Peran Masyarakat Dan Pemerintah Dalam Zakat

Peran Masyarakat

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa zakat merupakan kewajiban bagi tiap-tiap muslim apabila telah mencapai syarat-syarat tertentu. Dengan zakat dan distribusinya kepada para asnaf yang berhak menerimanya, maka prosentase kesejahteraan dan kemakmuran akan lebih besar. Dan hal tersebut merupakan top purpose (tujuan utama) zakat demi kemaslahatan umat manusia.

Namun demikian zakat tidak akan mewujudkan kemaslahatan tanpa adanya pepran serta masyarakat untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat yang tinggi dalam merealisasikan, mengumpulkan, membagikan serta pengelolaan yang baik dan benar adalah merupakan kunci dari keberhasilan salah satu pondasi Islam.
Kesadaran masyarakat terhadap zakat yang merupakan salah satu rukun Islam sebagai kewajiban agama yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu menunjukkan pada mereka, bahwa mereka mempunyai rasa tanggung jawab sosial yaitu demi membantu meringankan beban kehidupan para dhu’afa. Kesadaran masyarakat terbentuk dengan adanya pemahaman mengenai zakat. Pemahaman disini adalah pengertian umat Islam tentang Lembaga Zakat. Kurangnya kesadaran mereka tentang zakat disebabkan karena terbatasnya pengertian mereka tentang zakat dibandingkan dengan pengertian mereka tentang shalat dn puasa. Ini terjadi tidak lain karena pendidikan agama Islam di masa lampau kurang menjelaskan pengertian da masalah zakat. Karena kurang paham, umat Islam kurang pula melaksanakannya.[1]

Pemerintah membayar zakat sangat mendasar dalam Islam. Bila disepelekan maka struktur Islam akan rusak. Dengan membayar zakat berarti telah iukt menjamin terpenuhinya kebutuhan umum masyarakat. Masyarakat yang tidak menghayati arti zakat maka ia tidak dapat dikatakan orang “berislam”. Bila rukun islam khususnya zakat dilaksanakan secara murni maka hasilnya akan amat mengagumkan dan membuat orang komunis tidak berkutik selamanya. Kewajiban masyarakat muslim adalah memberikan bekal hidup kepada si miskin agar dapat memenuhi segala kebutuhannya. Umat Islam terikat kewajiban membantu yang lemah tak berdaya dan miskin. Jika kaum muslimin menyediakan fasilitas pelayanan, perawatan bahkan untuk musuh-musuhnya sekalipun, maka keselamatan hidup mereka dan keamanan hak-haknya menjadi tanggung jawab kaum muslimin sepenuhnya.

Dalam hal tersebut di atas penting sekali fungsi imam-imam masjid, guru-guru agama, muballigh-muballigh Islam, untuk penerangan dalam soal zakat ini sebagai poko kesederhanaan dari manusia apatis. Dengan demikiantertolonglah si miskin agar dapat mengingat adanya Allah swt serta mengingat nikmatNya yang diatur Islam menuju masyarakat sosial adil dan makmur.[2]
 
Masyarakat wajib membantu penguasa / pemerintah dalam urusan zakat, sebagai pengakuan akan keharusan adanya keteraturan, memperkokoh bangunan Islam. 
KERJA SAMA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM ZAKAT
Kerja Sama Masyarakat dan Pemerintah dalam Zakat

Peran Pemerintah

Konsepsi Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah konsepsi pemerintahan negara islami. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ini tercakup dalam pengertian Darul Islam. Pemerintah negar Republik Indonesia adalah pemerintah yang sah menurut hokum Islam, dan umat Islam wajib patuh terhadapnya.[3]
Sesuai dengan dasar negara Republik Indonesia yaitu Pancasila dan sesuai dengan ketentuan pasal 29 UUD 1945, maka Pemerintah mempunyai tugas kewajiban untuk memberikan bimbingan dan bantuan guna memperlancar usaha pembangunan agama sesuai dengan ajaran agama masing-masing, termasuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan soal-soal agma Islam, mencakup sesungguhnya pengelolaan zakat.

Menegakkan system zakat merupakan salah satu kewajiban utama pemerintah, karena ia mmemikul tanggung jawab untuk memelihara semua orang fakir miskin dan orang-orang yang lemah fisik maupun ekonominya.[4] Oleh Karen aitu pelaksanaan zakat ini harus diawasi oleh penguasa, dilakukan oleh petugas yang rapi dan teratur dipungut dari orang yang wjib mengeluarkan untuk diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.

Abdul Wahab Khallaf, Abdur Rahman Han dan Muhammad Abu Zahrah ketika berdiskusi tentang zakat di Damaskus tahun 1952, yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Arabiyah, mereka berkata :”Sekarang sudah tentu bahwa yang mengumpulkan zakat dari semua harta zahir maupun batin adalah penguasa, karena dua sebab. Pertama, sesungguhnya banyak orang telah meninggalkan kewajiban zakat atas semua hartanya, baik yang zahir maupun yang batin. Mereka tidak melaksanakan hak perwalian yang diberikan kepada mereka oleh Usman bin Affan dan penguasa sesudahnya. Sedangkan para fuqaha telah menetapkan bahwa pengusaha apabila mengetahui penduduknya tidak membayar zakat, hendaklah mereka mengambilnya dengan cara paksa.[5]

Kedua, secara keseluruhan semua harta itu kurang lebih adalah harta zahir. Harta perdagangan yang bergerak, dihitung setiap tahunnya berdasar perputaran, dan bagi setiap pedagang besar maupun kecil, hendaknya mencatatkan harta perdagangannya itu, sehingga bisa diperkirakan pajak negaranya,  modal pokoknya dan diketahui kewajiban zakat yang merupakan hak Allah, hal\k peminta-minta dan hak orang yang miskin yang tidak meminta-minta. Adapun uang kebanyakan dititipkan pada bank-bank atau yang sejenis dengan itu, sehingga dengan cara ini mudah diketahui. Adapun orang-orang yang menyimpan uangnya dengan cara sembunyi, pada hakekatnya bukanlah orang-orang yang mudah membuat kejahatan-kejahatan yang berbuat keji. Jumlahnyasekarang bertambah sedikit, urusan mereka itu semuanya tergantung pada agamanya. Apabila kita tengok sejarah, Majlis Islam ala Indonesia dalam masa pendudukan Jepang pernah berusaha mengorganisasikan secara terkoordinasi masalah zakat, dengan bentuk sebuah Bait Al-Mal Pusat. Dalam beberapa bulan sejak diijinkan kembali bergerak oleh Pemerintahan pendudukan Jepang, MIAI      telah membentuk Bsit al-Mal di tiga puluh lima karesidenan di Jawa, lengkap dengan pengelola yang telah terlatih. Proyek MIAI ini gagal karena tk dikehendaki Jepang. Sebab jika proyek ini berhasil bukan saja akan menghimpun dana yang besra bagi umat islam yang  mulai ternyata tak pro Jepang, juga akan memotong jalur pengawasan terhadap ulama tang telah dipusatkan di Syumubu. MIAI sendiri kemudian dibubarkan Jepang pada tanggl 14 Oktober 1043, setelah mengalami masa kelahiran kembali Selma 13 bulan di bawah pemerintahan balatentara Jepang.[6]
Adalah tugas Pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, baik muslim maupun bukan. Oleh karena itu kata Hasbi : “ . . . . tidak ada salahnya apabila pungutan zakat dikeluarkan juga atas orang-orang yang bukan muslim sebagai imbangan atau tanggungan pemerintah kesejahteraan rakyat dan negara.”[7]

Guna keberhasilan dalam pengumpulan zakat diperlukan beberapa pengawasan diantaranya adalah pengawasan yang dilakukan pemerintah yang berwenang mengambil zakat. Terhadap mereka yang menolak[8] mengeluarkan zakat, maka pemerintah diperbolehkan menggunakan tindakan paksaan, menyita harta bendanya dan pemerintah dapat memerangi kaum yang menolak membayar zakat.

Menurut ajaran islam, zakat sebaiknya dipungut oleh pemerintah yang bertindak sebagai wakil dari fakir miskin guna memperoleh haknya dari orang-orang kaya.

Pada zaman Rasulullah dan Khulafaurrasyidin, lembaga pengelolaan zakat ditangani oleh pemerintah. Pemerintah bertanggungjawab untuk menarik zakat dari orang yang mampu, sebagaimana pajak, tetepi penarikan zakat lebih didasarkan atas kewajiban manusia kepada Allah swt, bukan semata-mata kewajiban warga negara terhadap negaranya. Karena dalam system Islam pemimpin sebagai pemegang amanah Allah swt, ia bertugas menyampaikan kepada rakyat mengenai hak dan kewajiban sebagai hamba Allah swt.

Agar pengelolaannya mencapai sasaran, surat At-Taubah ayat 103 menerangkan sebagai berikut :

خذ من اموا لهم  صد قة تطهرهم وتزكيهم بها.

Artinya :

“Ambillah dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka . . . .”
Audensi perintah dalam ayat tersebut sudah barang tentu Muhammad saw sebagai Rasulullah. Para ulama memahami kapasitas beliau waktu itu selain sebagai pemimpin agama juga secara sosio politik pemimpin negara / pemerintah. Ilustrasi tersebut menunjukkan dalam penghimpunan, pengelolaan dan pendistribusian serta pertanggungjawaban, zakat menjadi tugas pemerintah. Sebab pemerintahan yang memiliki aparat dan data-data kongkrit penyandang kemiskinan.
Apalagi sekarang pemerintah kita telah mengeluarkan UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Hal ini merupakan bukti dari perhatian pemerintah dalam ikut serta memperlancar pelaksanaan zakat di negara kita. Karena itu undang-undang tersebut perlu adanya suatu tindak lanjut secara proaktif dengan pranata di tingkat daerah, dengan cara melakukan berbagai kajian dan analisis secara cermat dan kritis tentang kondisi dan situasi strategis daerah.

Sebenarnya UU No. 38/1999 (pasal 6 ayat 1 sampai 5 tentang pengelolaan zakat) sangat jelas menunjukkan tanggung jawab pemerintahuntuk mendirikan lembaga pengelola zakat. Legitimasi akan lembaga pengelola zakat sudah jelas, selanjutnya bagaimana umat mampu mendorong pemerintah untuk dapat dengan segera merealisasikan keberadaan zakat itu di seluruh Indonesia, baik tingkat pusat maupun daerah. 

Referensi
  1. Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Dana Bhakti Wakaf, Jogjakarta, 1993, hlm. 254.
  2. Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, UI, Jakarta, hlm. 53-54.
  3. Ibrahim Lubis, Ekonimi Islam, Kalam Mulia, Cet. I, hlm. 733.
  4. Sychul Hadi Permono, Pemerintah RI Sebagai Pengelola Zakat, Pustaka Firdaus,Hlm.151.
  5. Ibid, hlm. 152.
  6. Yusuf Qardawi,Hukum Zakat, Muassasat Ar-Risalah : Beirut, Libanon, Cet.2,1973,Hlm.761
  7. Nououzzaman Shidiqi,Fiqih Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Pustaka Pelajar,Hlm. 201.
  8. Ibid, hlm.207.
  9. Yusuf Qardawi,Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, Cet.1,1997,Hlm.253.