanah liat, bata, dan marmer. Ada juga fuqaha yang mensyaratkan harus debu yang ada di permukaan bumi; inilah pendapat Jumhur. Ahmad Ibn Hambal berpendapat bahwa tayamum boleh dilakukan dengan menggunakan debu yang  ada di kain dan debu rambut.
Sebab perbedaan pendapat tersebut berkisar pada dua masalah: pertama, dalam bahasa Arab kata al-Sha’id mengandung arti ganda atau banyak (musytarak) itu bisa berarti debu murni dan bisa juga berarti semua benda yang  tampak di permukaan. Bahkan Malik dan para muridnya berani mengartikan dengan benda-benda yang  justru jauh dari debu. Jadi, al-Sha’id menurutnya dalam salah satu riwayat berarti rumput dan salju atau embun yang  boleh digunakan untuk tayamum. Menurut mereka nama al-Sha’id itu asalnya adalah semua benda yang  ada di atas permukaan. pendapat ini menurut Ibnu Rusyd lemah. Kedua, sebagian riwayat hadits masyhur disebutkan bahwa tayamum boleh menggunakan tanah secara mutlak, dan dalam riwayat lain menyebutkan terbatas pada debu.

Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat, apakah yang  terbatas itu berarti mutlak atau sebaliknya? Tetapi menurut pendapat yang  masyhur, yang  muqayyat harus ke yang  mutlaq. Menurut pendapat Abu Muhammad Ibn Hazm, yang  mutlaq harus kearti yang muqayyat karena yang mutlaq ada tambahan arti.

Ulama yang  berpendirian bahwa yang  diberlakukan yang  muqayyat dengan mengartikan tanah yang  baik sebagai debu akan berpendapat bahwa tayamum tidak dilaksanakan kecuali menggunakan debu. Sedang yang  berpendapat sebaliknya, dengan mengartikan tanah yang  baik sebagai semua benda yang  ada di permukaan bumi memperbolehkan tayamum dengan pasir dan kerikil.

Sedang yang  berpendapat yang  mengatakan boleh bertayamum dengan benda-benda yang  berasal dan terproses dari tanah, itu sangat lemah. Sebab, istilah al-Sha’id tidak mencakup benda-benda tersebut. Maksud al-Sha’id tidak mencakup benda-benda tersebut. Maksud al-Sha’id yang  paling umum sekalipun, adalah hanya terdapat pada benda-benda yang  masuk kategori tanah. Dengan demikian, bukan kapur, es, atau rumput. Allahlah yang  bisa mencocokkan “kebenaran” itu. Banyaknya arti makna istilah al-Sha’id merupakan salah satu sebab timbulnya perbedaan pendapat.
Artikel Penunjang: Syarat-syarat Melakukan Tayamum Sebagai Pengganti Wudhu
Berbeda dengan pendapat di atas, adalah pendapat Imam Syafi’i dalam kitabnya menguraikan tiada memadai pada tayamum, selain bahwa mendatangkan debu tanah, menurut yang  didatangkan air pada wudlu, dari wajah dan dua tangannya, sampai kepada dua siku.  Allah berfirman:
Artinya: Maka carilah tanah yang  baik (bersih). (Q.S. 5 : 6)

Setiap yang  bernama tanah, yang  tidak bercampur dengan najis, maka adalah tanah yang  baik, dan boleh tayamum dengan tanah itu. sedangkan setiap yang  benda yang bukan tanah, tiada boleh dijadikan alat untuk tayamum. Dengan kata lain kalau tidak bernama tanah  tanah, maka tidak bisa dijadikan benda untuk bertayamum. Dengan demikian tidaklah bernama tanah, kecuali tanah yang  berdebu.

Adapun batu-batu kecil yang  kasar dan yang  halus dan yang  tebal kasar, maka tidaklah bernama: tanah. Dan kalau bercampur dengan tanah debu atau lumpur kering yang  berdebu, niscaya adalah yang  bercampur itu tanah. Apabila orang yang  bertayamum itu menepuk ke atasnya dengan dua tangannya, lalu melekatlah debu pada dua tangannya, niscaya memadailah bertayamum dengan debu tersebut. Apabila ia menepuk dengan dua tangannya ke atasnya atau ke atas yang  lain, lalu tidak melekat debu, kemudian ia menyapu padanya, niscaya tiada memadai.

Begitu juga, tiap bumi, tanahnya yang  tiada baik, lumpurnya yang  kering, batu-batu yang  kecil dan yang  lain-lain, maka apa yang  melekat dari padanya dari debu, apabila ditepuk dengan tangan, lalu bertayamum dengan dia, niscaya memadailah. Dan yang  tidak melekat debu padanya, lalu ia bertayamum, niscaya tiada memadai.

Begitu juga, kalau orang yang  hendak bertayamum itu menggoyang-goyangkan kainnya atau sebagian perkakasnya, lalu keluarlah debu tanah, lalu ia bertayamum dengan debu itu, niscaya memadai. Apabila tanah itu tanah kering, lalu orang yang  akan bertayamum itu, menepuk dengan dua tangannya pada tanah itu, lalu melekat dari padanya banyak benda, maka tiada mengapa ia goyang-goyangkan benda itu, apabila masih ada debu pada dua tangannya, yang  menyentuhkan seluruh muka. Dan padaku lebih sunnat kalau ia mulai, lalu meletakkan kedua tangannya atas tanah, dengan letakan yang  pelan-pelan. Kemudian, ia bertayamum dengan debu tanah itu.

Penganut madzhab Syafi’i yaitu Imam Taqi al-Din memaparkan, tidak sah tayamum seseorang kecuali dengan menggunakan debu (tanah) yang  suci, murni dan belum pernah digunakan. Jadi keharusan adanya tanah itu sudah pasti baik tanah merah, tanah hitam atau tanah kuning. Tidak sah bertayamum dengan kapur (yang  dibuat untuk mengkapur rumah) atau dengan tanah kapur dan semua barang-barang tambang (barang galian seperti besi, emas dan sebagainya). Dan juga tidak sah pula bertayamum dengan batu yang  sudah dihancurkan atau dengan kaca beling (pecahan kaca) yang  sedah digerus (gosok/tumbuk) dan lain sebagainya. Dalam satu wajah, semua barang-barang tersebut di atas itu boleh dibuat tayamum. Namun hukum yang  demikian itu adalah salah. Mereka menjadikan hujah firman Allah SWT:
Artinya : maka bertayamum dengan debu yang  baik (bersih) (Q.S. 5:6)

Kata-kata Sha’id merangkumi tanah dan semua yang  ada di dalam tanah. Wajah tersebut dinisbatkan kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Kedua Imam ini berkata: tayamum boleh menggunakan segala macam jenis tanah, bahkan dengan batu yang  dibersihkan sekalipun. Imam Rafi’i menukil dari Imam Malik bahwa beliu mengesahkan tayamum dengan menggunakan segala sesuatu yang  terdapat di tanah, seperti pepohonan dan tumbuhan sawah. Imam Nawawi menukil dari al-Auza’i dan Sufyan ats-Tsauri di dalam syarah Muslim bahwa al-Auza’i dan Sufyan juga mengesahkan tayamum dengan menggunakan segala sesuatu yang  ada di bumi, bahkan dengan es sekalipun. Menurut madzhab Imam Syafi’i serta kebanyakan para ulama, dan juga menjadi perkataan imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Mundzir dan Daud tayamum tidak sah jika tidak menggunakan tanah yang  suci dan berdebu, yang  boleh menempel pada kulit wajah dan kedua tangan. Sebab perkataan Sha’id itu boleh mengenai tanah dan semua yang ada pada permukaan tanah dan jalan-jalan.  
Artikel Penunjang Batalnya Tayamum: Hal-Hal Yang Membatalkan Tayamum dan Sunnah Tayamum
Referensi
Al-Faqih Abul Walid Muhammad Ibn ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I, Dar al-Jiil, Baerut, 1409 H/ 1989 M, hlm. 51. Ibid.Ibid, hlm. 51-52. DEPAG RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Surya Cipta Aksara, Surabaya, hlm. 168.  Al-Imam Abi Abdillah Muhammad Ibn Idris Asy-Syafi’i, Op.Cit., hlm. 65-66.DEPAG RI, Loc. Cit.Taqi al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini, Op. Cit., hlm. 55.